Senin, 05 Desember 2011

fiksi : SEPASANG CANGKIR

Segalanya menjadi berbeda ketika kau hanya diam dan menatap. Tak perlu lidah untuk mengumbar kata. Kau hanya cukup untuk merasa agar semua tersimpan menjadi kenangan. Dan kenangan bukanlah besi yang bisa mengkarat oleh gerusan waktu.

Lembar kenangan itu mulai menyisip ketika aku masih berwujub janin berupa segunduk lempung basah. Rahimku adalah satu perbot kayu bulat lengkap dengan tangkupan kedua tangan pria itu. Jari-jarinya tak kunjung lelah menumbuhkanku—memilin, memutar, mengelus, atau memercikku berkali-kali dengan air. Lambat laun aku mulai bertransformasi, dari satu bentuk yang acak dan liat ke satu bentuk lain yang utuh dan padat. Sebuah cangkir dengan satu lengkungan tangan yang menempel di pinggang.

Lama diriku dipapar terik matahari. Rasanya enak, hangat dan segar. Kemudian aku digiring lagi ke satu tempat lain dengan panas yang berpuluh kali lipat. Kali ini hawa baranya mengalirkan gelenyar nikmat ke sekujur tubuhku. Suara desisan dan percikan api membentuk harmoni pengiring tidurku.


Aku tak pernah tahu lamanya menit atau jam apalagi hari. Tak ada hitungan pula yang bisa kutakar untuk menjelaskan waktu. Yang kutahu hanya udara panas yang mengendur dan irisan cahaya yang melebar ketika aku keluar dari kotak pembakar itu. Tangan yang sama menyambutku, tapi kali ini kulihat dua wajah berbeda yang tersenyum padaku. Satunya tentu kutahu, ia si pria penciptaku. Satunya lagi adalah wanita berwajah panjang dengan satu titik hitam di dagu.

Setelahnya aku kembali dijamah dan diberi warna. Putih cemerlang, lengkap dengan empat huruf di perut: PAPA. Awalnya aku tak paham maknanya hingga aku dihadapkan pada cangkir yang serupa. Cangkir itu gadis, milik si wanita. Empat huruf juga terlulis di perutnya. MAMA. Si pria juga menambahkan gumam, “Mereka seperti kita, pasangan untuk selamanya.” Mengertilah aku bahwa kami telah dinikahkan di atas meja itu.

Si pria dan wanita adalah pasangan manusia yang baru mengikat janji sehidup dan semati, itu yang dibisikkan istriku. Tanpa mengetahui kenyataan itu pun aku memang bisa merasakan cinta yang ditebar oleh mereka. Gerak-gerik itu menggambarkannya. Tatapan mata mereka mengartikannya. Dan sentuhan mereka menjelaskan semua.

Mereka berdua adalah pekerja seni dalam satu studio di pinggir rumahnya. Pagi hingga petang, si pria terlihat serius menuduk di atas perbot untuk melahirkan gerabah. Sedangkan si wanita pandai bermain warna, membungkus gerabah dengan balutan cat dan glasir berkilau, menjadikan gerabah polos tampak lebih tampan dan cantik.

Seperti keberadaan mereka, aku dan istriku pun selalu disandingkan berdua, seolah mereka ingin ada penonton dalam panggung drama mereka. Setiap pagi aku terisi Kopi Jawa, dan istriku menguarkan kepul hangat Teh Camomile. Kami berdua duduk di sudut meja. Kala siang menjemput pun kami ikut terseret dalam ruang makan berkursi dua. Ampas kopi disingkirkan, sisa teh dibuang. Lambung kami diisi dengan air putih sampai kepala. Dan kami kembali menemani si pria dan wanita dalam santap dan canda.

Kupandangi wajah mereka berdua.

“Akankah kita sebahagia mereka?” tanyaku pada istriku. Istriku hanya mengulas senyum seraya berkata, “Kita lebih bahagia dari mereka. Tidakkah kau dengar tawa itu? Bunyi itulah yang menggetarkan jiwa kita.” Aku mengangguk-ngangguk.

Tak kusangka bahwa getar itu akan terasa di setiap sudut waktu. Aku bahkan masih menyimpan satu keping kenangan itu. Di serambi mereka duduk berdua, bahu saling bersandar dan mendongak melihat langit yang hitam. Malam yang dingin tak menyurutkan mereka, karena kami setia berada dengan air jahe hangat yang kami bawa.

“Aku ingin setiap hari cuma ada malam” kata si wanita.

Si pria tertawa. Ia mengelus pelan rambut si wanita dan berkata, “Setiap yang ada di sekeliling kita cuma sistem yang dinamis. Gak mungkin semuanya kekal. Ketika ada yang pergi, pasti akan muncul juga rasa rindu. Dari rindu itu bakal tumbuh juga rasa cinta. Dan ketika yang hilang kembali, cinta itu gak bakal ada tandingannya.”

“Sampai kapan cinta itu bertahan?” tanya si wanita.

“Sampai keduanya bertemu dan menghilang lagi bersama.”

Keduanya lantas bertatapan. Tahulah mereka bahwa kini cinta itu masih bertahan di tengah mereka. Diangkatnya kami dari lantai dan disesapnya air dalam tubuh kami. Aku dan istriku ikut terbawa dalam saput cinta itu.

Kadang waktu memang tak selamanya berjalan manis. Ada kalanya percik amarah membentengi mereka berdua. Tapi ini hidup, sebuah perjalan panjang yang harus dihisap baik manis maupun pahitnya. Dan betapa beruntungnya aku dapat melihat bagaimana mereka dapat mengunyah manis itu dengan nikmat dan bisa menelan pahit itu dengan bijak.

Ketika hari masih terang dan amarah itu timbul tanpa diduga, kerap kali aku dan istriku hanya menunggu dengan lambung kosong. Sungguh, sangat lama dan membosankan. Namun begitu cahaya di luar mulai meredup, biasanya si wanita akan memulai dulu mengisi kami. Kadang dengan Teh Melati, atau pernah juga dengan air jeruk berlimpah es batu. Di nampan, kami mengunjungi si pria. Seperti biasa, gurat si pria melunak dan langsung memberi senyum di sudut bibir. Lunturlah amarah tadi pagi. Apa yang terjadi tadi pagi, sih? Entahlah. Aku dan istriku hanya duduk semringah melihat mereka yang kembali tertawa.

Hidup memang kadang lucu. Waktu kadang usil bermain-main. Ketika kau menunggu sesuatu, kadang saat itu berjalan dengan amat lambat. Tapi jika kau tak mengharap apa-apa, waktu malah menggelontor seenaknya. Dua tangis bayi itu datang dalam rentang yang lama tapi cepat terasa. Si pria berubah dengan sebutan ayah, sementara si wanita mulai senang dipanggil sebagai ibu. Dua bayi laki-laki kembar mulai memberi warna baru pada rumah itu.

Meskipun ramai semakin terasa, kami tetap bisa mengambil peran di tengah-tengah mereka. Aku dan istriku senang melihat bagaimana mereka saling bertumbuh. Dari yang hanya sekedar tertidur, sampai mulai merangkak, hingga berani menyusuri dinding-dinding rumah dan bahkan menyentuh kami berdua.

Dulu yang biasanya kami diisi dengan kopi, teh, atau sirup; kini kami sangat berpuas diri karena menjajal cairan susu kental di perut kami. Dua anak itu gemar menggenggam kami. Si ayah berkata, “Tahukah kalian kalau cangkir-cangkir ini lahir sebelum kalian? Mereka sudah seperti saudara kalian.” Dua anak itu hanya sekedar mendengar sambil terus meneguk susu. Satu di pangkuan si ibu dan satu di pangkuan si ayah. Setelahnya mereka kembali menguntai bermacam kisah pada sang anak. Gelak tawa kembali terdengar. Kami terharu sekaligus bahagia karena masih dalam saput cinta yang sama.

Aku sempat menggeleng akan ganasnya waktu yang bergulir di luar akal. Dua anak kembar tahu-tahu sudah berwujud jadi dua remaja kekar. Namun tak hanya dua anak itu yang berubah rupa. Warnaku dan istriku dulu putih cemerlang, tapi sekarang warna kami nyaris mendekati uban abu-abu yang menyelip di rambut si ayah dan ibu. Bercak noda juga tergambar di beberapa bagian tubuh kami, hampir senada juga dengan keriput dan vlek yang mendarat di wajah mereka. Namun kami tidak memakai kacamata yang bertengger di batang hidung.

Saat itu aku ingat rumah berubah jadi bising dan ramai. Istriku bilang ada acara pernikahan salah satu dari si kembar. Aku manggut-manggut, dan tak lama memang muncul seorang gadis dan pemuda—salah seorang dari si kembar itu—di pintu dapur.

“Ini cangkirnya?” tanya si gadis sambil mengangkat aku dan istriku.

Si pemuda mengangguk. “Ayah mau bersulang pakai cangkir-cangkir itu. Dua cangkir itu sudah sakral banget bagi mereka. Katanya, sih, itu saksi cinta mereka.” Si pemuda sedikit tertawa.

“Romantisnya,” balas si gadis. Lantas aku dan istriku dibopong ke ruang tengah di mana si ayah dan ibu sudah menunggu kami. Suasana meriah bukan main. Kebahagiaan menguar pekat. Makanan berlimpah di meja, gelas-gelas berkaki berisi minuman soda, dan kami ikut serta dengan terisi anggur di tangan mereka. Mereka lalu bersulang dan bersorak. Senangnya kami bahwa saput cinta itu masih ada.

Perubahan kembali terjadi mengikuti arus waktu yang mencuram. Suasana rumah ramai dan sepi dalam waktu yang sama. Kedua anak kembar mulai melangkah pergi bersama anak-anak kecil lain yang mereka bawa. Si ayah mendadak dipanggil kakek dan ibu menjelma lagi menjadi nenek. Dua manusia ini kembali hidup berdua seolah memutar waktu tapi dengan wujud yang berbeda. Bahagia tentu pasti ditengah-tengah mereka.

Tapi kita harus selalu ingat bahwa pahit itu selalu ada. Kesenangan hanya perasaan temporer yang susah dijinakkan. Malam itulah awalnya. Yang biasanya hanya terdengar desau angin atau jangkrik yang bernyanyi, kini malah diwarnai suara panik dan ribut dari mereka berdua. Aku bertanya pada istriku apa yang terjadi kira-kira. Istriku juga menggeleng tidak tahu. Bahkan sampai matahari terbit kami masih melongo di atas meja dapur.

Kebingungan kami juga makin menumpuk ketika si kakek datang seorang diri ke meja. Wajah tuanya memuram. Aku sempat kaget ketika ia tiba-tiba membungkus istriku dalam kantong plastik dan membawanya entah ke mana. Tak mengucap apa-apa. Akan dibawa ke mana istriku? Tak henti-hentinya aku bertanya.

Jawaban itu akhirnya kuterima ketika matahari sudah lima atau enam kali melintas di jendela. Istriku pulang, dan wajahnya lebih muram dari si kakek waktu itu. Tak sabar aku langsung bertanya apa yang terjadi. Bertuturlah ia. Katanya ia dibawa ke satu ruangan serba putih, banyak kerai-kerai dan ranjang berjajar. Ia didudukan di sebuah meja kecil di samping salah satu ranjang. Ia terkejut begitu melihat si nenek tergolek di ranjang itu.

“Ia selalu tertidur, dan banyak selang-selang di badannya,” kata istriku.

Ternyata ia sakit. Istriku tak banyak tahu penyakit apa yang menyerangnya. Ia hanya melihat si kakek yang selalu berada di sampingnya. Beberapa waktu sekali istriku diisi air hangat, dan turut mengantarkan obat ke mulut si nenek. Namun itu tak berlangsung lama, karena ketika hari terakhir istriku mendengar bahwa nenek telah pergi. Selimut ditutup tinggi sampai kepalanya. Istriku hanya menunduk, dan ingin menangis seandainya ia bisa.

Aku tertegun. Baru kusadari bahwa manusia punya siklusnya sendiri untuk hidup dan mati. Si nenek telah usai merampungkan jalan hidupnya dan meninggalkan si kakek dengan segumpal cinta yang masih bisa dirasa. Yang pergi akan dirindu, dan rindu akan memupuk cinta. Kata-kata itulah yang selalu terngiang ketika aku melihat si kakek di hari-hari kesendiriannya.

Kupikir setelah kepergian sang nenek, istriku takkan pernah bekerja untuk untuk mengangkut air atau teh di perutnya. Kupikir istriku akan teronggok di meja, mengumpulkan debu dan menjadi sarang cicak untuk bermain-main. Kupikir semuanya akan berubah ketika dua manusia sudah saling terpisah. Ternyata aku salah.

Setiap pagi si kakek duduk menghadap meja. Ia menjerang air, menuangnya di dalam tubuh kami. Aku masih dipenuhi seduhan kopi dan istriku masih digantungi kantong teh. Ia menyesap minuman seperti kemarin-kemarin, seolah tiada yang berubah. Kadang tubuh kami saling didentingkan, dan ia mulai menyapa si nenek dalam bentuk kumpulan udara kosong di hadapannya. Ia selalu bertanya kabar, menuturkan cerita, dan mengucap rindu yang makin sesak di dada.

Kala siang pun terjadi hal yang sama, begitupun saat malam tiba. Di serambi itu si ayah duduk sendiri, sementara kami menemaninya dengan perut yang terisi penuh. Jika pagi adalah waktu menyapa, maka malam adalah waktu untuk pamit dan menjanjikan pertemuan esok.

Meskipun aku dan istriku hanya sebentuk tanah liat beku, kami masih bisa berempati akan apa yang dirasa oleh si kakek. Semua yang dilakukannya itu hanyalah obat penawar untuk kesedihannya. Ia tahu si nenek tak pernah pergi darinya. Ia tahu bahwa setiap kata yang terucap akan mengalahkan sepinya. Ia tahu si nenek masih mendengar, masih merasa, dan masih mencinta.

Dan cinta itu akan terus tersampaikan, bahkan ketika mata mulai terpejam. Hari itulah akhirnya. Akhir dari segala bentuk cinta yang kami saksikan. Si kakek turut pergi dengan tubuh tua yang melapuk, dihimpit waktu yang mencekik, tidur abadi dalam damai. Ia berhasil menutup harinya dengan kesetian cinta sekeras baja. Aku dan istriku sedih sekaligus lega. Mereka pasti akan besua dan kembali merajut cinta di sana.

Sampai kapan cinta itu bertahan?

Sampai keduanya bertemu dan menghilang lagi bersama.

Saput cinta itu akan bertahan dan tiada dua.


~ ~ ~

Salah satu si kembar bertandang ke rumah. Di dapur itu istrinya meraih kami berdua.

“Mau ditaruh di mana cangkir-cangkir ini?” tanya wanita itu.

Si pria datang menghampiri dan turut meraih kami. Ia memandang sekeliling sebelum akhirnya berlalu ke dekat lemari. Dibukanya satu pintu dan diletakannya kami di sudut. “Gak apa-apa, taruh di sini aja. Ini kenangan buat ayah dan ibu,” kata pemuda itu. Pintu kembali ditutup.

Duduklah kami berdua dalam senyap. Setelah waktu panjang yang kami lewati, kini kami hanya dua cangkir hampa dalam satu ruang gelap. Usai pula rangkuman hidup kami. Dulu kami dilahirkan, berjalan beriring menjadi saksi, dan ikut berakhir namun tanpa mati. Kami tak pernah banyak berkata pada mereka. Kami hanya cukup untuk merasa. Kami tak ubahnya seperti dua peti untuk menyimpan keping kenangan mereka. Dan kami tahu bahwa kenangan adalah satu-satunya wujud yang tak tersentuh oleh pitingan waktu. Kenangan selalu ada. Selalu berkilau meski tak terlihat.





Untuk segala kenangan yang kita punya, namun tanpa sadar sering tak diberi harga.

R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar