Kamis, 15 Desember 2011

fiksi : KAU PATUT BERTANYA

Mendekati petang, aku kembali bertanya: apakah arti hidup?

Lucunya aku sering menggaungkan pertanyaan ini; baik kemarin, lusa, minggu kemarin, bulan lalu, atau rentang waktu panjang di belakang yang sudah tak bisa lagi kutakar. Lalu saat itu aku akan kembali lupa. Sekejap aku menjalani hidup yang biasa, tanpa repot lagi bertanya-tanya. Namun ada kalanya aku kembali terusik. Apa yang kulihat dan kurasa menjelma jadi satu tongkat panjang yang rajin mengetuk-ngetuk kepala, memaksa aku menempatkan pertanyaan itu lagi di ujung lidah.

Mulanya pagi ini. Subuh. Langit bahkan belum tegas berwarna. Ayam di atas pagar masih mengantuk. Suara kokoknya kalah dengan deru knalpot motorku yang nyaring. Dan tak lama kemudian aku sudah membelah udara jalan raya yang komposisi asapya lebih banyak ketimbang titik embunnya. Selalu setiap pagi, selepas jarak lima kilometer yang kutempuh, aku akan dihadang tiang lampu tiga warna. Kali ini aku berhadapan dengan si merah. Angka di sampingnya berkedip malas mulai dari 126 detik.

Senin, 05 Desember 2011

fiksi : SEPASANG CANGKIR

Segalanya menjadi berbeda ketika kau hanya diam dan menatap. Tak perlu lidah untuk mengumbar kata. Kau hanya cukup untuk merasa agar semua tersimpan menjadi kenangan. Dan kenangan bukanlah besi yang bisa mengkarat oleh gerusan waktu.

Lembar kenangan itu mulai menyisip ketika aku masih berwujub janin berupa segunduk lempung basah. Rahimku adalah satu perbot kayu bulat lengkap dengan tangkupan kedua tangan pria itu. Jari-jarinya tak kunjung lelah menumbuhkanku—memilin, memutar, mengelus, atau memercikku berkali-kali dengan air. Lambat laun aku mulai bertransformasi, dari satu bentuk yang acak dan liat ke satu bentuk lain yang utuh dan padat. Sebuah cangkir dengan satu lengkungan tangan yang menempel di pinggang.

Lama diriku dipapar terik matahari. Rasanya enak, hangat dan segar. Kemudian aku digiring lagi ke satu tempat lain dengan panas yang berpuluh kali lipat. Kali ini hawa baranya mengalirkan gelenyar nikmat ke sekujur tubuhku. Suara desisan dan percikan api membentuk harmoni pengiring tidurku.

Minggu, 27 November 2011

fiksi : CERITA KITA - SALAM DALAM PERAHU

SALAM DALAM PERAHU

Robby Hermawan

Ini sudah kali ketiga aku melihat gadis kecil itu. Rambutnya dikepang dua, kulit menghitam digarang matahari. Kakinya yang kecil menginjak dan memecah buih di bibir pantai. Mulutnya mengulum senyum sembari menggendong benda berwarna-warni di dada. Perahu-perahu kertas.

Lantas setelah air menelan separuh kakinya, ia menunduk dan melepas perahu-perahu itu. Satu-persatu didorongnya dengan lembut, dan perahu-perahu itu bergoyang-goyang diguncang ombak. Satu perahu mulai limbung, yang lain terpelanting, dan beberapa lagi mulai tenggelam. Namun gadis itu tak peduli. Ia malah menangkupkan tangan di depan dada dan merapatkan mata. Bibir berkomat-kamit menaikkan doa.

Karena dirundung penasaran, aku pun menghampirinya. “Perahunya mulai tenggelam,” kataku.

Ia mengintipku dari sudut mata. Aku tersenyum. Kataku lagi, “Untuk siapa perahu-perahu itu?”

Rabu, 09 November 2011

fiksi : SATU SISI

Kata orang, cinta itu buta.

Kadang aku setuju.
Tapi bukankah sering terdengar adagium lain, bahwa mata adalah jendela hati. Dari benda kecil yang menyempil di rongga wajah itu tampak setumpuk perasaan yang disimpan di ruang hatinya. Benda itu seperti pintu yang membuka, yang mengijinkan aku berjalan di lorongnya, dan menemukan satu jawaban di ujungnya. Jawaban itu akan dibisikkan halus. Jawaban itu akan dituliskan lembut. Meski tak lantang, kau pun tetap dapat menangkap artinya.

Dan dari mata itulah aku tahu sirat rasa apa yang selama ini ia simpan. Ketika aku menatapnya dengan cinta, aku berharap ada getar yang sama dalam balasannya. Namun ternyata tidak. Aku hanya menerima 'kau baik', atau 'kau sahabat pengertian, atau juga 'kita teman selamanya'. Yang ada hanya suka, bukan cinta. Dua kata dengan makna yang terkesan sama, tapi begitu kau lihat lebih dekat, ternyata ada sekat tinggi yang membatasinya.

Jadi perlukah aku buta untuk mencintainya?
Kurasa tak harus aku menjadi orang buta. Justru aku perlu melihat agar kutahu setiap jejak langkah kakinya, agar bisa kutelusuri dan kuiringi di belakang. Dengan ini kutahu di mana hatinya tertanam dan di mana ia menuai kebahagiaan; tidak seperti orang buta yang tak pernah tahu arah, yang mencabut paksa akar dirinya hingga mati mengering.

Rabu, 02 November 2011

fiksi : JENUH


Peluit kereta ini berbunyi nyaring, disusul suara derak dan keretakan keras, mulai dari lokomotif hingga gerbong-gerbong di belakangnya. Satu desisan panjang juga terdengar, saling beradu sengit antara suara si petugas yang teriak-teriak sambil mengacung-ngacungkan tongkat dan kumpulan orang-orang yang ribut mengejar-ngejar kereta.

Mereka tidak seragam, tak ada tampang kesamaan. Ada orang berkemeja yang baru digosok kemarin sore, ada ibu-ibu yang sudah mandi keringat sambil menarik-narik anaknya, ada bapak tua yang baru saja meloncat ke pintu sembari menggendong ayam, dan di jendela sebelah, penjual kue onde-onde masih sibuk bertukar uang dengan pembelinya. Ibarat seorang penjahit, mereka terlihat seperti kain berbeda warna, tapi digunting dengan pola yang sama. Jatuh dalam satu tujuan.

Aku menyandarkan diri ketika kereta semakin cepat melaju. Isi lambung gerbong sudah sesak. Udara yang pengap diperebutkan banyak orang. Beruntung aku duduk di samping jendela yang kacanya sudah pecah sebelah.

Satu hal telah kusadari ketika aku melihat dengan mata yang sudah lelah ini. Kita semua berjalan di pacuan yang sama, dimana aku pun turut jatuh dalam jebakannya. Tak bisa menghindar lagi. Hari-hari berjalan tak ubahnya seperti kereta ini. Satu peluit tanda kita harus berlari, menempuh satu buah rel panjang dengan tikungan yang mungkin diberi. Tapi tujuannya selalu satu. Dan pasti. Tujuan satu pun bisa tercapai, tapi bukankah akan muncul satu tujuan lain, hingga bahkan mungkin harus berputar dan mengulang lagi. Di mana titik akhirnya?, mungkin kau akan bertanya. Aku cuma punya satu jawaban, sampai kereta ini usang dan menunggu untuk dibuang.

Aku jadi ingat film-film robot yang sering kulihat di teve. Mereka kelihatannya hidup, bisa berjalan, bisa berpikir, dan kadang bisa melawan. Oh, aku harus bertepuk tangan pada si robot yang bisa melawan itu. Tapi itu cuma di film, kan? Biasanya film cuma mengumbar mimpi yang menggiurkan. Badan ini memang seperti robot, cuma sayang tidak diprogram untuk melawan. Mungkin prosesornya bagus, tapi tetap saja
butuh baterai untuk terus mengaliri listrik ke sirkuitnya. Tak ada baterai, tak ada listrik, tak ada hidup; lagi, menunggu untuk dibuang.

Satu helaan napasku seakaan berbicara. Aku lelah. Aku butuh tempat dimana aku tak terikat. Aku butuh udara dimana paru-paruku bisa menyerap dengan bebas. Tapi dimana tempat itu? Burung yang terbang pun tak punya, ia juga datang dan pergi di jalur yang sama. Begitupun rumput-rumput yang terbuai angin itu, selalu tumbuh, meninggi, mengering, dan mati. Satu titik akhir itu memang berlaku untuk semuanya.

Tak terkecuali.

Peluit itu kembali berbunyi. Satu tujuan sudah sampai. Dua-tiga orang turun, dua-tiga orang juga naik lagi. Dengan berat yang sama, kereta ini kembali berlari.



R.

Sabtu, 16 Juli 2011

fiksi : Cerita Kolaborasi (From The Beginning)

Pernah melakukan permainan 'Saling Sambung Cerita'??

Ini adalah salah satu permainan asik yang suka saya lakukan ketika masih jaman SMU dulu. Jadi cara bermainnya gini, saya dan partner saya membuat suatu cerita yang tokoh, premis, alur dan plotnya tidak ditentukan sebelumnya. Salah satu dari kita kemudian memulai menulis, contohnya saya dulu yang memulai cerita. Awalnya saya memasukkan satu kalimat, satu paragraf, atau beberapa paragraf sekaligus. Ini dilakukan secara otodidak, pokoknya tulis aja apa yang ada di kepala.

Nah, berikutnya setelah selesai, partner saya melanjutkan cerita itu dengan kalimat atau paragrafnya. Begitulah seterusnya, secara berganti-ganti kita saling sambung menyambung cerita. Hasilnya terciptalah suatu tulisan panjang hasil kolaborasi kedua penulis amatir. Hehehehe...

Gimana? Asik kan? Ya, meskipun kadang hasil akhir ceritanya suka ngawur ke mana-mana, setidaknya permainan ini bagus dilakukan untuk melatih teknik menulis.

Senin, 04 Juli 2011

Review Buku : Hush, Hush


Judul        : Hush, Hush
Penulis     : Becca Fitzpatrick
Penerbit   : Ufuk Press
Tebal       : 488 halaman
Rating      : 2/5

Saya sesungguhnya sudah menyelesaikan novel ini jauh sebelum saya menulis review ini. According to Goodreads, saya sudah mulai membuka halaman pertama ini pada tanggal 7 Mei 2011, dan berhasil menyikat habis kurang lebih dalam waktu 3-4 hari. Pantaskah diberi pujian pada buku ini hingga saya bisa secepat itu menyelesaikannya? Well, biasanya ada dua alasan konkret kenapa saya sampai ngebut dengan kecepatan penuh pada saat membaca buku. Pertama adalah buku itu benar-benar menarik hingga saya susah untuk menutup buku itu, atau kedua buku itu benar-benar datar, gak penting, hingga saya cepet-cepet menyelesaikannya sebelum mood saya bertambah buruk (lebih baik saya baca daripada saya robek). Nah, bagaimana sengan si Hush Hush ini? Kita lacak saja satu per satu isinya untuk tahu alasan mana yang saya pakai untuk menyelesaikan buku ini.

Minggu, 22 Mei 2011

Film dan Setting Favorit


Kali ini saya mau bercuap-cuap tentang film, ah…

Berbicara tentang film, saya jadi mau mengeluh sedikit karena betapa minimnya film-film impor berkualitas yang masuk ke bioskop indonesia sekarang ini. Praktis dalam waktu empat bulan belakangan ini, saya sudah jarang mengunjungi bioskop lagi, tidak seperti waktu-waktu sebelumnya. Coba ditengok film-film yang ada sekarang, beberapa film impor jadul terpaksa diputer; belom lagi kuntilanak, pocong, suster ngesot, dan teman-temannya yang pengen eksis di layar bioskop. Gak adanya film-film hollywood baru yang masuk ke indonesia ini lantaran karena adanya embel-embel pajak yang diributin di sana-sini. Gak tahu deh persisnya seperti apa, karena beritanya udah rancu di mana-mana. Yang jelas, satu kesimpulan bisa ditarik, yakni PEMERINTAH AMAT SANGAT BAIK, sehingga orang-orang yang gak bisa nonton film-film baru akhirnya lari ke dvd-dvd bajakan. Yup, Hidup DVD BAJAKAN!!!

Tapi untungnya, kemarin ini ada salah satu film hollywood baru yang bisa masuk bioskop indo, yaitu film Source Code. Thanks God! *narik napas lega* Pasalnya, dengan adanya film ini, saya bisa menghirup udara bioskop lagi yang saya rindukan. *berlinang air mata*

Nah, tepatnya hari Rabu kemarin saya akhirnya nonton film ini juga. Ceritanya sih lumayan, bertema action sci-fi, dan bercerita tentang suatu organisasi pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk memasuki pikiran orang lain, dengan menciptakan dunia orang itu berdasarkan short memory yang masih ada di dalam otaknya. Saya gak usah berbicara panjang lebar tentang film ini deh, soalnya saya ingin membahas setting-setting yang biasa dipakai dalam suatu film.

Jumat, 13 Mei 2011

Review Buku : Water For Elephants

Judul        : Water For Elephants
Penulis     : Sara Gruen
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tebal       : 506 halaman
Rating      : 5/5

Pernahkah anda ketika membaca suatu buku, dan buku itu bener-bener susah untuk ditutup? Dan ketika anda benar-benar menutup buku itu, bukan karena anda bosan dengan ceritanya, namun karena mata dan punggung anda sudah terlalu lelah?

Kalau saya ditanya dengan pertanyaan itu, saya akan jawab pernah.
Saya masih ingat buku-buku apa saja yang dulu pernah menghipnotis saya seperti itu, dan beberapanya adalah buku-buku ini :
Dari genre fantasi, ada novel serial Harry Potter karya J.K.Rowling yang sangat fenomenal. Kalau dari genre misteri & suspense, The Da Vinci Code karya Dan Brown lah juaranya. Dan kalau untuk genre roman/cinta-cintaan, saya bisa menyebutkan Dear John karya Nicholas Sparks yang cukup sukses untuk terus nempel di kelapa saya. Nah, kemudian sekarang ini saya menemukan lagi novel semacam itu, yakni Water For Elephants karya Sara Gruen. Ya, menurut saya Water For Elephants merupakan buku dengan daya pikat yang menarik hingga saya merasa ikut terhanyut dalam alur ceritanya.

Rabu, 04 Mei 2011

Review Buku : I Am Number Four



Judul       : I Am Number Four (Buku pertama seri The Lorien Legacies)
Penulis    : Pittacus Lore
Penerbit  : Mizan Fantasi
Rating     : 3/5

Yah, mungkin bagi sebagian orang yang iseng-iseng buka review ini bisa teriak dan jerit-jeritan “Woi Telat loe!!!!’ … “What?! Hari gini baru ngomongin si Nomor Empat!!!” …

*pasang muka cuek*
Yeah, whatever-lah dengan omongan para tetangga. Beda orang, beda kepala, pasti beda juga dengan cara pandang dan penilaiannya. Dan inilah review saya, yang baik buruknya harap ditelan secara bijak.

Oke, hari ini kita akan membahas satu novel fantasi bertajuk I AM NUMBER FOUR.
Pertama, (maaf kalau udah negatif opini duluan) saya agak kurang sreg dengan cover novel ini. Kenapa ya, entah penikmat novel yang lain merasa atau tidak, rasanya kalau cover suatu novel berisi gambar seseorang yang nyata itu gak catchy banget untuk dilihat. Parahnya lagi, orang yang ada di cover itu adalah actor/actress yang berperan dalam novel yang sudah difilmkan tersebut. Salah satu korbannya sekarang ini adalah novel I Am Number Four, dimana covernya bergambar Alex Pettyfer yang lagi jalan dengan gaya dan tatapan (sok) cool. Tapi agak sedikit aneh, kenapa struktur wajah di cover itu rada beda sedikit sama struktur asli Alex Pettyfer di filmnya ya, apa itu hasil polesan, atau jangan-jangan gambar di cover itu cuma Alex Pettyfer wannabe. LoL Gak tau pasti deh, yang jelas saya tetep gak suka ngeliat cover novel yang cuma jadi korban dari filmnya. Kenapa sih gak pake ilustrasi apa kek gitu yang keren, yang catchy, yang artistik, yang seenggaknya menunjukkan kreatifitas para ilustrator cover. (Jadi inget cover Twilight Saga yang sekarang bertebaran muka Kristen Stewart dan Taylor Lautner, bikin saya nepok jidat waktu ngeliatnya)

Selasa, 19 April 2011

fiksi : WAIT AND HOPE

Sinar matahari sore menyorot lewat jendela kotak-kotak di sebelah kiri Lionel, menembus gorden berenda yang tipis dan menciptakan seleret cahaya samar yang jatuh di lantai batu berwarna hijau. Lantai bangsal ini disusun dari potongan-potongan ubin keras yang lebar, dan sepanjang hari mengeluarkan aroma cairan pembersih antiseptik yang digosokkan secara rutin di atasnya. Pagi jam delapan dan sore jam empat, si wanita gemuk – yang belakangan diketahui Lionel bernama Mrs. Tyler – selalu terlihat kerepotan dengan ember alumunium dan gagang pel, berusaha menggosok ubin itu dengan susah payah namun tetap ramah menyapa pasien di setiap bangsal yang dilewatinya.

Lionel melihat sekilas jam besar yang ditaruh tinggi di atas dinding di sebelah kanannya. Jam tiga tepat, yang berarti Mrs.Tyler pasti akan datang setidaknya satu jam lagi. Kebiasaan dan ketepatan waktu dalam rutinitas dokter, perawat, petugas pembersih, atau bahkan pengantar pesan, sepertinya secara tidak sengaja disesuaikan dengan pasien-pasien yang mereka rawat. Ketepatan militer, itu yang selalu mereka sebutkan ketika Lionel mencoba menyinggungnya.

Minggu, 17 April 2011

Blogspot Saya Resmi Dibuka

*ngecek mic* (tes tes, 1, 2, 3, tes – oke semua siap ya..)

*floor director ngacungin jempol-nya*

*Lampu panggung meredup, diganti dengan lampu sorot yang ajib terangnya*

“Ehemm, baiklah saudara-saudara, sebelumnya saya ucapkan selamat datang dalam acara yang spektakuler ini, sebuah perhelatan akbar terbesar yang belum pernah diadakan dalam se-abad ini.”

*penonton kompak ber-Woooo, saya tetep pasang muka cool*

Kamis, 14 April 2011

Makanan Jadoel

*penulisan blog ini diiringi dengan geletuk-kan crunchy di mulut dari snack yang saya kangenin*

Akhirnya kesampean lagi.
Kemaren2 ini saya sempet dilanda kerinduan berat dengan makanan-makanan djaman doeloe (jadul).
Tapi sebelum membahas rupa dan bentuk makanan ini, ada baiknya kita tengok siapa dalang yang menyebabkan saya jadi rindu dengan makanan jadul. Sesosok manusia ghoib yang tidak nampak (karena cuma ngobrol lewat ym), sering update status tentang dirinya yang lagi “makan ini…” atau “makan itu…” Trus kalo gak lewat status, kabar itu cuma disampaikan dengan celetukan nyolot, “eh, gue lagi makan ini nih…”

D’ooh!
You berhasil membuat iler ane menetes, you know!
Masalahnya apa yang dia makan itu adalah makanan yang saya makan waktu jaman muda dulu. Masih ABG lah, jaman sekolah getooh. Alhasil karena saya udah lama banget gak menyentuh makanan itu, jadinya saya kangen berat pengen ngerasain makanan itu di ujung lidah saya *drooling*. Nah, makanan-makanan lain yang gak disebut dia pun akhirnya jadi kepikiran deh ama saya. Betapa nikmatnya mencicipi ini lagi… Betapa aku haus akan belaian makanan itu… Ooohh… Hayoo yang berasa bikin status bikin ngiler itu angkat tangan!! (dengan ilmu cenayang canggih, pasti nanti dia akan komen di bawah)*LoL*


Rabu, 13 April 2011

Happy Birthday to me

Happy Birthday to me… Happy Birthday to me…
Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday to meeee…

Biarkan saya bernarsis-narsis ria di sini, sebelum narsis itu dilarang.


Akhirnya tanggal keramat ini datang juga. 13 April.
Mungkin bagi sebagian orang anti-pati banget dengan angka 13 ini. Engkoh-engkoh Glodok mati-matian lapaknya gak mau dikasih nomor 13, sampe demo ke developernya. Gedung-gedung kompak barengan gak mau pake lantai 13, jadilah tertulis lantai 12A. Belom lagi ibu-ibu yang ngelahirin anaknya sampe 13 biji, hingga yang terakhir harus rela dikapak sampe mati *LoL* (yg terakhir ini justkid kok).

Tapi apa daya nasib berkata lain pada diriku *memelas ala sinetron*. Yep, saya memang dilahirkan tepat pada tanggal 13 April. Lihat, udah ada angka 13, lengkap pula dikasih dengan angka 4 (April). Angka 4 juga angka keramat tuh. Kalo gak percaya, silahkan tanya Kelenteng-Kelenteng yang terdekat dengan anda.

Minggu, 10 April 2011

Review Buku : The Divide

Judul      : The Divide
Penulis   : Nicholas Evans
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Rating    : 2.5/5

Saya menutup novel ini dengan perasaan yang saling tumpang tindih. Pertama rasa bete yang berkepanjangan, rasa (sedikit) berdebar-debar di penghujung akhir, hingga perasaan lega karena berhasil menyelesaikan novel ini dengan usaha yang keras. Segitu kerasnya, kah? Ya kurang lebih menguras batin dan fisik saya (baca: capek).

Sebelum saya kupas lebih jauh tentang apa yang saya keluhkan dan apa yang membuat saya ber-debar2, ada baiknya kita tengok dulu apa isi dan keseluruhan cerita yang dibangun dalam novel ini.

Sabtu, 09 April 2011

Transisi Perubahan Gaya Bahasa dan Bacaan

lisDari hasil obrolan panjang lebar dan ngalor ngidul dengan Mia beberapa hari belakangan ini, baik topik film, novel, hot gosip, sampai tentang sikap ‘skeptic’ dan ‘subjective’ saya yang berkepanjangan,  saya menjadi tergelitik untuk membahas sedikit topik yang terus menerus mengendap di alam bawah sadar saya, yaitu tentang gaya penulisan. Ini juga dipicu dari beberapa komentar (sadis) Mia tentang cerpen yang beberapa hari lalu saya posting di sini.

Kita tengok sebentar yuk komennya, terutama bagian ini.
“Hahahha, gaya menulis dengan bahasa yang klasik formal, masih ciri khas lo ya.”

Nah, that’s the point. Komentar ini yang sedikit banyak memicu saya untuk berpikir dan membawa diri saya sampai terlempar ke masa beberapa tahun silam. Saya menjadi tertarik untuk membuka beberapa lembaran memori saya, dan bahkan sampai benar-benar membuka (dan mengubek-ubek) lemari saya untuk mencari karya tulis yang pernah saya buat saat jaman lampau.

(Sebenernya mau ngebahas apa sih, bang?? repot bener ngomong dari tadi!!)

Rabu, 06 April 2011

fiksi : MY GIFT

Jam di meja mengeluarkan bunyi detaknya yang halus, pelan, dan menghipnotis.

Jika saja aku mau mencoba mendengarkannya pelan-pelan, mungkin aku bisa menghitungnya tanpa harus repot-repot melihat jam itu. Tapi untuk apa aku melihatnya, toh tidak berati apa-apa bagiku. Wujud jam itu mungkin biasa saja, sesuai dengan apa yang bisa kubayangkan. Tiga buah jarum yang berputar dengan sederet angka melingkar, Mom mengatakannya seperti itu saat aku menerimanya sebagai kado ulang tahunku yang ke sembilan - persis enam tahun lalu. Dan di belakangnya ada pigura yang kuselipkan fotomu yang cantik, Mom menambahkan.

Saat-saat tertentu perbedaan waktu memang kadang menjadi kendala bagiku, ya aku harus mengakuinya. Namun aku dengan bangga menyatakan kalau aku memiliki keahlian khusus untuk yang satu ini. Entah karena Tuhan memberikannya secara sengaja untukku, atau sebagai rasa permohonan maaf-Nya karena telah lalai menciptakan diriku, aku tahu dengan pasti bahwa apa pun alasannya, aku mengartikan semua ini sebagai satu anugerah.

Minggu, 03 April 2011

Murderer From The Past : Bab 4

Keputusan Ashley untuk terlibat dalam kasus Mrs.Faberson tidak banyak berpengaruh pada pekerjaannya sendiri.

Sebagaimana biasanya – seperti mesin yang sudah terprogram – ia menjalani tugasnya yang memang sudah menjadi keharusan. Pekerjaannya hari ini tidak banyak, hanya ada satu dua klien yang ditemuinya, dan menghadiri sebuah persidangan yang berbelit tentang kliennya yang entah bagaimana bisa dituduh sedang menggunakan marijuana.

Dengan enggan Ashley mau tidak mau mengakui bahwa pikirannya sempat berbentur beberapa kali antara masalah pekerjaannya dengan hal yang menyangkut Mrs.Faberson. Apa yang baru diketahui olehnya atau pun oleh Inspektur Bradford hanyalah baru sebagian kecil informasi saja, belum dapat menuntun mereka pada satu pemecahan pun.

Murderer From The Past : Bab 3

“Jangan bercanda,” kata Inspektur Bradford. “Aku sama sekali tidak mengenal Mrs.Faberson.”

Ashley terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

“Tapi,” akhirnya Ashley berkata, “tadi Mrs.Faberson mengatakan kalau ia teman dekatmu. Dan kaulah yang mengenalkannya padaku. Kau menyuruhnya datang padaku, kan?”

“Bagaimana mungkin aku menyuruhnya datang padamu. Aku saja sama sekali belum pernah menemuinya.,” tukas Inspektur Bradford.

“Aku masih ingat apa yang ia katakan padaku, Inspektur Bradford. Dengan jelas ia mengatakan kalau ia mengenalmu lewat sebuah tur perjalanan ke Roma beberapa tahun lalu. Saat ini ia sedang tertimpa banyak masalah, dan kaulah yang menyuruhnya datang padaku untuk membantunya menyelesaikan masalah itu,” tutur Ashley.

Murderer From The Past : Bab 2

Hal pertama yang terlintas di benak Ashley tentang Mrs.Faberson adalah bahwa ia seorang wanita yang berkelas.

Penampilannya sungguh luar biasa. Ia mengenakan mantel bulu coklat di atas blus hitam panjangnya, disertai dengan topi rajutan yang warnanya senada. Wajahnya agak panjang dan pipinya terlihat cekung.

Mrs.Faberson lalu berjalan dari pintu, menyalami Ashley, dan memperkenalkan dirinya. Suaranya terdengar parau dan kering, persis seperti yang terdengar di telepon kemarin.

“Senang rasanya berkenalan dengan anda,” kata Ashley.

“Begitu juga aku,” balas Mrs.Faberson sambil membuka mantel dan topinya. Rambutnya yang sudah memutih di satu dua tempat digulung dengan rapi. Mrs.Faberson kemudian duduk di seberang Ashley.

Murderer From The Past : Bab 1

Ashley Grisham memperlambat laju mobilnya, menyalakan lampu sen kanan, dan langsung membelokkan mobilnya ke jalan yang sedikit menanjak di Livorne Drive.

Pagi yang buruk! Katanya dalam hati.

Dengan mata tertuju pada jalan di depannya yang terselimuti salju tebal, Ashley mencoba mempertahankan mobilnya agar tetap berjalan di jalur yang benar. Lampu kabutnya menyorot tajam ke depan, namun tidak banyak membantu karena salju-salju itu terus saja menutupi kaca depannya, menyebabkan wiper-nya terus berdecit-decit meminta pertolongan.

Inilah yang menyebabkan ia sedari tadi mengeluh. Langit pagi yang seharusnya cerah berubah total menjadi tumpukan awan kelabu dengan butiran-butiran esnya yang melayang-layang jatuh. London dalam sekejap langsung berubah begitu saja menjadi kota dingin yang ditutupi dengan lapisan salju yang putih keperakan.

Jumat, 01 April 2011

Blog Setelah Hibernasi Panjang

Satu kata yang gw terus ucapin berulang-ulang saat detik-detik menjelang proses penulisan blog ini.

OMG!!!

*yakin satu kata? perasaan itu tiga kata yg disingkat.... Whateverlah...

Apa sebab musabab kenapa gw begitu histeris saat menulis blog ini? Berikut ini adalah uraian jawabannya *eheem*

Review Buku : The Choice

Judul      : The Choice
Penulis   : Nicholas Sparks
Penerbit :Gramedia Pustaka Utama
Rating    : 3/5

Lagi, setelah beberapa karya Nicholas Sparks yang berhasil menghipnotis saya, kini hadir kembali sebuah cerita yang tidak kalah menariknya, yang mencampur aduk perasaan saya di sepanjang kisah di novel ini. Ada perasaan senang dan bergairah yang timbul, kalut, sedih, hingga bergetar menyaksikan sebuah ending cerita yang cukup menyentuh. Ya, ini memang adalah sebuah ciri khas dari Nicholas Sparks yang ada dalam setiap tulisannya, yang meskipun sederhana, mampu menyedot pembaca dalam sebuah alur cerita hingga pembaca melibatkan perasaannya sendiri dalam cerita itu. How amazing...