Kamis, 15 Desember 2011

fiksi : KAU PATUT BERTANYA

Mendekati petang, aku kembali bertanya: apakah arti hidup?

Lucunya aku sering menggaungkan pertanyaan ini; baik kemarin, lusa, minggu kemarin, bulan lalu, atau rentang waktu panjang di belakang yang sudah tak bisa lagi kutakar. Lalu saat itu aku akan kembali lupa. Sekejap aku menjalani hidup yang biasa, tanpa repot lagi bertanya-tanya. Namun ada kalanya aku kembali terusik. Apa yang kulihat dan kurasa menjelma jadi satu tongkat panjang yang rajin mengetuk-ngetuk kepala, memaksa aku menempatkan pertanyaan itu lagi di ujung lidah.

Mulanya pagi ini. Subuh. Langit bahkan belum tegas berwarna. Ayam di atas pagar masih mengantuk. Suara kokoknya kalah dengan deru knalpot motorku yang nyaring. Dan tak lama kemudian aku sudah membelah udara jalan raya yang komposisi asapya lebih banyak ketimbang titik embunnya. Selalu setiap pagi, selepas jarak lima kilometer yang kutempuh, aku akan dihadang tiang lampu tiga warna. Kali ini aku berhadapan dengan si merah. Angka di sampingnya berkedip malas mulai dari 126 detik.

Senin, 05 Desember 2011

fiksi : SEPASANG CANGKIR

Segalanya menjadi berbeda ketika kau hanya diam dan menatap. Tak perlu lidah untuk mengumbar kata. Kau hanya cukup untuk merasa agar semua tersimpan menjadi kenangan. Dan kenangan bukanlah besi yang bisa mengkarat oleh gerusan waktu.

Lembar kenangan itu mulai menyisip ketika aku masih berwujub janin berupa segunduk lempung basah. Rahimku adalah satu perbot kayu bulat lengkap dengan tangkupan kedua tangan pria itu. Jari-jarinya tak kunjung lelah menumbuhkanku—memilin, memutar, mengelus, atau memercikku berkali-kali dengan air. Lambat laun aku mulai bertransformasi, dari satu bentuk yang acak dan liat ke satu bentuk lain yang utuh dan padat. Sebuah cangkir dengan satu lengkungan tangan yang menempel di pinggang.

Lama diriku dipapar terik matahari. Rasanya enak, hangat dan segar. Kemudian aku digiring lagi ke satu tempat lain dengan panas yang berpuluh kali lipat. Kali ini hawa baranya mengalirkan gelenyar nikmat ke sekujur tubuhku. Suara desisan dan percikan api membentuk harmoni pengiring tidurku.