Selasa, 19 April 2011

fiksi : WAIT AND HOPE

Sinar matahari sore menyorot lewat jendela kotak-kotak di sebelah kiri Lionel, menembus gorden berenda yang tipis dan menciptakan seleret cahaya samar yang jatuh di lantai batu berwarna hijau. Lantai bangsal ini disusun dari potongan-potongan ubin keras yang lebar, dan sepanjang hari mengeluarkan aroma cairan pembersih antiseptik yang digosokkan secara rutin di atasnya. Pagi jam delapan dan sore jam empat, si wanita gemuk – yang belakangan diketahui Lionel bernama Mrs. Tyler – selalu terlihat kerepotan dengan ember alumunium dan gagang pel, berusaha menggosok ubin itu dengan susah payah namun tetap ramah menyapa pasien di setiap bangsal yang dilewatinya.

Lionel melihat sekilas jam besar yang ditaruh tinggi di atas dinding di sebelah kanannya. Jam tiga tepat, yang berarti Mrs.Tyler pasti akan datang setidaknya satu jam lagi. Kebiasaan dan ketepatan waktu dalam rutinitas dokter, perawat, petugas pembersih, atau bahkan pengantar pesan, sepertinya secara tidak sengaja disesuaikan dengan pasien-pasien yang mereka rawat. Ketepatan militer, itu yang selalu mereka sebutkan ketika Lionel mencoba menyinggungnya.

Minggu, 17 April 2011

Blogspot Saya Resmi Dibuka

*ngecek mic* (tes tes, 1, 2, 3, tes – oke semua siap ya..)

*floor director ngacungin jempol-nya*

*Lampu panggung meredup, diganti dengan lampu sorot yang ajib terangnya*

“Ehemm, baiklah saudara-saudara, sebelumnya saya ucapkan selamat datang dalam acara yang spektakuler ini, sebuah perhelatan akbar terbesar yang belum pernah diadakan dalam se-abad ini.”

*penonton kompak ber-Woooo, saya tetep pasang muka cool*

Kamis, 14 April 2011

Makanan Jadoel

*penulisan blog ini diiringi dengan geletuk-kan crunchy di mulut dari snack yang saya kangenin*

Akhirnya kesampean lagi.
Kemaren2 ini saya sempet dilanda kerinduan berat dengan makanan-makanan djaman doeloe (jadul).
Tapi sebelum membahas rupa dan bentuk makanan ini, ada baiknya kita tengok siapa dalang yang menyebabkan saya jadi rindu dengan makanan jadul. Sesosok manusia ghoib yang tidak nampak (karena cuma ngobrol lewat ym), sering update status tentang dirinya yang lagi “makan ini…” atau “makan itu…” Trus kalo gak lewat status, kabar itu cuma disampaikan dengan celetukan nyolot, “eh, gue lagi makan ini nih…”

D’ooh!
You berhasil membuat iler ane menetes, you know!
Masalahnya apa yang dia makan itu adalah makanan yang saya makan waktu jaman muda dulu. Masih ABG lah, jaman sekolah getooh. Alhasil karena saya udah lama banget gak menyentuh makanan itu, jadinya saya kangen berat pengen ngerasain makanan itu di ujung lidah saya *drooling*. Nah, makanan-makanan lain yang gak disebut dia pun akhirnya jadi kepikiran deh ama saya. Betapa nikmatnya mencicipi ini lagi… Betapa aku haus akan belaian makanan itu… Ooohh… Hayoo yang berasa bikin status bikin ngiler itu angkat tangan!! (dengan ilmu cenayang canggih, pasti nanti dia akan komen di bawah)*LoL*


Rabu, 13 April 2011

Happy Birthday to me

Happy Birthday to me… Happy Birthday to me…
Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday to meeee…

Biarkan saya bernarsis-narsis ria di sini, sebelum narsis itu dilarang.


Akhirnya tanggal keramat ini datang juga. 13 April.
Mungkin bagi sebagian orang anti-pati banget dengan angka 13 ini. Engkoh-engkoh Glodok mati-matian lapaknya gak mau dikasih nomor 13, sampe demo ke developernya. Gedung-gedung kompak barengan gak mau pake lantai 13, jadilah tertulis lantai 12A. Belom lagi ibu-ibu yang ngelahirin anaknya sampe 13 biji, hingga yang terakhir harus rela dikapak sampe mati *LoL* (yg terakhir ini justkid kok).

Tapi apa daya nasib berkata lain pada diriku *memelas ala sinetron*. Yep, saya memang dilahirkan tepat pada tanggal 13 April. Lihat, udah ada angka 13, lengkap pula dikasih dengan angka 4 (April). Angka 4 juga angka keramat tuh. Kalo gak percaya, silahkan tanya Kelenteng-Kelenteng yang terdekat dengan anda.

Minggu, 10 April 2011

Review Buku : The Divide

Judul      : The Divide
Penulis   : Nicholas Evans
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Rating    : 2.5/5

Saya menutup novel ini dengan perasaan yang saling tumpang tindih. Pertama rasa bete yang berkepanjangan, rasa (sedikit) berdebar-debar di penghujung akhir, hingga perasaan lega karena berhasil menyelesaikan novel ini dengan usaha yang keras. Segitu kerasnya, kah? Ya kurang lebih menguras batin dan fisik saya (baca: capek).

Sebelum saya kupas lebih jauh tentang apa yang saya keluhkan dan apa yang membuat saya ber-debar2, ada baiknya kita tengok dulu apa isi dan keseluruhan cerita yang dibangun dalam novel ini.

Sabtu, 09 April 2011

Transisi Perubahan Gaya Bahasa dan Bacaan

lisDari hasil obrolan panjang lebar dan ngalor ngidul dengan Mia beberapa hari belakangan ini, baik topik film, novel, hot gosip, sampai tentang sikap ‘skeptic’ dan ‘subjective’ saya yang berkepanjangan,  saya menjadi tergelitik untuk membahas sedikit topik yang terus menerus mengendap di alam bawah sadar saya, yaitu tentang gaya penulisan. Ini juga dipicu dari beberapa komentar (sadis) Mia tentang cerpen yang beberapa hari lalu saya posting di sini.

Kita tengok sebentar yuk komennya, terutama bagian ini.
“Hahahha, gaya menulis dengan bahasa yang klasik formal, masih ciri khas lo ya.”

Nah, that’s the point. Komentar ini yang sedikit banyak memicu saya untuk berpikir dan membawa diri saya sampai terlempar ke masa beberapa tahun silam. Saya menjadi tertarik untuk membuka beberapa lembaran memori saya, dan bahkan sampai benar-benar membuka (dan mengubek-ubek) lemari saya untuk mencari karya tulis yang pernah saya buat saat jaman lampau.

(Sebenernya mau ngebahas apa sih, bang?? repot bener ngomong dari tadi!!)

Rabu, 06 April 2011

fiksi : MY GIFT

Jam di meja mengeluarkan bunyi detaknya yang halus, pelan, dan menghipnotis.

Jika saja aku mau mencoba mendengarkannya pelan-pelan, mungkin aku bisa menghitungnya tanpa harus repot-repot melihat jam itu. Tapi untuk apa aku melihatnya, toh tidak berati apa-apa bagiku. Wujud jam itu mungkin biasa saja, sesuai dengan apa yang bisa kubayangkan. Tiga buah jarum yang berputar dengan sederet angka melingkar, Mom mengatakannya seperti itu saat aku menerimanya sebagai kado ulang tahunku yang ke sembilan - persis enam tahun lalu. Dan di belakangnya ada pigura yang kuselipkan fotomu yang cantik, Mom menambahkan.

Saat-saat tertentu perbedaan waktu memang kadang menjadi kendala bagiku, ya aku harus mengakuinya. Namun aku dengan bangga menyatakan kalau aku memiliki keahlian khusus untuk yang satu ini. Entah karena Tuhan memberikannya secara sengaja untukku, atau sebagai rasa permohonan maaf-Nya karena telah lalai menciptakan diriku, aku tahu dengan pasti bahwa apa pun alasannya, aku mengartikan semua ini sebagai satu anugerah.

Minggu, 03 April 2011

Murderer From The Past : Bab 4

Keputusan Ashley untuk terlibat dalam kasus Mrs.Faberson tidak banyak berpengaruh pada pekerjaannya sendiri.

Sebagaimana biasanya – seperti mesin yang sudah terprogram – ia menjalani tugasnya yang memang sudah menjadi keharusan. Pekerjaannya hari ini tidak banyak, hanya ada satu dua klien yang ditemuinya, dan menghadiri sebuah persidangan yang berbelit tentang kliennya yang entah bagaimana bisa dituduh sedang menggunakan marijuana.

Dengan enggan Ashley mau tidak mau mengakui bahwa pikirannya sempat berbentur beberapa kali antara masalah pekerjaannya dengan hal yang menyangkut Mrs.Faberson. Apa yang baru diketahui olehnya atau pun oleh Inspektur Bradford hanyalah baru sebagian kecil informasi saja, belum dapat menuntun mereka pada satu pemecahan pun.

Murderer From The Past : Bab 3

“Jangan bercanda,” kata Inspektur Bradford. “Aku sama sekali tidak mengenal Mrs.Faberson.”

Ashley terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

“Tapi,” akhirnya Ashley berkata, “tadi Mrs.Faberson mengatakan kalau ia teman dekatmu. Dan kaulah yang mengenalkannya padaku. Kau menyuruhnya datang padaku, kan?”

“Bagaimana mungkin aku menyuruhnya datang padamu. Aku saja sama sekali belum pernah menemuinya.,” tukas Inspektur Bradford.

“Aku masih ingat apa yang ia katakan padaku, Inspektur Bradford. Dengan jelas ia mengatakan kalau ia mengenalmu lewat sebuah tur perjalanan ke Roma beberapa tahun lalu. Saat ini ia sedang tertimpa banyak masalah, dan kaulah yang menyuruhnya datang padaku untuk membantunya menyelesaikan masalah itu,” tutur Ashley.

Murderer From The Past : Bab 2

Hal pertama yang terlintas di benak Ashley tentang Mrs.Faberson adalah bahwa ia seorang wanita yang berkelas.

Penampilannya sungguh luar biasa. Ia mengenakan mantel bulu coklat di atas blus hitam panjangnya, disertai dengan topi rajutan yang warnanya senada. Wajahnya agak panjang dan pipinya terlihat cekung.

Mrs.Faberson lalu berjalan dari pintu, menyalami Ashley, dan memperkenalkan dirinya. Suaranya terdengar parau dan kering, persis seperti yang terdengar di telepon kemarin.

“Senang rasanya berkenalan dengan anda,” kata Ashley.

“Begitu juga aku,” balas Mrs.Faberson sambil membuka mantel dan topinya. Rambutnya yang sudah memutih di satu dua tempat digulung dengan rapi. Mrs.Faberson kemudian duduk di seberang Ashley.

Murderer From The Past : Bab 1

Ashley Grisham memperlambat laju mobilnya, menyalakan lampu sen kanan, dan langsung membelokkan mobilnya ke jalan yang sedikit menanjak di Livorne Drive.

Pagi yang buruk! Katanya dalam hati.

Dengan mata tertuju pada jalan di depannya yang terselimuti salju tebal, Ashley mencoba mempertahankan mobilnya agar tetap berjalan di jalur yang benar. Lampu kabutnya menyorot tajam ke depan, namun tidak banyak membantu karena salju-salju itu terus saja menutupi kaca depannya, menyebabkan wiper-nya terus berdecit-decit meminta pertolongan.

Inilah yang menyebabkan ia sedari tadi mengeluh. Langit pagi yang seharusnya cerah berubah total menjadi tumpukan awan kelabu dengan butiran-butiran esnya yang melayang-layang jatuh. London dalam sekejap langsung berubah begitu saja menjadi kota dingin yang ditutupi dengan lapisan salju yang putih keperakan.

Jumat, 01 April 2011

Blog Setelah Hibernasi Panjang

Satu kata yang gw terus ucapin berulang-ulang saat detik-detik menjelang proses penulisan blog ini.

OMG!!!

*yakin satu kata? perasaan itu tiga kata yg disingkat.... Whateverlah...

Apa sebab musabab kenapa gw begitu histeris saat menulis blog ini? Berikut ini adalah uraian jawabannya *eheem*

Review Buku : The Choice

Judul      : The Choice
Penulis   : Nicholas Sparks
Penerbit :Gramedia Pustaka Utama
Rating    : 3/5

Lagi, setelah beberapa karya Nicholas Sparks yang berhasil menghipnotis saya, kini hadir kembali sebuah cerita yang tidak kalah menariknya, yang mencampur aduk perasaan saya di sepanjang kisah di novel ini. Ada perasaan senang dan bergairah yang timbul, kalut, sedih, hingga bergetar menyaksikan sebuah ending cerita yang cukup menyentuh. Ya, ini memang adalah sebuah ciri khas dari Nicholas Sparks yang ada dalam setiap tulisannya, yang meskipun sederhana, mampu menyedot pembaca dalam sebuah alur cerita hingga pembaca melibatkan perasaannya sendiri dalam cerita itu. How amazing...