Jumat, 17 Januari 2014

Pieces of Memories

Saya terkejut. Sungguh.
Bukan karena suatu hal ajaib yang alami. Atau bukan juga karena kejadian-kejadian heboh yang terjadi belakangan ini. Banjir, longsor, dan jalan yang amblas.
Bukan.

Yang bikin saya agak tercengan beberapa detik ini adalah : ada kerinduan dalam diri saya untuk menulis.

Well, mungkin kalau saya telaah blog saya, mulai dari saat ini hingga tanggal kelahiran blog ini sendiri, mungkin sudah berapa fase vakum-bangkit kembali-mati suri-bangkit lagi yang alami. Karena itu, lets skip bagian sedih-sedihan, kangen-kangenan, atau segala macamnya dengan blog ini. Langsung to the point aja. Lets write!!

Malam ini saya Cuma ditemani laptop dan iringan random playlist di winamp yg isinya lagu-lagu soundtrack korea jaman jadoel.  Nothing special. Really. Plus hujan juga. Dan lapar. Dan masih mengingat rencana diet yang seperti abg ababil : antara konsisten dan nyolong-nyolong ngemil sana-sini.

Sambil berusaha membunuh waktu (karena saya tidak rela jika waktu saya hanya habis untuk tidur), saya akhirnya memulai ritual iseng yang tanpa sadar sering saya lakukan. Browsing my own folder dan buka-buka semua foto yang entah tersimpan dari jaman kapan.

Kamis, 25 Oktober 2012

fiksi : HASRAT

Rintik hujan tak pernah sanggup untuk kuhitung.
Terlampau banyak dan terlalu sering butir airnya jatuh dan memecah.
Mungkin sebanyak itu pula mataku sengaja menyentuh punggungnya.
Punggung lelaki yang sederhana, tak istimewa.
Tak pernah ada sayap yang mencuat di belikatnya.
Namun aku dibuat percaya bahwa tak selamanya sayap dimiliki malaikat.
      
Kali ini punggung itu berlapis jaket kulit coklat.
Hampir senada dengan rambut ikalnya yang gelap. 
Sedikit basah.
Mungkin tertimpa gerimis sebelum ia datang dan duduk di sudut sana.
Satu dua kali dia memiringkan kepala hingga bisa kulihat sebagian wajahnya.
Kadang satu senyum tersungging di sudut bibirnya.
Merubah dingin menjadi hangat, membuat malam bertambah cahaya.
      
Belum genap sebulan kuinjak kota ini.
Baru hitungan jari cafe mungil ini kudatangi.
Tapi aku sudah bisa merekam kebiasaan si lelaki.
Senin, Rabu, dan Sabtu, selalu tiba tepat waktu.
Duduk di bangku yang sama, ditemani secangkir kopi dan satu buku.
      
Dalam waktu yang sama tanganku bergerak di atas kertas.
Mataku berkali-kali melompat dari punggungnya ke sketsa yang kubuat.
Kugambar dirinya.
Tidak sesuai dengan apa yang kulihat, tapi kulukis menurut apa yang kubayang.
Hasrat.
Sebuah rasa yang sebelumnya jauh tenggelam.
Kini timbul ketika pertama kali kutangkap sosoknya.
Persis lumpur sungai yang naik diacak batu.
Dan lelaki ini yang jadi si pelempar.

Tanganku terus bergerak.
Otakku kembali memilah-milah tumpukan memori yang kusimpan.
Gambar-gambar. Berbeda satu dengan yang lainnya.
Berjalan cepat seperti roll film yang diputar tanpa jeda.
Semakin menuju akhir, semakin tebal peluh membasahi dahi.
Badanku gemetar, dingin, seolah seiiris es disapu ke sekujur kulit.
Di potongan film terakhir itu, segalanya terhenti.

   Saat itu malam.
   Aku dan seorang lelaki berambut ikal.
   Berdua dalam diam di bawah halte menunggu hujan.
   Satu detik memandang mata sudah cukup bagi kami berdua.
   Tak pernah ada yang salah dengan pertemuan itu.
   Dengan rasa itu.


Akankah terulang lagi? Aku bertanya.
Jawaban tidak hanya sempat berbisik kecil dan menguap hilang.
Kalah dengan rasa ingin yang tak henti berdenyut.
Tak ada salahnya untuk mengenal nama.
Maka aku merapikan sketsaku.
Menarik satu hela napas.
Kuhampiri lelaki itu.

Kamis, 15 Desember 2011

fiksi : KAU PATUT BERTANYA

Mendekati petang, aku kembali bertanya: apakah arti hidup?

Lucunya aku sering menggaungkan pertanyaan ini; baik kemarin, lusa, minggu kemarin, bulan lalu, atau rentang waktu panjang di belakang yang sudah tak bisa lagi kutakar. Lalu saat itu aku akan kembali lupa. Sekejap aku menjalani hidup yang biasa, tanpa repot lagi bertanya-tanya. Namun ada kalanya aku kembali terusik. Apa yang kulihat dan kurasa menjelma jadi satu tongkat panjang yang rajin mengetuk-ngetuk kepala, memaksa aku menempatkan pertanyaan itu lagi di ujung lidah.

Mulanya pagi ini. Subuh. Langit bahkan belum tegas berwarna. Ayam di atas pagar masih mengantuk. Suara kokoknya kalah dengan deru knalpot motorku yang nyaring. Dan tak lama kemudian aku sudah membelah udara jalan raya yang komposisi asapya lebih banyak ketimbang titik embunnya. Selalu setiap pagi, selepas jarak lima kilometer yang kutempuh, aku akan dihadang tiang lampu tiga warna. Kali ini aku berhadapan dengan si merah. Angka di sampingnya berkedip malas mulai dari 126 detik.

Senin, 05 Desember 2011

fiksi : SEPASANG CANGKIR

Segalanya menjadi berbeda ketika kau hanya diam dan menatap. Tak perlu lidah untuk mengumbar kata. Kau hanya cukup untuk merasa agar semua tersimpan menjadi kenangan. Dan kenangan bukanlah besi yang bisa mengkarat oleh gerusan waktu.

Lembar kenangan itu mulai menyisip ketika aku masih berwujub janin berupa segunduk lempung basah. Rahimku adalah satu perbot kayu bulat lengkap dengan tangkupan kedua tangan pria itu. Jari-jarinya tak kunjung lelah menumbuhkanku—memilin, memutar, mengelus, atau memercikku berkali-kali dengan air. Lambat laun aku mulai bertransformasi, dari satu bentuk yang acak dan liat ke satu bentuk lain yang utuh dan padat. Sebuah cangkir dengan satu lengkungan tangan yang menempel di pinggang.

Lama diriku dipapar terik matahari. Rasanya enak, hangat dan segar. Kemudian aku digiring lagi ke satu tempat lain dengan panas yang berpuluh kali lipat. Kali ini hawa baranya mengalirkan gelenyar nikmat ke sekujur tubuhku. Suara desisan dan percikan api membentuk harmoni pengiring tidurku.

Minggu, 27 November 2011

fiksi : CERITA KITA - SALAM DALAM PERAHU

SALAM DALAM PERAHU

Robby Hermawan

Ini sudah kali ketiga aku melihat gadis kecil itu. Rambutnya dikepang dua, kulit menghitam digarang matahari. Kakinya yang kecil menginjak dan memecah buih di bibir pantai. Mulutnya mengulum senyum sembari menggendong benda berwarna-warni di dada. Perahu-perahu kertas.

Lantas setelah air menelan separuh kakinya, ia menunduk dan melepas perahu-perahu itu. Satu-persatu didorongnya dengan lembut, dan perahu-perahu itu bergoyang-goyang diguncang ombak. Satu perahu mulai limbung, yang lain terpelanting, dan beberapa lagi mulai tenggelam. Namun gadis itu tak peduli. Ia malah menangkupkan tangan di depan dada dan merapatkan mata. Bibir berkomat-kamit menaikkan doa.

Karena dirundung penasaran, aku pun menghampirinya. “Perahunya mulai tenggelam,” kataku.

Ia mengintipku dari sudut mata. Aku tersenyum. Kataku lagi, “Untuk siapa perahu-perahu itu?”

Rabu, 09 November 2011

fiksi : SATU SISI

Kata orang, cinta itu buta.

Kadang aku setuju.
Tapi bukankah sering terdengar adagium lain, bahwa mata adalah jendela hati. Dari benda kecil yang menyempil di rongga wajah itu tampak setumpuk perasaan yang disimpan di ruang hatinya. Benda itu seperti pintu yang membuka, yang mengijinkan aku berjalan di lorongnya, dan menemukan satu jawaban di ujungnya. Jawaban itu akan dibisikkan halus. Jawaban itu akan dituliskan lembut. Meski tak lantang, kau pun tetap dapat menangkap artinya.

Dan dari mata itulah aku tahu sirat rasa apa yang selama ini ia simpan. Ketika aku menatapnya dengan cinta, aku berharap ada getar yang sama dalam balasannya. Namun ternyata tidak. Aku hanya menerima 'kau baik', atau 'kau sahabat pengertian, atau juga 'kita teman selamanya'. Yang ada hanya suka, bukan cinta. Dua kata dengan makna yang terkesan sama, tapi begitu kau lihat lebih dekat, ternyata ada sekat tinggi yang membatasinya.

Jadi perlukah aku buta untuk mencintainya?
Kurasa tak harus aku menjadi orang buta. Justru aku perlu melihat agar kutahu setiap jejak langkah kakinya, agar bisa kutelusuri dan kuiringi di belakang. Dengan ini kutahu di mana hatinya tertanam dan di mana ia menuai kebahagiaan; tidak seperti orang buta yang tak pernah tahu arah, yang mencabut paksa akar dirinya hingga mati mengering.

Rabu, 02 November 2011

fiksi : JENUH


Peluit kereta ini berbunyi nyaring, disusul suara derak dan keretakan keras, mulai dari lokomotif hingga gerbong-gerbong di belakangnya. Satu desisan panjang juga terdengar, saling beradu sengit antara suara si petugas yang teriak-teriak sambil mengacung-ngacungkan tongkat dan kumpulan orang-orang yang ribut mengejar-ngejar kereta.

Mereka tidak seragam, tak ada tampang kesamaan. Ada orang berkemeja yang baru digosok kemarin sore, ada ibu-ibu yang sudah mandi keringat sambil menarik-narik anaknya, ada bapak tua yang baru saja meloncat ke pintu sembari menggendong ayam, dan di jendela sebelah, penjual kue onde-onde masih sibuk bertukar uang dengan pembelinya. Ibarat seorang penjahit, mereka terlihat seperti kain berbeda warna, tapi digunting dengan pola yang sama. Jatuh dalam satu tujuan.

Aku menyandarkan diri ketika kereta semakin cepat melaju. Isi lambung gerbong sudah sesak. Udara yang pengap diperebutkan banyak orang. Beruntung aku duduk di samping jendela yang kacanya sudah pecah sebelah.

Satu hal telah kusadari ketika aku melihat dengan mata yang sudah lelah ini. Kita semua berjalan di pacuan yang sama, dimana aku pun turut jatuh dalam jebakannya. Tak bisa menghindar lagi. Hari-hari berjalan tak ubahnya seperti kereta ini. Satu peluit tanda kita harus berlari, menempuh satu buah rel panjang dengan tikungan yang mungkin diberi. Tapi tujuannya selalu satu. Dan pasti. Tujuan satu pun bisa tercapai, tapi bukankah akan muncul satu tujuan lain, hingga bahkan mungkin harus berputar dan mengulang lagi. Di mana titik akhirnya?, mungkin kau akan bertanya. Aku cuma punya satu jawaban, sampai kereta ini usang dan menunggu untuk dibuang.

Aku jadi ingat film-film robot yang sering kulihat di teve. Mereka kelihatannya hidup, bisa berjalan, bisa berpikir, dan kadang bisa melawan. Oh, aku harus bertepuk tangan pada si robot yang bisa melawan itu. Tapi itu cuma di film, kan? Biasanya film cuma mengumbar mimpi yang menggiurkan. Badan ini memang seperti robot, cuma sayang tidak diprogram untuk melawan. Mungkin prosesornya bagus, tapi tetap saja
butuh baterai untuk terus mengaliri listrik ke sirkuitnya. Tak ada baterai, tak ada listrik, tak ada hidup; lagi, menunggu untuk dibuang.

Satu helaan napasku seakaan berbicara. Aku lelah. Aku butuh tempat dimana aku tak terikat. Aku butuh udara dimana paru-paruku bisa menyerap dengan bebas. Tapi dimana tempat itu? Burung yang terbang pun tak punya, ia juga datang dan pergi di jalur yang sama. Begitupun rumput-rumput yang terbuai angin itu, selalu tumbuh, meninggi, mengering, dan mati. Satu titik akhir itu memang berlaku untuk semuanya.

Tak terkecuali.

Peluit itu kembali berbunyi. Satu tujuan sudah sampai. Dua-tiga orang turun, dua-tiga orang juga naik lagi. Dengan berat yang sama, kereta ini kembali berlari.



R.