Sinar matahari sore menyorot lewat jendela kotak-kotak di sebelah kiri Lionel, menembus gorden berenda yang tipis dan menciptakan seleret cahaya samar yang jatuh di lantai batu berwarna hijau. Lantai bangsal ini disusun dari potongan-potongan ubin keras yang lebar, dan sepanjang hari mengeluarkan aroma cairan pembersih antiseptik yang digosokkan secara rutin di atasnya. Pagi jam delapan dan sore jam empat, si wanita gemuk – yang belakangan diketahui Lionel bernama Mrs. Tyler – selalu terlihat kerepotan dengan ember alumunium dan gagang pel, berusaha menggosok ubin itu dengan susah payah namun tetap ramah menyapa pasien di setiap bangsal yang dilewatinya.
Lionel melihat sekilas jam besar yang ditaruh tinggi di atas dinding di sebelah kanannya. Jam tiga tepat, yang berarti Mrs.Tyler pasti akan datang setidaknya satu jam lagi. Kebiasaan dan ketepatan waktu dalam rutinitas dokter, perawat, petugas pembersih, atau bahkan pengantar pesan, sepertinya secara tidak sengaja disesuaikan dengan pasien-pasien yang mereka rawat. Ketepatan militer, itu yang selalu mereka sebutkan ketika Lionel mencoba menyinggungnya.
Rumah perawatan ini memang dikhususkan bagi para tentara atau relawan yang terluka di medan perang. Mereka yang tertembak, tergores peluru, atau terkena serpihan granat, berbondong-bondong dilarikan jauh dari perbatasan dan harus merelakan dirinya dibawa ke tengah kota untuk menjalani perawatan. Terlebih lagi sekarang ini ketika invansi Jerman terus bergerak tanpa ampun di pesisir Inggris, setiap saat rumah perawatan ini harus menyiapkan bangsal-bangsal baru untuk menampung tentara yang tergopoh-gopoh dibawa di atas tandu.
Dan itulah yang sekarang dialami Lionel. Tepat tiga minggu lalu ketika Lionel benar-benar berada di ujung perbatasan perang, dengan desingan peluru dan bunyi ledakan di sana-sini, ia merunduk di tengah tumpukan karung pasir dengan senapan di tangannya. Ujung senapannya masih berasap, baru saja memuntahkan sebiji peluru yang berhasil menewaskan seorang tentara Jerman. Sementara itu, Glim, yang sebelumnya ikut merunduk di sisi Lionel, sekarang mengangkat kepalanya lagi dan mengintip di sela-sela senapannya. Glim sempat menembak beberapa kali sebelum akhirnya terdengar desingan peluru yang lewat di dekatnya dan ia kembali merunduk sembari berteriak.
Kejadian berikutnya berlangsung sangat cepat. Lionel segera menyadari apa yang terjadi pada Glim ketika ia melihat Glim menekan telinga kanannya yang mengucurkan darah. Lionel berteriak pada rekan lainnya di sisi yang agak jauh, mengatakan bahwa ia harus mundur dan membawa Glim ke pos pengamanan utama. Dan detik berikutnya, entah berasal dari mana, sebuah ledakan terjadi begitu saja di sebelah kirinya. Lionel hanya mengingat bahwa tubuhnya sempat terlempar beberapa meter jauhnya, telinganya berdengung hebat, pandangannya menjadi kacau, dan kemudian tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Saat Lionel berhasil membuka matanya lagi, ia mendapati dirinya sudah dibebat perban di lengan, kepala, dan lehernya. Saat itu ia masih di ruang perawatan darurat di pos pengamanan utama. Sang suster yang menemukannya sadar waktu itu mengatakan bahwa Lionel pingsan selama tiga hari dan terus menerus menanyakan siapa nama Lionel, umur, departemen, dan hal-hal yang semakin membuat kepala Lionel berdenyut-denyut. Lionel hampir saja memaki suster itu, namun dengan sabar sang suster menyebutkan kalau itu prosedur tes untuk mengecek apakah Lionel mengalami amnesia atau tidak, mengingat gegar otak yang cukup parah di kepalanya. Berikutnya, suster itu hanya menyampaikan secara singkat bahwa Lionel mengalami patah tulang di tangan sebelah kanan dan juga luka sobek di leher.
Seminggu mendapatkan perawatan singkat di sana, pimpinan Lionel mengambil keputusan bahwa Lionel harus mendapat pengobatan serius di rumah perawatan di kota. Hasilnya adalah sekarang, dengan perban yang masih menempel di sekeliling leher dan kepalanya, serta tangan yang terbungkus gips putih, ia terduduk di sebuah ranjang di antara bangsal-bangsal lainnya dalam satu ruangan. Glim yang juga ternyata mengalami patah tulang rusuk dan telinga yang hampir putus karena tertembus peluru, ikut dirawat di bangsal sebelah Lionel sekarang. Ia terkadang menyengir dan membuat lelucon bahwa mereka nyaris mendekati sosok mumi yang sering berada di teater-teater.
Lionel melihat Glim di sisi kanannya yang sedang duduk menyandar pada tumpukan bantal di ujung ranjangnya. Tangan Glim – yang untungnya tidak mengalami patah tulang – sedang membentangkan sebuah koran di hadapannya. Matanya menyipit dan dahinya sedikit berkerut, tampak serius membaca isi dari sebuah kolom panjang pada halaman koran itu.
“Kabar buruk lagi?” tanya Lionel.
Glim mengangkat kepalanya dan melirik Lionel. Setelah tahu bahwa dirinya yang diajak bicara oleh Lionel, ia menyahut dengan nada muram, “Hmm, ya. Pasukan Jerman terus mendesak kita rupanya.” Kemudian ia menundukkan kepalanya lagi di atas halaman koran.
“Seberapa buruk?” lanjut Lionel lagi.
“Inti yang kubaca dari berita ini, perbatasan kita sudah mundur sejauh sepuluh mil,” jawab Glim sembari mulai melipat korannya. “Benar-benar gila. Kalau seperti ini rasanya aku ingin cepat-cepat mengangkat senapanku lagi. Mendengar kabar seperti itu rasanya darahku berdesir lagi. Benar-benar sial kita harus terbaring seperti ini. Bayangkan kalau kita masih di sana, berapa banyak pasukan brengsek itu yang bisa kita tembak. Ledakan granat itu benar-benar membuat kita tidak berdaya sekarang.”
Lionel mendengar gerutuan Glim sambil bergerak sedikit dan memposisikan dirinya untuk menyandar di bantal juga, berusaha sehati-hati mungkin mengangkat tangannya yang terbalut gips.
Glim melihatnya sambil mengangkat alis. Katanya, “Benar, kan? Hey, kau mendengarku tidak?”
“Ya,” sahut Lionel. “Tapi setidaknya kita masih bisa hidup sekarang. Ya maksudku mungkin lebih baik dari pada peluru yang bersarang di jantungmu atau tubuhmu terpecah-pecah karena granat itu.”
Glim tertawa pelan, “Ya, mungkin kita masih beruntung waktu itu.”
“Benar-benar beruntung,” balas Lionel lagi. “Kalau saja telingamu tidak tertembak, mungkin saja kita tidak bergerak mundur waktu itu, yang berarti mungkin posisi granat itu lebih dekat ke kita. Dan well, mungkin juga berikutnya kita hanya tersisa bagai seonggok daging hangus.”
“Hey, apa itu berarti aku harus berterima kasih pada si penembak itu? Yang benar saja.” Glim mengelus-elus perban yang menutup telinga kanannya.
Kali ini Lionel yang tertawa. “Ya mungkin kau harus benar-benar berterima kasih padanya. Apa perlu kubantu untuk membelikan buket bunga?”
Glim mendengus. Ia baru membuka mulutnya namun ditutupnya kembali saat terdengar suara langkah kaki dari ujung pintu. Suara langkah yang pendek, pelan, dan khas seperti yang sudah di hapal Glim dan Lionel belakangan ini. Mereka berdua bisa menebak siapa yang datang ke arah mereka bahkan sebelum mereka menengok untuk melihatnya.
Terutama Lionel, yang memang punya niat tersembunyi untuk terus menantikan orang ini, merasakan kesenangan yang berlebihan namun masih berusaha untuk ditutupinya ketika orang tersebut tiba. Persis dengan ketepatan sistem militer yang diingat Lionel tadi, orang ini pasti akan datang untuk mengecek pasien-pasien dalam ruangan ini. Satu per satu bangsal pasti ditengok olehnya. Kebetulan bangsal Lionel berada di paling ujung, dan orang ini mempunyai kebiasaan untuk selalu mengunjungi pasien di bangsal paling akhir. Lionel sempat berpikir tentang hal ini dan mampu menebak dua pilihan atas jawaban dari tindakan orang ini. Pertama apakah memang itu sudah kebiasaannya sebagai seorang perawat, atau kedua karena memang orang ini sengaja mendatangi pasien akhir yang kebetulan adalah Lionel sendiri. Lionel cenderung mempercayai pilihan yang kedua.
Helena sekarang sudah berada persis di depan ranjang Lionel. Seperti biasa ia tampil menawan dengan seragam putihnya, sementara rambut pirangnya digelung seluruhnya ke belakang. Ia membawa nampan alumunium berkilat yang sebagiannya terisi bertumpuk-tumpuk perban dan beberapa botol obat.
“Selamat sore, prajurit,” sapanya tersenyum sambil melangkah ke meja di samping ranjang Lionel dan meletakan nampan itu dengan hati-hati di atasnya.
“Sore, Ma’am,” balas Glim. Lionel hanya mengangguk singkat dan tersenyum.
“Sudah berapa kali kubilang kalau kau lebih baik memanggilku Helena,” kata Helena lagi.
“Wah, aku tidak boleh tidak sopan seperti itu. Kau sudah kuanggap sebagai penyelamatku, dan sebagai balasannya aku harus menghormatimu. Atau bagaimana kalau kupanggil dengan sebutan Nyonya Lionel?” Glim menggoda sambil tertawa dan pandangannya beralih antara Helena dan Lionel.
“Hei, yang benar saja,” protes Lionel.
Helena ikut tertawa sambil bergerak mendekat ke arah Lionel. Pelan-pelan ia menyentuh perban di kepala dan leher Lionel. “Terdengar bagus juga kalau seperti itu,” katanya singkat. “Aku harus mengganti perbanmu. Tunggu sebentar.” Dengan cekatan, Helena mulai membuka sedikit demi sedikit perban yang menggulung di kepala Lionel.
“Apa kau serius dengan panggilan itu?” tanya Lionel kaku.
Helena sepertinya tidak berminat untuk menjawab karena ia hanya membalas dengan senyuman manis. Sementara di sebelahnya, Glim mulai tertawa lagi.
Lionel menanggapi mereka berdua dengan senyum kecil di sudut bibirnya. Ia juga tidak menganggap serius dengan omongan Glim. Hanya saja jika melihat kenyataan yang sudah terjadi selama tiga minggu terakhir ini, Lionel mau tak mau merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Helena. Dengan sedikit keberanian, Lionel juga yakin bahwa apa yang ia rasakan mungkin juga dirasakan oleh Helena. Lionel bukannya membesar-besarkan hal ini. Ia memang sadar jika Helena bertugas secara baik sebagai perawat, bagaimana bersikap ramah, baik, dan perhatian terhadap pasien-pasien yang dirawatnya, namun entah kenapa Lionel sendiri merasa ada suatu sikap khusus yang diberikan Helena.
Awal perkenalan berjalan seperti biasa ketika Lionel baru memasuki bangsal ruang perawatan ini. Helena waktu itu yang pertama kali mengurusnya. Lionel tidak pernah menduga apa pun pada saat itu, ketika Helena pertama kali menyapanya, mengganti perbannya, dan memberinya bermacam-macam pil untuk pengobatannya. Tapi ternyata jam-jam dan hari-hari yang berjalan amat lambat mampu menggerakan mereka berdua untuk semakin mendekat.
Lionel lambat laun mulai merindukan saat pagi ketika Helena datang dan menengoknya. Siang dan sore menjadi waktu yang menyenangkan ketika Helena mau bersusah payah untuk mengganti perban atau memaksa Lionel menenggak pil obat yang dibencinya. Dan malam ketika sebagian pasien sedang menikmati waktu istirahatnya dengan tertidur pulas, Helena dan Lionel saling mengobrol panjang lebar dengan saling berbisik. Helena duduk di sisi ranjang Lionel sementara Lionel sendiri menyandar di ujung ranjangnya. Mereka selalu menceritakan kisah-kisah yang menarik, mulai dari cerita Lionel di angkatan militernya hingga Helena yang sekolah keperawatan di desanya.
Hari-hari yang terkesan biasa mendadak berubah bagi mereka berdua. Sebuah garis yang memisahkan antara suster dan pasiennya dihapus secara perlahan-lahan dengan perasaan mereka masing-masing. Meskipun mereka belum saling menyatakan diri atas perasaannya, mereka berdua tampaknya cukup bijaksana untuk menjalankan hubungan ini apa adanya dan seolah sudah saling mengerti dengan apa yang dirasa oleh satu sama lain. Sebagai contoh nyata, Lionel menterjemahkan sebuah buket bunga yang diberikan Helena tadi pagi sebagai rasa sayang Helena terhadapnya, apalagi ditambah dengan kecupan hangat di dahinya. Lionel hanya berharap perban sialan itu sudah lepas dari kepalanya hingga ia bisa merasakan kehangatan bibir Helena.
“Sudah hampir mengering luka di kepalamu,” ujar Helena yang mengaburkan lamunan Lionel. “Kurasa tidak perlu dibebat lagi. Aku hanya akan menutupnya dengan potongan perban. Begitu juga luka di lehermu yang sudah hampir menutup seluruhnya.”
“Baguslah kalau seperti itu. Bebatan perban ini memang tidak nyaman,” balas Lionel.
Helena mengumpulkan seluruh perban yang sebelumnya berada di kepala dan leher Lionel, kemudian mengambil perban baru dari nampan alumunium, memotongnya menjadi beberapa bagian, dan meneteskan cairan yang baunya menyengat. Dengan cepat pula Helena memotong plester menjadi kecil-kecil dan setelahnya menempelkan perban dan plester itu hati-hati di dahi dan leher samping sebelah kiri Lionel.
“Baik, sudah beres,” katanya puas.
“Terima kasih, Helena,” balas Lionel.
Helena terdiam sebentar. Ia menatap Lionel dengan pandangan penuh arti dan berniat ingin mengatakan sesuatu. Ia baru mulai menggerakkan bibirnya namun Glim di sebelahnya langsung menyambar.
“Apa sekarang giliranku, Ma’am? Perban di telingaku rasanya juga perlu diganti. Dan lebih bagus jika telingaku juga bisa ikut diganti,” Glim tertawa lagi.
“Yeah, Sir. Aku akan mencari siapa yang rela memberikan telinganya untuk diberikan kepadamu,” balas Helena. Ia ikut tersenyum. Lalu setelah membereskan perban di atas nampannya, ia bergeser sedikit ke arah Glim. Tapi sebelumnya ia sempat melirik Lionel lagi dan berkata pelan, “Sebaiknya kau istirahat dulu.”
Tapi saat-saat berikutnya ketika Lionel mencoba membuat dirinya rileks, ia malah terus digerogoti dengan bayang-bayang tatapan Helena tadi. Pasti ada sesuatu yang ingin dikatakannya, batin Lionel.
***
Ketika suara-suara semakin sunyi, kau akan benar-benar bisa membedakan setiap bunyi yang terdengar di sekelilingmu. Enam pasien – termasuk Glim – yang tidur di sebelah Lionel, mengeluarkan alunan napas yang teratur dan dengkuran yang halus. Bunyi derit ranjang pun berubah menjadi begitu nyaring ketika Lionel mencoba untuk menggeser tubuhnya. Alih-alih menggeser tubuhnya lebih banyak, Lionel hanya mengangkat kepalanya tinggi-tinggi untuk melihat jam di dinding atas itu. Beberapa kerai di bangsal sudah ditarik menutup sehingga menghalanginya untuk melihat jam tersebut.
Pukul setengah satu pagi. Lionel dari tadi bertanya-tanya kenapa Helena kali ini tidak datang untuk mengobrol dengannya. Apakah ada suatu hal lain yang penting? Apa ia sedang sibuk mengurus sesuatu? Atau mungkinkah – Lionel mengingat sikap Helena tadi sore – ada sesuatu yang menghalanginya hingga ia tidak bisa datang? Lionel menebak mungkin tadi Helena ingin membicarakannya, tapi ternyata tadi sore bukanlah waktu yang tepat baginya untuk membicarakan itu. Sementara ia terus berpikir kesana-kemari, mendadak terdengar suara halus derit pintu yang dibuka dan disusul langkah kaki pelan. Helena, batin Lionel.
Benar saja, beberapa detik setelahnya kepala Helena melongok di balik kerai di depan Lionel. “Hai,” sapanya.
“Helena,” balas Lionel.
Helena beranjak pelan-pelan ke sisi Lionel lalu duduk di samping ranjang seperti malam-malam sebelumnya. Wajahnya masih tersenyum seperti biasanya.
“Helena,” ulang Lionel.
“Maaf kalau aku datang selarut ini,” potong Helena. “Aku sebenarnya tidak ingin mengganggumu. Hanya saja aku… Entahlah aku sebelumnya sudah memutuskan sendiri hal ini. Tapi rasanya akan salah jika aku tidak mengatakannya kepadamu.”
“Ada apa? Apa ada sesuatu yang menghalangimu? Oh, jangan-jangan suster kepala mulai memarahimu?” tanya Lionel lagi.
Helena menggeleng cepat-cepat. “Bukan. Bukan itu yang menyebabkanku datang selarut ini. Tadi aku hanya mengambil waktu sebentar untuk berpikir. Dan setelah aku yakin, sekarang aku datang kepadamu.”
Lionel semakin tidak mengerti dengan ucapan Helena. Namun sebelum menanyakannya lebih lanjut, Helena mulai berkata lagi. “Mungkin kau bingung, ya aku tahu itu. Sebaiknya aku jelaskan saja dari awal.”
“Ya sebaiknya begitu,”kata Lionel.
“Apa yang kupikirkan dua hari belakangan ini dimulai ketika Dokter Kepala mengumumkan bahwa departemen kesehatan di perbatasan perang membutuhkan tenaga medis sukarelawan. Meskipun pada awalnya aku tidak terlalu serius menanggapinya, namun makin kupikirkan semakin membuatku gelisah. Aku rasanya harus ikut dalam kelompok sukarelawan itu. Entahlah apa yang membuatku berpikir seperti itu. Mungkin aku ingin ikut andil dalam situasi seperti ini. Sore tadi akhirnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menjadi sukarelawan dan besok pagi-pagi sekali kami semua akan dikirim ke sana. Nah, itulah yang juga aku pikirkan semalaman ini, apakah aku harus menceritakannya kepadamu atau tidak, dan bagaimana reaksimu nanti ketika mendengarnya. Tapi kemudian aku yakin bahwa kau memang harus mendengarnya, mengingat… Ya, mengingat semua ini, kita.”
Lionel berusaha mencerna pelan-pelan apa yang dikatakan Helena. Pikirannya bergerak cepat antara sukarelawan, medis, perawatan, dan situasi markas perang yang berbahaya. Kemudian ia akhirnya mengeluarkan suara, “Apa kau sudah yakin? Maksudku, apa kau sudah siap menghadapi semuanya nanti? Aku pernah terlibat dalam keadaan seperti itu dan aku tahu pasti bahaya apa yang ada di depan mata.”
Helena mengangguk yakin. “Aku sudah mempertimbangkannya dan aku menjawab ya.”
“Bagaimana kalau aku tidak mengizinkan?” tanya Lionel dengan sedikit keberanian.
“Aku menduga kau pasti akan berkata seperti itu. Tapi bagaimana pun keputusanku sudah bulat. Aku mohon kau jangan menganggap bahwa aku tidak menghargai dirimu.”
“Apa kau tidak mencintaiku?“ Lionel kini menatap Helena lebih serius.
Helena menunduk gelisah. “Kumohon, Lionel. Aku mencintaimu. Sungguh. Tapi aku harus… Kau seharusnya mengerti.”
“Helena,” Lionel berusaha menegakkan dirinya. “Aku juga mencintaimu dan aku sungguh tidak ingin kehilanganmu. Astaga, apa yang kau pikirkan hingga membuatmu mengambil keputusan gila itu. Kumohon kau tetap di sini demi diriku, bagaimana?”
Helena belum mengeluarkan kata-katanya lagi. Ia menatap dalam-dalam mata Lionel. “Kupikir apa yang kulakukan ini demi cintaku padamu dan juga negara ini. Mohon mengertilah. Tidak banyak yang bisa kulakukan lagi. Ini satu-satunya caraku untuk ikut membantu dalam situasi perang ini. Bayangkan berapa banyak tenaga medis yang mereka perlukan di sana, dan aku tidak bisa tahan jika mendapati diriku hanya duduk di sini dan membaca berita mengerikan yang terus terjadi.”
“Baiklah kalau begitu,” Lionel mendesah. Sepertinya ia memang harus mengalah pada Helena yang sudah memantapkan dirinya. “Tapi kau harus berjanji padaku. Kau harus menjaga dirimu sebaik-baiknya, lakukan demi diriku. Dan saat ketika kau bebas tugas, kau sudah harus kembali di sisiku. Kau mau berjanji?”
“Ya, tentu saja.” Kali ini Helena sedikit tersenyum.
“Mungkin saat aku sudah pulih nanti, aku bisa kembali ke sana dan mungkin akan menemuimu.”
Helena tersenyum lebih lebar. “Aku harap seperti itu.”
“Jangan lupa untuk menyuratiku terus,” Lionel memperingati.
“Tentu saja.”
Helena bergerak mendekat, disusul dengan Lionel yang pelan-pelan mengangkat dirinya, dan mereka berdua berpelukan erat di antara tangan Lionel yang masih dibebat. Lionel tidak peduli lagi akan tangannya yang sakit. Ia hanya ingin memeluk Helena, merasakan hangat dan aroma tubuh yang harus diingatnya selama Helena pergi nanti.
Ia memeluk Helena dalam-dalam dan berkata dengan suara pelan.
“Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu.”
***
Cangkir kecil di ujung meja masih mengepul, mengeluarkan hawa panas dari cairan coklat kental di dalamnya. Lionel hampir belum menyentuh coklat itu sejak ia membuatnya beberapa menit yang lalu, dan mungkin sekarang ia bahkan lupa bahwa ia pernah membuatnya. Sejak meletakkan cangkir itu di meja, praktis ia hanya duduk memandang perapian di depannya. Ia memijit-mijit sebentar tangan kanannya yang terasa linu, seperti ada sesuatu benda berat yang digantung di atas tulang tangannya hingga lama-lama muncul rasa pegal berkepanjangan, yang anehnya selalu muncul ketika udara terasa amat dingin. Seperti sekarang ini, ketika salju-salju mulai berjatuhan dan menciptakan hawa dingin yang menusuk seolah mampu menembus dinding rumah dan mengabaikan perapian yang berderak-derak.
Mungkin ini rasa-rasa yang ditinggalkan akibat patah tulang yang dialaminya delapan bulan lalu. Lionel menganggapnya seperti itu tanpa berpikir serius untuk mencari tahu penyebab sebenarnya. Lambat laun perasaan sakit di tangannya itu mengirim potongan-potongan memori yang bergulir di kepalanya. Ia tampaknya masih bisa mengingat jelas apa yang dialaminya waktu itu; tragedi saat berperang, tangan kanan yang patah, luka sobek di leher, hingga kepalanya yang nyaris retak, dan… Helena.
Lagi-lagi nama itu yang terbesit di kepala Lionel. Sudah tidak tahu berapa kali ia berusaha untuk melupakan nama itu akhir-akhir ini, tapi tetap saja Helena seperti terpatri kuat di pojok kepalanya. Bagaimana kerasnya usaha Lionel pun sepertinya sia-sia, hingga akhirnya ia menyerah dan membiarkan saja nama itu ada. Mungkin suatu saat nanti ia bisa melupakannya perlahan-lahan.
Tapi siapa pun yang melihat apa yang sering dilakukan Lionel, rasanya mereka akan sepakat berkata bahwa hampir mustahil jika Lionel bisa melupakan Helena. Sering kali, ketika Lionel belum dibebastugaskan secara resmi dan masih kerap datang ke kantor pusat, ia menanyakan bagaimana kabar Helena, apakah teman-temannya yang kebetulan kembali ke kota berhasil bertemu dengannya dengannya, atau berharap secara ajaib ia sendiri bertemu dengan Helena di suatu tempat entah di mana. Bahkan hingga sekarang ia masih menyimpan harapan kecil bahwa sesungguhnya semua ini tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
Satu lagi permasalahan bahwa Lionel tidak akan bisa melepaskan Helena dalam hidupnya adalah kebiasaan aneh dan rutin yang ia lakukan untuk membaca surat-surat yang pernah ditulis Helena. Lionel percaya bahwa itu satu-satunya diri Helena yang pernah ada untuknya. Lionel bangkit berdiri dari kursinya, berjalan ke arah lemari kayu di atas perapian, dan mengambil beberapa surat yang diikat dengan tali tipis. Kemudian ia duduk lagi di kursinya dan membuka tali pengikat itu, lalu memilah-milah surat yang akan dibacanya.
Ini adalah semua surat yang pernah ditulis Helena ketika ia mulai pergi menjadi tenaga sukarelawan. Secara bergantian mereka saling berbalas surat. Jangka waktu ketika surat itu sampai di antara mereka berdua tidak selalu bisa dipastikan, tergantung dari keadaan dan lokasi Helena berada. Dalam beberapa suratnya Helena menyinggung bahwa ia beberapa kali berpindah-pindah lokasi mengikuti kebutuhan medis yang diperlukan di perbatasan perang. Dan tidak lupa di setiap suratnya, Helena selalu menyatakan rindu yang amat sangat untuk bertemu dengan Lionel. Di sisi yang sama Lionel juga menyampaikan rindu itu.
Tangan Lionel lagi-lagi terhenti pada sebuah amplop berwarna coklat yang sudah ia hapal. Sebagaimana biasanya, meskipun diliputi rasa enggan, perasaan rindunya teramat kuat hingga akhirnya ia membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas dari dalamnya. Ia membuka lipatannya dan mulai membaca lagi.
Dear Lionel,
Sebelumnya aku minta maaf kalau aku menulis surat ini agak terlambat. Aku baru menerima suratmu hari ini. Astaga! Aku tidak percaya bahwa suratmu butuh waktu hampir sebulan untuk bisa kuterima. Mungkin sistem pengiriman pesan sedikit tersendat di tengah jalan. Aku tidak tahu penyebabnya apa. Sungguh.
Tapi bagaimana pun aku senang mengetahui kabarmu yang semakin baik. Teruslah melatih tanganmu, dan jangan lupa untuk terus memeriksakannya ke dokter. Kadang kau susah diatur untuk hal-hal sepele itu.
Dan aku juga senang mendengar kabar Glim yang semakin baik. Tapi apa kau serius ketika kau menulis kalau kau dibebastugaskan bulan ini? Kalau ya, mungkin itu memang yang terbaik untukmu, dan juga kita nanti.
Aku masih belum tahu kapan aku akan kembali. Keadaan di sini semakin bertambah genting. Hari ini aku baru saja menempati pos baru. Di sini hanya ada tenda-tenda dan peralatan medis yang sangat kurang memadai. Tapi bagaimana pun aku harus tetap berusaha.
Kemarin letusan perang terjadi lagi. Kuharap kau tidak cemas mendengar ini. Tapi ya, aku harus berada di pos terdekat dengan batas perang. Aku tidak pernah melihat korban-korban sebanyak ini sebelumnya. Komandan Neal tampaknya amat berang melihat rekan-rekannya terluka parah. Aku harus mengakui bahwa kali ini aku gagal mempertahankan setidaknya tiga nyawa dalam tanganku. Oh, mereka sungguh terluka parah. Kurasa aku tidak perlu menggambarkannya karena aku sendiri bergidik saat menangani mereka.
Rencananya mungkin aku akan berada di sini selama seminggu sebelum bantuan lain datang. Ketika mereka datang, mungkin aku akan pindah lagi ke pos yang lain, yang aku belum tahu hingga sekarang. Tapi biarlah, aku akan tetap melaksanakan tugasku dengan baik di sini.
Dan sekarang bagaimana dengan kau? Apa saja yang kau lakukan selama hampir sebulan ini? Kuharap rumah barumu menyenangkan. Dari kata-kata di suratmu kemarin sepertinya kau bersemangat sekali untuk menunjukkannya padaku. Aku sungguh tidak sabar melihatnya.
Oh ya, aku minta maaf jika kau kesulitan membaca suratku sekarang. Kau tahu, sekarang ini jika malam tiba kami hanya bisa puas dengan penerangan lampu minyak. Tapi biar begitu aku berusaha membalas surat ini. Aku tidak bisa menulis lebih banyak lagi. Ya Tuhan, betapa rindunya aku padamu. Semoga kau juga begitu.
Dengan cinta,
Helena
Lionel melipat kertas itu dengan perasaan bercampur aduk; sedih, marah, dan rindu yang amat sangat terasa bertumpuk-tumpuk di dadanya. Ini adalah surat terakhir yang diterima Lionel dari Helena. Begitu surat ini sampai di tangannya, ia cepat-cepat membalas surat itu dengan perasaan bergairah. Tapi saat-saat berikutnya tidak kunjung datang balasan dari Helena. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, hingga bulan silih berganti, Lionel terus menantikan kabar dari Helena sambil terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apa yang menghalangi Helena untuk membalas suratnya?
Jawaban itu kemudian diketahui oleh Lionel dari sebuah radio usang yang saat itu kebetulan ia dengar. Terjadi penyerangan besar-besaran. Pos-pos prajurit Inggris digempur oleh pasukan militan Jerman dalam waktu yang tidak diduga. Perbatasan perang hancur, prajurit yang mati tidak bisa dihitung lagi, bahkan jumlah warga sipil yang menjadi korban pun terdengar mengerikan. Dan apa yang didengar Lionel berikutnya sungguh membuat semua tubuhnya lemas dan perutnya secara diaduk. Seluruh inderanya serasa mati saat itu, bahkan ketika si penyiar terus menyampaikan situasi perang, Lionel serasa tidak mendengarnya lagi. Kalimat itu yang membuatnya beku seketika, tempat Helena bertugas adalah sasaran utama penyerangan itu.
Saat berikutnya Lionel mulai mencari-cari keterangan apa pun yang bisa ia dapat tentang keberadaan Helena. Kantor pusat menyampaikan berita yang mengerikan juga. Beberapa prajurit dan korban-korban lainnya cukup sulit untuk diidentifikasi, dan keterangan Helena masih juga belum terdengar. Lionel hampir gila saat itu. Waktu demi waktu ia terus mencari tapi hasil yang didapat tidak berubah sama sekali, selalu mengecewakannya.
Bahkan hingga belakangan ini Lionel hampir putus asa. Di mana Helena? Apakah Helena benar-benar sudah pergi? Apa ia menjadi korban? Apa benar-benar tidak bisa diselamatkan? Apa ia sudah tidak ada? Mungkin Lionel harus menelan kenyataan ini meskipun hatinya amat berat untuk menerimanya. Jika memang Helena sudah pergi, Lionel hanya berharap bahwa Helena pergi dengan damai, semoga ia bisa beristirahat dengan tenang. Dan sejak itu, Lionel sudah menganggap bahwa raga Helena sudah pergi darinya, namun jiwa Helena tetap setia berada di sisinya.
Itulah sebabnya kenapa Helena tidak bisa lepas dari ingatan Lionel. Di satu sisi ia ingin melupakan ini semua, tapi di sisi yang lain, di hatinya yang paling dalam, ia tidak bisa memungkiri bahwa Helena tidak bisa pergi dari sana. Biarlah, katanya lirih. Kalau aku tidak bisa melupakanmu, itu akan kuartikan sebagai rasa cintaku yang begitu besar. Hanya padamu Helena.
Ia lalu mendekap surat itu di dadanya, merasakan seolah-olah itu tubuh Helena dengan hangat dan aroma yang mampu diingatnya…
***
Tiga ratus mil dari tempat Lionel terduduk, di sebuah bangunan dengan struktur batu putih, di salah satu kamarnya yang hangat, seorang suster setengah baya baru saja meletakkan sebuah vas dengan bunga-bunga plastik di meja. Ia menarik kursi di dekatnya dan menggesernya ke samping ranjang. Lalu ia duduk di atasnya sambil menatap seseorang yang duduk menyandar di atas ranjang itu.
“Pagi, Nona Muda,” sapanya. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Merasa lebih baik?”
Si wanita muda yang duduk di atas ranjang terdiam. Bibirnya terkatup rapat dan matanya tetap menerawang ke depan. Ia tidak jelas sedang melihat apa karena tatapnya begitu datar, tidak fokus, dan persis seperti orang yang sedang melamun tanpa menghiraukan suster yang sedang mengajaknya bicara.
“Kuharap selalu baik. Ya, kau selalu terlihat baik.” Suster itu tetap tersenyum lembut meskipun lawan bicaranya tampak tidak peduli. Ia lalu melirik vas bunga yang baru ditaruhnya tadi di atas meja. Kemudian ia bebicara lagi, masih tetap bermaksud untuk mengajak bicara wanita muda itu, “Aku selalu percaya bahwa kau pasti bisa mendengarku. Aku hanya ingin mengatakan mungkin kau perlu suasana baru. Aku sengaja membelikan bunga-bunga itu untukmu. Cantik, bukan?”
Lagi-lagi wanita muda itu bergeming. Ia tidak memberikan respon apa-apa terhadap suster maupun vas bunga itu. Ia tetap memanjang jauh ke depan dan hanya berkedip pelan sesekali. Wajahnya terlihat sedikit pucat meskipun masih ada rona-rona merah yang tersisa. Rambut pirangnya tersisir rapi ke belakang, hasil dari kerja rutin si suster yang menyikat rambutnya pagi dan sore.
“Di luar masih hujan. Kau lihat, salju-salju itu melayang-layang indah.” Si suster menengok ke jendela di sisinya, tepat di atas meja dengan vas bunga itu. “Kuharap kau bisa segera pulih untuk menikmati salju itu bersamaku. Aku sungguh tidak sabar menantikannya.”
Suster itu lalu menatap wanita muda itu lagi. Ia memandang prihatin. Dokter Will selalu memberi saran yang sama; ajak ia bicara, teruslah berkomunikasi dengannya, dan usahakan untuk memicu responnya. Meskipun ia belum bisa berinteraksi, tapi setidaknya itu bisa melatih saraf-sarafnya. Dan sudah hampir tiga bulan ini, si suster – dengan baik hati dan kesabaran yang tinggi – terus mengajaknya berbicara walaupun pada akhirnya ia merasa hanya berbicara pada diri sendiri karena wanita ini belum juga bereaksi.
Dokter Will menerangkan bahwa wanita ini mengalami kerusakan saraf tulang belakang karena benturan kepala yang hebat. Akibat yang ditimbulkan adalah kehilangan kontrol terhadap beberapa inderanya. Ia tidak lagi mampu berbicara, tidak bisa berinteraksi dengan sekelilingnya, namun tetap dengan tubuh yang sadar meskipun pikirannya seolah-olah kosong. Si suster beranggapan bahwa tubuh wanita ini ada di sini tapi jiwanya entah berada di mana.
Si suster masih ingat jelas bagaimana wanita muda ini bisa mengalami hal yang sangat memilukan ini. Semua berawal dari serangan mendadak militan Jerman waktu itu. Rumah perawatan ini sebenarnya jauh dari perbatasan perang itu, berada di sebuah desa kecil yang hampir tidak pernah tersentuh oleh perang dan pasukan tentara kota. Tapi malam itu, setelah satu hari serangan tersebut meletus, segerombol orang mendatangi tempat ini dengan keadaan kacau. Beberapa tentara terluka dan orang-orang lain yang ikut mereka terpaksa dibawa di atas tandu. Mereka ternyata sempat mundur dari perang dan masuk ke hutan-hutan hingga akhirnya menemukan tempat ini.
Dan wanita muda ini adalah salah satu rombongan dari mereka. Ia tampak terluka parah waktu itu. Kepalanya memar hebat dengan luka di sekujur tubuhnya. Saat itu ia pingsan, dan si suster yang waktu itu kebetulan menanganinya berusaha secepat mungkin mengurus luka-luka wanita ini. Dua hari kemudian wanita muda ini sadar, namun apa yang ditemukan pada dirinya sangat mengejutkan. Ia mampu membuka matanya namun tidak bisa berkata apa-apa, terdiam dan tampak linglung dengan pandangan menerawang. Dokter memvonisnya dengan gejala kerusakan saraf, seperti sekarang ini.
Suster setengah baya ini juga kebetulan tahu bahwa wanita muda yang ada di hadapannya ini pastilah dulu seorang perawat sukarelawan. Saat datang dengan keadaan kacau itu, wanita ini masih menggunakan pakaian suster yang hampir seluruhnya tertutup lumpur. Dari keterangan orang yang didapat dari sekelompok tentara itu, wanita ini diketahui bernama Helena. Pihak rumah sakit desa sudah memeriksa catatan Helena dan ternyata informasi yang ada menyebutkan bahwa Helena tidak memiliki sanak keluarga yang lain, hingga pihak rumah sakit memutuskan untuk merawatnya di sini dengan tunjangan biaya pemerintah.
Inilah yang membuat suster setengah baya ini perihatin dan menganggap Helena sebagai anaknya sekarang. Dengan perhatian lebih, ia selalu mengunjungi Helena, mengajaknya mengobrol tentang segala hal, menyikat rambutnya dengan lembut, serta merawatnya dengan sepenuh cinta. Ia merasa bahwa hanya ini yang bisa ia berikan. Jika saja Helena bisa tahu keadaannya sekarang, mungkin ia bisa merasakan bahwa dirinya amat sangat kesepian.
Si suster sekarang mendesah. Katanya, “Aku harus pergi dulu sebentar, Helen. Ya tentu saja, mengecek pasien-pasien yang lain. Semoga kau bisa menikmati hari ini.” Ia lalu bangkit, beringsut sedikit ke arah Helena dan mencium keningnya. Dengan langkah pelan ia beralih ke pintu dan keluar. Ia lalu menutup pintu di belakangnya seraya berkata dalam hati, semoga bukan aku satu-satunya orang yang menyayanginya.
WAaaaaaaaaah... selesai baca, ada dua film yang terlintas di kepala gw. Pearl Harbour dan Dear John.
BalasHapusTerinspirasi kah?
Btw, ini perang apaan?
Ada kalimat yang aneh:
“Inti dari yang kubaca dari berita ini,.. " maksud lo begini kali, By. --> "Inti dari berita yang kubaca ini..."
Gw suka cara lo menuturkan ceritanya. Uda okeh.. begitu juga sama alurnya.
Cuma gw merasa perkembnangan hubungan Lionel dan Helena terlalu cepat di bagian akhir.
Moso tiba2 nanyain, "Don't you love me?" Padahal baru aja 2 mingguan. Sebelumnya blm pernah menyatakan kan. Masa kata2 itu hrs keluar dalam situasi seperti itu? Terus jg si Glim yg ngomong soal "Nyonya Lionel" ... Rasanya terlalu tiba-tiba tanpa landasan yang cukup kuat di belakangnya.
Terus, terus terang gw kurang suka sama karakter Lionel, mungkin cuma kata-kata yang dia ucapkan. Sebagai seorang tentara, kata-kata Lionel terlalu mewek. Ga mencerminkan seorang tentara yang bermental baja. Hahahaha
Btw, love the ending.
Keep writing!
subscribe dl :P
BalasHapusWaah, gw malah ga kepikir Pearl Harbor sama Dear John. Gw terinspirasi dari Morning Glory-nya Lavyrle Spencer. Hahahahaha.
BalasHapusOh, mungkin u teringat Dear John karna ada surat dari Helena buat Lionel itu ya. Dear Lionel... Heeheheheh.
Duh, nyebelin. Padahal gw udah cek berulang-ulang, masih aja ada kalimat yg salah pengetikan. Ya, maksudnya "Inti yang kubaca dari berita ini..." atau bisa juga pake kalimat lu "Inti dari berita yang kubaca ini..."
Oh terlalu cepet ya prosesnya. Gw pikir gw udah kasih keterangan klo mereka ud saling suka, cuma ya mereka saling jalanin aja, ga pake tembak menembak ala ABG. Hehehehe. Klo terlalu gw terlalu detail-in lagi, ntar takutnya kepanjangan. Ini aja udah menembus rekor 4000 kata. Wakakak
Klo yg si Lionel bilang "apa kau tidak mencintaiku" itu karna gw pengen lebih dramatisir sih, jadi si Lionel pengen nentang keinginan Helena dengan dalih memikirkan dirinya juga.
Trus si Glim yg nyebut "Nyonya Lionel", itu karna dia kan sohib si Lionel, jadi otomatis dia tau apa yg terjadi di antara mereka.
Tapi klo diliat2 dr problem yg u kemukakan, kyknya ya mungkin karna prosesnya terlalu cepat ya. Pendapat tentang apa yg dirasa pembaca penting nih, thx deh buat belajar lagi nanti.
Oh ya, klo si Lionel yg mewek (meskipun gw ga nulis si Lionel nangis), gw jadi inget di Dear John deh, si John juga nangis di depan Savanah sampe memohon2. Trus klo ga salah di Pearl Harbour juga dua prajurit itu lembek gara2 cinta. Hahahah kayaknya klo udah urusan urusan cinta, manusia jadi lebih berperasaan mel. Btw, good advice buat karakter, akan kucatat komennya.
Oh iya lupa,
BalasHapusThx buat "love the ending"
Hehehehehe
Ya. intinya sih gw merasa terlalu cepat prosesnya.
BalasHapusTerus menangis itu bukan berarti mewek... tapi kata2 si Lionel itu terlalu gimanaa gitu ya..
Kata2nya terlalu melankolis ya.
BalasHapusHahahaha...
iya... kayanya mencerminkan penulis bgt. hehe
BalasHapusterlalu melas sbg seorang cowok. wakakkaka
Hai, left komen disini ah...
BalasHapusSuka nulis juga rupanya.. *peluk* *eh, bukan muhrim ding* #ditampar
Penuturannya simpel, ga pake bahasa yg over heboh. Walau menurut saya panyampaiannya agak lama.. :D
Tapi overall bagus...
Good job, Keep posting!! *salaman*
*pelukan dilarang? jilat-jilat klo gituh*
BalasHapus*senang ketemu sesama penulis XD*
Thx komennya.
Iya nih, kebiasaan dari dulu, klo nulis suka bertele-tele. Simple, tapi panjang dan lamaaaa. Hahahaha
Yep, keep writing, everything, biarpun ga penting...
*tuh tangan ud dicuci belom?*