Kamis, 15 Desember 2011

fiksi : KAU PATUT BERTANYA

Mendekati petang, aku kembali bertanya: apakah arti hidup?

Lucunya aku sering menggaungkan pertanyaan ini; baik kemarin, lusa, minggu kemarin, bulan lalu, atau rentang waktu panjang di belakang yang sudah tak bisa lagi kutakar. Lalu saat itu aku akan kembali lupa. Sekejap aku menjalani hidup yang biasa, tanpa repot lagi bertanya-tanya. Namun ada kalanya aku kembali terusik. Apa yang kulihat dan kurasa menjelma jadi satu tongkat panjang yang rajin mengetuk-ngetuk kepala, memaksa aku menempatkan pertanyaan itu lagi di ujung lidah.

Mulanya pagi ini. Subuh. Langit bahkan belum tegas berwarna. Ayam di atas pagar masih mengantuk. Suara kokoknya kalah dengan deru knalpot motorku yang nyaring. Dan tak lama kemudian aku sudah membelah udara jalan raya yang komposisi asapya lebih banyak ketimbang titik embunnya. Selalu setiap pagi, selepas jarak lima kilometer yang kutempuh, aku akan dihadang tiang lampu tiga warna. Kali ini aku berhadapan dengan si merah. Angka di sampingnya berkedip malas mulai dari 126 detik.

Mungkin bagi separuh orang angka itu akan cepat terlewat. Atau mungkin separuh lagi menganggapnya lama bukan main. Jadi kuingat lagi salah seorang kenalanku yang sering berujar sambil menyembur-nyembur ludah. Waktu adalah uang, Bung. Satu detik saja bisa hilang seperak uangku. Lama kali lampu merah ini. Bah!

Biasanya kalau sudah begitu aku akan kembali berkata, apalah artinya kau hilang satu detik sementara kau bisa meraup uang berjam-jam kemudian.

Setelah itu ia pasti akan mendengus. Kau tidak mengenal arti uang, Teman!

Tergantung bagaimana cara kau mengenalnya. Aku hanya mengucap ini dalam hati. Tak ingin aku menambah resah satu temanku itu. Dulu ia satu nasib denganku, sama-sama anak perantau yang mencoba-coba nasib di kota. Namun sekarang nasibnya berbeda ratusan jengkal dengan diriku.

Kata orang, ia terkenal kerja banting tulang. Aku hanya kerja semauku saja. Ia sujud sama bosnya. Aku siap berkelahi jika aku benar. Tuhannya cuma uang. Tuhanku? Apa sajalah, yang penting aku tak harus sembah sujud. Perutku diisi dengan tanganku sendiri. Ironisnya, banyak orang memandang kagum dirinya, dan banyak nasihat yang dilempar ke mukaku.

Setelah itu ada berbagai teknik jitu mengumpulkan uang yang meluncur dari mulutnya. Mengejar sukses itu seperti berlari, jangan pernah berhenti, itu katanya. Aku hanya mengangguk-ngangguk, serius mendengarkan. Dan diakhirnya aku kadang suka bertanya, ujungnya di mana? Ia cuma diam. Atau kadang aku menanyakan lagi, kamu senang? Kali ini ia menjawab. Capek kali, aku.

Lantas aku langsung mengasosiasikan dirinya dengan kuda pedati berkacamata. Parahnya lagi jalanannya dibalut gelap.

Angka merahnya sekarang 73 detik. Dua menit cukup bagiku untuk menatap sekeliling. Selalu sama. Replika temanku berwujud jadi pria necis di dalam mobil berkilat. Matanya seperti setrika panas, bolak-balik dari arloji di tangan, ke lampu merah, dan sesekali melirik deretan motor yang diam beberapa senti dari tepi mobilnya. Takut kalau-kalau mobilnya lecet digores stang.

Lain lagi dengan motor-motor yang menggeliat paksa dalam himpitan. Tak sabar hanya menunggu beberapa menit sampai mati-matian harus berada di garis depan. Aku mengingat-ingat tanggal. Hari ini bukan gajian, tapi kenapa mereka begitu bernapsu ingin cepas menarik gas? Jawabannya hanya sederhana. Manusia punya sifat dasar untuk berkompetisi. Kadang hal remeh saja perlu diadu. Tapi apa faedah hasil adu, mereka sendiri tak tahu.

Satu tangan kecil menarik-narik ujung jaketku. Seorang bocah lelaki. Mukanya mengkoleksi debu. Ia menengadahkan tangan sembari menggumamkan sesuatu dengan suara tipis yang nyaris tak terdengar. Aku merogoh saku dan memberinya sekeping lima ratusan. Tanpa berkata apa, ia langsung gesit berpindah ke motor lain, atau memelas di kaca mobil, Jika beruntung, ia akan menerima lagi beberapa keping.

Tak kalah dengan bocah itu, di atas trotoar duduk wanita berkulit gelap yang terang-terangan sedang menyusui bayinya. Anak-anak lain mondar-mandir sambil membawa batang kayu yang ujungnya dipaku tumpukan tutup botol, memukul-mukulkannya ke telapak tangan dan bernyanyi sumbang. Tanpa disadar satu tempat ini menjadi cermin yang memantulkan bayangan jurang yang semakin melebar dari diri setiap manusia.

Satu pria dan wanita di atas motor di sampingku ikut melihat. Kasian mereka, pasti menderita, kata si wanita. Dalam hati aku justru bertanya, bukankah mereka yang justru senang karena tak ikut-ikutan berlari bersama kalian? Menderita dari sudut mana yang kau lihat?

Lampu beganti hijau. Aku kembali menembus angin.

Ada satu hal yang kusyukuri pada apa yang kulakukan setiap hari. Meski aku berlabel seorang pekerja juga, setidaknya aku tidak bisa disamakan dengan ratusan pegawai yang bergerak seperti grafik statis. Katanya mereka bekerja untuk mencari uang. Uang untuk hidup. Hidup untuk bekerja lagi. Dan bekerja untuk uang lagi. Paradoks tanpa hasil. Terlihat hidup memang, tapi tak berisi sama sekali.

Aku adalah seorang perawat di salah satu panti jompo, satu-satunya perawat laki-laki dan termuda yang bekerja di sana. Kenapa aku bisa terdampar di tempat ini? Aku sendiri nyaris lupa. Tapi aku malas untuk sibuk dengan pertanyaan itu. Aku malah punya pertanyaan yang lebih menarik, apa yang bisa kudapat dari tempat ini?

Rumah lebar bercat putih ini hanya disesaki dengan pria-pria atau wanita-wanita tua dengan mata sayu, kening berlisut-lisut, dan kulit menggelambir. Ada yang tiap hari tertatih-tatih di atas sebatang tongkat. Yang lain sepanjang hari duduk di kursi roda. Dinding-dindingnya terinfeksi aroma minyak angin, air rebusan jahe, atau bubur gandum dan kentang kukus. Tak ada yang istimewa.

Aku sengaja memilih untuk merawat tua-tua yang sedang sakit atau hampir bersua dengan ajal. Di lantai dua sengaja disiapkan bangsal-bangsal untuk merawat mereka. Aku ingat siang kemarin Om Dani (ia bersikeras ingin dipanggil Om, biar selalu muda katanya) terus-menerus mengeluhkan sesak di dadanya. Dan pagi ini, ketika aku baru saja melangkah di beranda, Ibu Asih, kepala pengurus panti, memberitakan kalau Om Dani sudah tiada.

Aku termenung. Melintas lagi obrolan-obralan panjang antara diriku dengannya di hari-hari kemarin. Om Dani selalu rutin bercerita tentang hidupnya. Selalu sama setiap hari, seolah lupa bahwa hari-hari sebelumnya ia selalu berkisah hal yang serupa.

Om Dani muda dulu seorang pengusaha sepatu. Dengan seru ia bercerita kalau tangannya sudah menyentuh berbagai macam sepatu, mulai dari selop kayu, stiletto, sampai boots kulit tebal yang dipakai artis-artis di teve. Suksesnya luar biasa. Ditambah lagi dengan istri dan sepasang anak, lengkap sudah hidupnya.

Tapi kemudian setelah cerita suksesnya bergulir, mendadak air matanya tumpah. Saat pertama kali kulihat, aku sempat bertanya, kenapa? Tersengguk-sengguk ia menjawab, sudah bertahun-tahun saya hidup, sampai pontang-panting ke sana-sini. Tapi lihat saya sekarang. Saya jadi bertanya-tanya, apa artinya semua yang dulu saya kejar-kejar. Toh, akhirnya sekarang saya tidak menggenggam apa-apa. Saya dulu terlalu buta.

Sesudahnya aku tak pernah lagi bertanya.

Sekarang petang telah menyepuh rumah panti jadi warna oranye terang. Di ruang tengah peti Om Dani masih terbuka. Tangannya yang pucat terlipat rapi di atas dada yang terbungkus jas kelabu. Rekan-rekannya ada yang menangis, ada yang berdoa. Aku tepekur di sudut, kembali diketuk-ketuk. Apakah artinya hidup?

~ ~ ~

Pukul 08.23 malam. Di cafe bercahaya buram, di meja berkursi dua di sisi kaca, aku dan dirinya duduk berdua.

"Om Dani meninggal tadi pagi," kataku.

Dari atas cangkir kopi beruap, ia menyahut singkat, "Oh."

"Serangan jantung," tambahku. Lelaki di seberangku ini masih terdiam. Aku memancing lagi, "Bagaimana, ya, kalau aku nanti yang meninggal?"

Ia tertawa. Jawabnya, "Bukannya itu garis finish dari hidup? Ya, harus hepi donk."

Delapan tahun berhubungan dengannya aku sudah bisa menebak jawaban itu yang akan terlontar. Kami berdua, sesama pria dengan pandangan yang sama, selalu mengartikan hidup ini lebih sederhana ketimbang orang-orang yang tenggelam dalam hidup itu sendiri. Jika diibaratkan dunia ini adalah lautan, orang-orang sedang sibuk tenggelam mencari dasarnya, senang dengan lilitan rumput laut, jepitian kepiting, atau terkaman hiu. Beruntung aku dan dirinya hanya berenang-renang di permukaan.

"Tapi kalau kamu benar-benar mati, aku siap menyusul," imbuhnya kemudian.

Aku menggenggam tangannya. "Apa ini artinya hidup?" tanyaku.

"Arti hidup tergantung dari mana kita melihat. Beruntung kita tidak sesat dan buta."

Aku tidak tahu apakah besok, lusa, minggu depan, bulan berikutnya, atau rentang panjang waktu di depan, aku akan kembali menanyakannya.



R.

4 komentar:

  1. nice notes! no comment...it sounds good! mendefenisikan hidup sebagai hal yang sangat sederhana. saya setuju, namun hidup hanya sekali. lakukan juga yang terbaik. :)

    BalasHapus
  2. Thx a lot buat Yohanna Yang sudah pertama mampir (dateng karena si penulis yg narsis menyebar blog. dendam sama notif blogspot yang super lelet) XD XD

    Thx juga sudah dikomen. Iya, menurut mereka itu sudah yang terbaik. :D hehehe

    BalasHapus
  3. sangat hebat penuh arti
    nama saya juga robby

    BalasHapus
  4. @robby (juga)

    Thx btw sudah sudi mampir, baca, dan ikut merenung
    :)

    BalasHapus