Kamis, 25 Oktober 2012

fiksi : HASRAT

Rintik hujan tak pernah sanggup untuk kuhitung.
Terlampau banyak dan terlalu sering butir airnya jatuh dan memecah.
Mungkin sebanyak itu pula mataku sengaja menyentuh punggungnya.
Punggung lelaki yang sederhana, tak istimewa.
Tak pernah ada sayap yang mencuat di belikatnya.
Namun aku dibuat percaya bahwa tak selamanya sayap dimiliki malaikat.
      
Kali ini punggung itu berlapis jaket kulit coklat.
Hampir senada dengan rambut ikalnya yang gelap. 
Sedikit basah.
Mungkin tertimpa gerimis sebelum ia datang dan duduk di sudut sana.
Satu dua kali dia memiringkan kepala hingga bisa kulihat sebagian wajahnya.
Kadang satu senyum tersungging di sudut bibirnya.
Merubah dingin menjadi hangat, membuat malam bertambah cahaya.
      
Belum genap sebulan kuinjak kota ini.
Baru hitungan jari cafe mungil ini kudatangi.
Tapi aku sudah bisa merekam kebiasaan si lelaki.
Senin, Rabu, dan Sabtu, selalu tiba tepat waktu.
Duduk di bangku yang sama, ditemani secangkir kopi dan satu buku.
      
Dalam waktu yang sama tanganku bergerak di atas kertas.
Mataku berkali-kali melompat dari punggungnya ke sketsa yang kubuat.
Kugambar dirinya.
Tidak sesuai dengan apa yang kulihat, tapi kulukis menurut apa yang kubayang.
Hasrat.
Sebuah rasa yang sebelumnya jauh tenggelam.
Kini timbul ketika pertama kali kutangkap sosoknya.
Persis lumpur sungai yang naik diacak batu.
Dan lelaki ini yang jadi si pelempar.

Tanganku terus bergerak.
Otakku kembali memilah-milah tumpukan memori yang kusimpan.
Gambar-gambar. Berbeda satu dengan yang lainnya.
Berjalan cepat seperti roll film yang diputar tanpa jeda.
Semakin menuju akhir, semakin tebal peluh membasahi dahi.
Badanku gemetar, dingin, seolah seiiris es disapu ke sekujur kulit.
Di potongan film terakhir itu, segalanya terhenti.

   Saat itu malam.
   Aku dan seorang lelaki berambut ikal.
   Berdua dalam diam di bawah halte menunggu hujan.
   Satu detik memandang mata sudah cukup bagi kami berdua.
   Tak pernah ada yang salah dengan pertemuan itu.
   Dengan rasa itu.


Akankah terulang lagi? Aku bertanya.
Jawaban tidak hanya sempat berbisik kecil dan menguap hilang.
Kalah dengan rasa ingin yang tak henti berdenyut.
Tak ada salahnya untuk mengenal nama.
Maka aku merapikan sketsaku.
Menarik satu hela napas.
Kuhampiri lelaki itu.