Minggu, 27 November 2011

fiksi : CERITA KITA - SALAM DALAM PERAHU

SALAM DALAM PERAHU

Robby Hermawan

Ini sudah kali ketiga aku melihat gadis kecil itu. Rambutnya dikepang dua, kulit menghitam digarang matahari. Kakinya yang kecil menginjak dan memecah buih di bibir pantai. Mulutnya mengulum senyum sembari menggendong benda berwarna-warni di dada. Perahu-perahu kertas.

Lantas setelah air menelan separuh kakinya, ia menunduk dan melepas perahu-perahu itu. Satu-persatu didorongnya dengan lembut, dan perahu-perahu itu bergoyang-goyang diguncang ombak. Satu perahu mulai limbung, yang lain terpelanting, dan beberapa lagi mulai tenggelam. Namun gadis itu tak peduli. Ia malah menangkupkan tangan di depan dada dan merapatkan mata. Bibir berkomat-kamit menaikkan doa.

Karena dirundung penasaran, aku pun menghampirinya. “Perahunya mulai tenggelam,” kataku.

Ia mengintipku dari sudut mata. Aku tersenyum. Kataku lagi, “Untuk siapa perahu-perahu itu?”

Rabu, 09 November 2011

fiksi : SATU SISI

Kata orang, cinta itu buta.

Kadang aku setuju.
Tapi bukankah sering terdengar adagium lain, bahwa mata adalah jendela hati. Dari benda kecil yang menyempil di rongga wajah itu tampak setumpuk perasaan yang disimpan di ruang hatinya. Benda itu seperti pintu yang membuka, yang mengijinkan aku berjalan di lorongnya, dan menemukan satu jawaban di ujungnya. Jawaban itu akan dibisikkan halus. Jawaban itu akan dituliskan lembut. Meski tak lantang, kau pun tetap dapat menangkap artinya.

Dan dari mata itulah aku tahu sirat rasa apa yang selama ini ia simpan. Ketika aku menatapnya dengan cinta, aku berharap ada getar yang sama dalam balasannya. Namun ternyata tidak. Aku hanya menerima 'kau baik', atau 'kau sahabat pengertian, atau juga 'kita teman selamanya'. Yang ada hanya suka, bukan cinta. Dua kata dengan makna yang terkesan sama, tapi begitu kau lihat lebih dekat, ternyata ada sekat tinggi yang membatasinya.

Jadi perlukah aku buta untuk mencintainya?
Kurasa tak harus aku menjadi orang buta. Justru aku perlu melihat agar kutahu setiap jejak langkah kakinya, agar bisa kutelusuri dan kuiringi di belakang. Dengan ini kutahu di mana hatinya tertanam dan di mana ia menuai kebahagiaan; tidak seperti orang buta yang tak pernah tahu arah, yang mencabut paksa akar dirinya hingga mati mengering.

Rabu, 02 November 2011

fiksi : JENUH


Peluit kereta ini berbunyi nyaring, disusul suara derak dan keretakan keras, mulai dari lokomotif hingga gerbong-gerbong di belakangnya. Satu desisan panjang juga terdengar, saling beradu sengit antara suara si petugas yang teriak-teriak sambil mengacung-ngacungkan tongkat dan kumpulan orang-orang yang ribut mengejar-ngejar kereta.

Mereka tidak seragam, tak ada tampang kesamaan. Ada orang berkemeja yang baru digosok kemarin sore, ada ibu-ibu yang sudah mandi keringat sambil menarik-narik anaknya, ada bapak tua yang baru saja meloncat ke pintu sembari menggendong ayam, dan di jendela sebelah, penjual kue onde-onde masih sibuk bertukar uang dengan pembelinya. Ibarat seorang penjahit, mereka terlihat seperti kain berbeda warna, tapi digunting dengan pola yang sama. Jatuh dalam satu tujuan.

Aku menyandarkan diri ketika kereta semakin cepat melaju. Isi lambung gerbong sudah sesak. Udara yang pengap diperebutkan banyak orang. Beruntung aku duduk di samping jendela yang kacanya sudah pecah sebelah.

Satu hal telah kusadari ketika aku melihat dengan mata yang sudah lelah ini. Kita semua berjalan di pacuan yang sama, dimana aku pun turut jatuh dalam jebakannya. Tak bisa menghindar lagi. Hari-hari berjalan tak ubahnya seperti kereta ini. Satu peluit tanda kita harus berlari, menempuh satu buah rel panjang dengan tikungan yang mungkin diberi. Tapi tujuannya selalu satu. Dan pasti. Tujuan satu pun bisa tercapai, tapi bukankah akan muncul satu tujuan lain, hingga bahkan mungkin harus berputar dan mengulang lagi. Di mana titik akhirnya?, mungkin kau akan bertanya. Aku cuma punya satu jawaban, sampai kereta ini usang dan menunggu untuk dibuang.

Aku jadi ingat film-film robot yang sering kulihat di teve. Mereka kelihatannya hidup, bisa berjalan, bisa berpikir, dan kadang bisa melawan. Oh, aku harus bertepuk tangan pada si robot yang bisa melawan itu. Tapi itu cuma di film, kan? Biasanya film cuma mengumbar mimpi yang menggiurkan. Badan ini memang seperti robot, cuma sayang tidak diprogram untuk melawan. Mungkin prosesornya bagus, tapi tetap saja
butuh baterai untuk terus mengaliri listrik ke sirkuitnya. Tak ada baterai, tak ada listrik, tak ada hidup; lagi, menunggu untuk dibuang.

Satu helaan napasku seakaan berbicara. Aku lelah. Aku butuh tempat dimana aku tak terikat. Aku butuh udara dimana paru-paruku bisa menyerap dengan bebas. Tapi dimana tempat itu? Burung yang terbang pun tak punya, ia juga datang dan pergi di jalur yang sama. Begitupun rumput-rumput yang terbuai angin itu, selalu tumbuh, meninggi, mengering, dan mati. Satu titik akhir itu memang berlaku untuk semuanya.

Tak terkecuali.

Peluit itu kembali berbunyi. Satu tujuan sudah sampai. Dua-tiga orang turun, dua-tiga orang juga naik lagi. Dengan berat yang sama, kereta ini kembali berlari.



R.