Rabu, 09 November 2011

fiksi : SATU SISI

Kata orang, cinta itu buta.

Kadang aku setuju.
Tapi bukankah sering terdengar adagium lain, bahwa mata adalah jendela hati. Dari benda kecil yang menyempil di rongga wajah itu tampak setumpuk perasaan yang disimpan di ruang hatinya. Benda itu seperti pintu yang membuka, yang mengijinkan aku berjalan di lorongnya, dan menemukan satu jawaban di ujungnya. Jawaban itu akan dibisikkan halus. Jawaban itu akan dituliskan lembut. Meski tak lantang, kau pun tetap dapat menangkap artinya.

Dan dari mata itulah aku tahu sirat rasa apa yang selama ini ia simpan. Ketika aku menatapnya dengan cinta, aku berharap ada getar yang sama dalam balasannya. Namun ternyata tidak. Aku hanya menerima 'kau baik', atau 'kau sahabat pengertian, atau juga 'kita teman selamanya'. Yang ada hanya suka, bukan cinta. Dua kata dengan makna yang terkesan sama, tapi begitu kau lihat lebih dekat, ternyata ada sekat tinggi yang membatasinya.

Jadi perlukah aku buta untuk mencintainya?
Kurasa tak harus aku menjadi orang buta. Justru aku perlu melihat agar kutahu setiap jejak langkah kakinya, agar bisa kutelusuri dan kuiringi di belakang. Dengan ini kutahu di mana hatinya tertanam dan di mana ia menuai kebahagiaan; tidak seperti orang buta yang tak pernah tahu arah, yang mencabut paksa akar dirinya hingga mati mengering.

Kutatap lagi mata wanita yang berbicara di depanku ini. Sinarnya terang. Sayang bukan aku yang mengangkat lentara di sana, tapi orang lain. Orang yang namanya sudah terucap puluhan kali dalam rentang satu jam ini. Bahkan kopi di meja kami pun belum habis dikecap.

Satu kalimat yang mengawali pembicaraan kami tadi masih terngiang-nginang di telingaku. Pernahkah kau berdiri dekat seekor lebah? Seperti itulah bunyinya, dengungan panjang yang terus terdengar. Kadang mendekat, kadang menjauh. Meskipun kau telah mengibaskan tangan hingga lelah, suara itu takkan hilang sampai sang lebah memutuskan untuk pergi.

Aku mau menikah, itulah kalimatnya. Wajahnya gembira bukan main. Aku hanya tersenyum. Kupikirkan kata-kata apa yang pantas untuk kuberikan. Selamat. Sialnya cuma satu kata itu yang melintas. Sudahlah, kuberikan saja. Otakku sudah tak sanggup lagi berpikir, nyaris beku. Jangan-jangan jantungku sudah lupa untuk memompa karena terkejut.

Dari satu kata yang kuberikan ternyata dibalas dengan rentetan panjang kisah dirinya dengan sang pujaan hati. Ia bertutur dengan semangat luar biasa. Ketika ia tertawa, aku pun ikut tertawa. Aku tahu ia sangat bahagia, dan aku bersyukur bisa melihatnya sebahagia itu. Maka itu kusembunyikan perasaan pilu ini dalam-dalam. Tak mudah memang, tapi tetap harus kulakukan.

Melihat rona di wajah itu aku jadi tenggelam lagi dalam lautan memori yang telah kulalui bersamanya. Tak ada kalender yang yang cukup tebal untuk menunjukkan rentang waktunya. Yang aku ingat hanya sepotong senyum itu, di atas cabang pohon seri, dengan rok merahnya yang menjuntai. Kami baru saja pulang sekolah, dan peluhku masih terasa lengket di leher karena lelah. Namun ia sudah sigap meloncat dua cabang pohon sekaligus. 

Ayo naik, ajaknya kepadaku. Aku hanya menggeleng, takut. Lantas ia merendahkan dirinya dan mengulurkan satu tangannya kepadaku. Seringainya bukan mengancam, tapi menguatkan. Segera kutangkap tangan itu dan menjejak batang pohon bersama dirinya. Hatiku bersorak, bukan karena berhasil memanjat, tapi karena ini pertama kali aku menyentuh kulit tangannya.

Sepanjang hari-hari itu kami selalu punya waktu berdua. Aku bahkan masih ingat tingkah pengkhayal yang selalu dimainkannya, yang selalu menyebut tempat kami bertemu sebagai markas. Ketika hari hujan dan kami berteduh di halte berkarat di pinggir jalan, ia menyebut dengan alis beradu tanda serius, ini markas baru kita ya. Aku tertawa. Berapa banyak markas kami? Di pohon seri, di bawah terpal tukang bakso, di belakang Masjid, di kuburan Cina (yang ini hanya sekali kami datangi), dan tempat-tampat lain yang kadang sudah terlupa begitu saja.

Di setiap markas kami ia selalu manjadi tokoh kapten sementara aku wakilnya. Tak ada anggota yang harus kami pimpin, karena itu kami harus puas hanya bisa duduk berdua. Ia akan mulai mendongeng, itu yang dulu kuartikan ketika aku belum mengerti. Namun sekarang begitu aku mengingatnya, setiap kata yang keluar itu ternyata adalah mimpi-mimpi pribadinya. Aku selalu terpukau, dulu maupun sekarang.

Hubungan kami pun terjalin sama dekatnya seperti keong dengan cangkangnya. Dulu kukira dua hal itu saling membutuhkan. Tapi ternyata salah. Aku tak lebih dari sekedar cangkang yang tidak bisa mengikat, sementara dirinya keong yang bebas memilih cangkang mana yang akan ditujunya. Pertama kali kusadar ketika beberapa orang teman kami berkelakar. Saat itu kami sudah remaja, menempati bangku kuliah yang sama. Teman kami menyeletuk seenaknya: Kalian cocok bukan main, harusnya menikah, punya anak, bikin keluarga.

Hampir aku tersedak sebiji bakso. Cepat-cepat kulirik dirinya, siapa tahu ia punya pikiran yang sama sepertiku. Namun impianku langsung roboh saat itu juga. Ia tertawa tergelak-gelak. Katanya, dia cuma adik kecilku, tidak mungkinlah kami menikah. Lagi ia tertawa. Yang lain ikut tertawa. Aku mencoba untuk tersenyum. Ternyata seperti itu.

Maka dari itu ketika kalimat 'aku mau menikah' keluar dari mulutnya, aku seperti mengalami kejadian yang sama untuk kali kedua. Untung kesempatan yang ini aku lebih siap mental, mengingat memang tak ada ikatan antara aku dengannya. Ia masih bertutur, sementara aku sudah tak menangkap penuh kata-katanya. Cuma satu yang terlihat jelas, ternyata ia masih si pendongeng yang dulu. Kubiarkan ia berenang di lautan mimpinya.

~ ~ ~

Tahukah kau bahwa aku ingin memprotes pribahasa 'gantungkanlah mimpimu setinggi langit'? Rasanya orang yang mengatakan itu lupa bahwa jika kau tak berhasil menggantungkan mimpi itu, kau bisa terjumus jatuh yang sakitnya bukan main. Silahkan kau bayangkan bagaimana rasanya jatuh dari langit.

Sakit itulah yang kulihat pada dirinya ketika ia datang padaku. Saat itu belum genap sebulan ia menapak di lembaran baru dalam hidupnya. Ia datang dengan gumpalan air mata yang sudah pecah, tangan lebam, dan terlihat samar-samar tapak jari tangan yang memerah di pipinya. Ternyata luka itu bukan kiasan, tapi secara harfiah bisa terjadi.

Dari ceritanya aku segera tahu bahwa ia menikahi orang yang salah. Pria itu selalu bermain tangan, katanya sambil tersengguk. Aku tak tahu harus berkata apa. Menyuruhnya meninggalkan pria itu sama saja dengan menanam egoku sendiri. Dan membiarkannya terus terjerat pun tak lebih dari pandu sorak yang menyemangatinya melompat jurang. Untuk detik itu aku hanya membuka tangan, membiarkan dirinya menangis sejadi-jadinya di pelukku. Aku kembali menjadi cangkang.

Semampu yang kuingat, belasan kali kejadian itu terjadi. Malam terakhir itu ia datang lagi dengan air matanya yang sama, tapi tak kulihat lagi luka-luka. Aku takkan berkata 'untunglah', karena luka batinnya jauh lebih besar menganga di dalam sana. Akhirnya aku mencoba menjawab kegalauannya. Tinggalkan pria itu, kataku. Betapa terkejutnya aku karena tiba-tiba ia menggeleng. Ternyata ia menyimpan pakem bahwa ini adalah tanggung jawab dirinya. Ia yang sudah memilih, ia pula yang harus menjalani. Aku geram sekaligus takjub dalam waktu yang sama. 

Lama kami berpelukan malam itu. Tersadarlah aku bahwa mungkin itu adalah kesempatan terakhir yang diberikan untuk mendekap dirinya. Besoknya aku dikejutkan lagi dengan sebuah kabar dari salah seorang kerabatnya. Ia sudah meninggal. Tak ada penjelasan lain. Aku pun tak sempat menanyakannya. Waktu itu aku hanya diam dan merenung.

Tak lama ketika aku bertandang ke tempatnya, akhirnya aku tahu apa yang menjadi sebab dirinya kehilangan nyawa. Katanya ia ditemukan sudah terbaring di dalam kamar. Tak tahu obat apa yang ditelannya. Segera ia dibopong ke rumah sakit waktu itu, tapi ternyata pertolongan pertama tak mampu mengembalikan napasnya. Ia sudah pergi, menyelesaikan kesakitan dengan dosis obat yang mematikan. Luka yang sudah terlanjur ada dihajar dengan tikaman lebih dahsyat hingga semua kembali tak terasa.

~ ~ ~

Aku berdiri di depan gundukan tanah basah. Beberapa jam yang lalu tanah ini digulingkan, dan sekarang kembali dipadatkan dengan tubuhnya yang kini tertidur di dalam. Si pendongeng telah menyelesaikan mimpi tanpa bisa menelan wujudnya. Si keong ini sudah beristirahat setelah lelah berlari, meninggalkan aku yang tergeletak jadi cangkang kosong dibelakangnya.

Aku jadi ingat beberapa kata orang yang sering kudengar : Manusia kadang bukan menyesali apa yang telah dilakukannya, melainkan apa yang tidak dilakukannya. Benar. Aku sesali apa yang tidak pernah kulakukan dulu. Harusnya aku tak begitu mudah melepasnya. Harusnya aku bisa menjadi pengait yang mencabut hatinya yang sudah tertimbun di padang lain, yang kemudian kutanam pelan-pelan di tanahku sendiri hingga tumbuh mengembang. Dan harusnya, aku sungguh-sungguh perlu menjadi orang buta untuk mencintainya. 



R.

13 komentar:

  1. Curhat, ya? wkwkwkwkk

    BalasHapus
  2. @anonim(yg seharusnya bernama purplesign) :
    Hahahaha,, iya curhatan tokohnyalah, bukan aku :P. Makasih jeng ud mampir,, sering2 dateng ya,, heheheh

    BalasHapus
  3. Ahem ahem...

    By... gw tau lo suka ma gw dari dulu dan kita selalu pnya markas, tapi lo masa tega ya by bikin endingnya begitu buat gw... Lo ga rela ya gw bahagia...







    Wakakkakakak

    Nice by!!! I love this more than anything. Meski ceritanya begitu2 aja, gw suka dengan gaya bahasa lo, gile makin mantep aja ni si babi. Hahhaha


    Lanjutkan!

    BalasHapus
  4. @mia:
    Hahahaha,, Gak lah mel, ini kisah cinta tetangga, bukan kita. Kalo kisah cinta kita mah pasti hepi ending dah. Makanya buruan lu kawin sama gw, biar nasibnya gak tragis gitu..wkwkwk

    Thx ya mel, akhir2 ini lagi sastramasohist nih. Hahahahah. Kemaren tiba2 gw pengen baca novel Ronggeng Dukuh Paruk. Trus semalem gw baca2 lagi novel N.H.Dini. Wakakaka parah,, gw tenggelam di karya jadul.

    BalasHapus
  5. Makanya lo cepet lamar gw donk. Gimana sih!

    I've waited for donkey's years!



    Wah telah lahir seorang sastrawan muda. Wakkaka. Narasinya bagus by yang ini.. indah, mengalun.. mungkin krn temanya juga ya. Biasa tema lo agak2 misteri gitu. Hahha

    BalasHapus
  6. I've waited for donkey's years!
    Ternyata ada ya istilah kayak begini dalam bhs inggris. Wakakaka...

    Thx lagi deh udah demen tulisan gw. Jadi semangat menulis lg XD XD

    BalasHapus
  7. beuh,,,curhat dalam bhs resmi wkwkkwkw :))

    BalasHapus
  8. @Ca Ya: wakakaka... Jadi malu sayaah... *pegi sambil nunduk geleng-geleng*

    BalasHapus
  9. Selalu berkunjung sobat :)
    Main k blog Ane ya gan

    Klik 4information y gan :)

    Komentar di tunggu sobat
    Jangan lupa follow jga :) ( follow back )

    Salam blogger

    BalasHapus
  10. @4information :

    Thx gan, nih ane lagi meluncur ke lapak ente.
    Salam blogger juga.
    :))

    BalasHapus
  11. "Tak lama ketika aku bertandang ke tempatnya, akhirnya aku tahu apa yang menjadi sebab dirinya kehilangan nyawa. Katanya ia ditemukan sudah terbaring di dalam kamar. Tak tahu obat apa yang ditelannya. Segera ia dibopong ke rumah sakit waktu itu, tapi ternyata pertolongan pertama tak mampu mengembalikan napasnya. Ia sudah pergi, menyelesaikan kesakitan dengan dosis obat yang mematikan. Luka yang sudah terlanjur ada dihajar dengan tikaman lebih dahsyat hingga semua kembali tak terasa".


    Ada sebuah antiklimaks di paraghraph ini, seandainya paraghraph ini ditiadakan tak akan mengurangi sedikitpun makna dari tulisan yang memang sudah bagus dibuat, oke ini cuma komentar, jangan tersinggung ya ....

    Salam kenal dan salam blogger.....
    Tetap semangka...oke

    BalasHapus
  12. @Pria Biru:

    Wah, Thx ya sudah bisa mampir ke sini sekaligus kasih komentar. :D

    Oh, timbul efek antiklimaks ya pada paragraf itu? Hm, tapi isi paragraf itu menjelaskan perihal sebab kematian wanita itu. Kalo misalnya dihilangkan nanti malah gak ketahuan apa sebabnya. Mungkin penyusunannya yang harus diperbaiki ya.

    Btw, thx sekali lagi. Saya follow blog Pria Biru ya:D

    BalasHapus
  13. wah...makasih juga udah mau jadi "pengikut"...oke saling share aja deh...

    keep bloggerhood...

    BalasHapus