Minggu, 03 April 2011

Murderer From The Past : Bab 1

Ashley Grisham memperlambat laju mobilnya, menyalakan lampu sen kanan, dan langsung membelokkan mobilnya ke jalan yang sedikit menanjak di Livorne Drive.

Pagi yang buruk! Katanya dalam hati.

Dengan mata tertuju pada jalan di depannya yang terselimuti salju tebal, Ashley mencoba mempertahankan mobilnya agar tetap berjalan di jalur yang benar. Lampu kabutnya menyorot tajam ke depan, namun tidak banyak membantu karena salju-salju itu terus saja menutupi kaca depannya, menyebabkan wiper-nya terus berdecit-decit meminta pertolongan.

Inilah yang menyebabkan ia sedari tadi mengeluh. Langit pagi yang seharusnya cerah berubah total menjadi tumpukan awan kelabu dengan butiran-butiran esnya yang melayang-layang jatuh. London dalam sekejap langsung berubah begitu saja menjadi kota dingin yang ditutupi dengan lapisan salju yang putih keperakan.



Ashley sungguh tidak menyangka kalau bulan Desember akan seburuk ini. Radio mobilnya yang terus berdengung tidak henti-hentinya memberitakan ramalan cuaca yang mengerikan. Badai di Southhampton, hujan salju lebat di Leicester, dan bahkan sesekali disampaikan berita robohnya beberapa tanggul karena tidak sanggup menahan tumpukan salju yang begitu banyak.

Tidak heran Ashley mengeluh. Ia bisa membayangkan mungkin saja beberapa orang lain di luar sana sedang mengalami hal yang sama dengannya. Ia membatin bahwa musim dingin yang mampu membekukan segalanya ini telah berhasil mempengaruhi semua orang, bahkan termasuk dirinya juga.

Beberapa saat kemudian suara di radionya berganti dengan alunan musik penutup Morning Press dan langsung disambut dengan suara penyiar wanita yang lain.

“Apa yang telah kau siapkan untuk Natal?” katanya dengan backsound Merry Christmas yang terlalu kencang dibandingkan dengan suaranya.

Ashley mengecilkan volume radionya dan tidak terlalu serius mendengarkan si penyiar yang sedang mencoba menirukan suara Santa Claus. Suasan hatinya saat ini sama sekali tidak dipenuhi semangat Natal, dan bahkan pohon cemara yang luar biasa besar dengan hiasannya yang meriah di ujung jalan sana sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Yang ia tahu bahwa Natal tinggal beberapa hari lagi dan ia sama sekali belum menyiapkan apa pun untuk merayakannya. Pikirannya akhir-akhir ini seolah tersita begitu saja untuk pekerjaannya dan tidak memberi kesempatan untuk menyelipkan apa pun di ruang otaknya yang sudah bersesakan.

Sembari terus berkonsentrasi pada jalan yang ada di depannya, Ashley menyandarkan dirinya dikursi dan mencoba menyibukan diri dengan mengingat-ingat lagi pekerjaan apa yang ia harus lakukan hari ini. Dengan helaan napasnya ia bisa tahu bahwa hari ini akan banyak sekali tugas yang harus ia lakukan. Beberapa kliennya kemarin sudah menelepon, mengingatkan Ashley bahwa hari ini ia harus menghadiri persidangan di Luchers.

Mungkinkah aku akan melupakannya? tanya Ashley tidak sabar.

Mau atau tidak Ashley harus mengakui bahwa kadang menjadi seorang pengacara membutuhkan suatu kesabaran ekstra untuk menghadapi kliennya. Tidak semua memang. Tapi setidaknya beberapa dari mereka seolah sudah sepakat untuk terus menggantungkan dirinya pada pengacara yang sudah mereka bayar.

Masih dengan ingat-ingatan kliennya yang begitu banyak, Ashley tertegun sebentar dan terpintas dalam pikirannya mengenai kejadian kemarin malam. Saat itu ia baru saja menyelesaikan makan malamnya dan sudah setengah jalan di tangga rumahnya menuju lantai dua ketika telepon tiba-tiba berdering.

“Halo,” Ashley mengangkat dan menjawabnya.

“Mrs.Grisham, kah?” suara seorang wanita terdengar dari seberang sana, terdengar serak dan parau.

“Ya, aku Ashley Grisham,” sahut Ashley segera.

“Ah, senang kalau begitu akhirnya bisa menghubungi anda,” suara wanita itu terdengar lagi.

Ashley merasa kalau wanita ini belum pernah dikenalnya. Suaranya begitu asing, sementara Ashley terus memilah-milah memori suara orang-orang yang pernah dikenal di dalam kepalanya.

“Aku Annie Faberson,” lanjut wanita itu. “Aku ingin bertemu denganmu. Ada beberapa masalah yang ingin aku bicarakan.”

“Bertemu?” tanya Ashley heran.

Mrs.Faberson menjawab dengan cepat, “Ya. Kau pengacara bukan? Aku ingin sedikit meminta pendapatmu. Kau mengerti kurasa.”

“Tentu”, Ashley segera paham dengan maksudnya.

“Kapan kiranya aku bisa menemuimu?” tanya Mrs.Faberson.

Ashley berpikir sesaat. “Bagaimana kalau besok pagi? Sekitar pukul sembilan kalau anda tidak keberatan. Anda sudah tahu dimana kantorku?”

“Ya, aku sudah tahu. Terima kasih banyak kalau begitu. Aku akan datang tepat waktu,” kata Mrs. Faberson kemudian dan menutup teleponnya.

Mrs.Faberson.

Apa aku pernah mengenalnya?

 Sepanjang sisa malam itu Ashley tidak bisa melepaskan pikirannya dari Mrs.Faberson. Sepertinya ia wanita yang menyenangkan, atau entah hanya perkiraannya saja.

Ashley mengangkat bahu dan tidak mau memperpanjang masalah itu. Pagi ini ia akan menemuinya. Ia cukup senang, namun ia tidak pernah tahu bahwa kehadiran Mrs.Faberson akan merubah seluruh hidupnya. Sama sekali tidak tahu.

* * *

Laberge, Martington, & Wearender adalah gedung panjang berlantai tiga, bergaya Eropa pada umumnya, dan bernuansa putih dengan beberapa penambahan ornamen berwarna coklat. Sebuah pintu kaca besar didirikan tepat di tengah gedungnya. Beberapa buah jendela berpelitur juga ditempatkan secara strategis di satu dua tempat dengan serambi kecilnya yang dibatasi dengan pilar-pilar batu melingkar.

Kemewahan gedung ini entah kenapa kadang menimbulkan kesan yang salah terhadap beberapa orang. Ashley ingat sekitar beberapa bulan yang lalu Laberge, Martington, & Wearender ditulis dalam sebuah artikel sebagai Kantor Pengacara Tersukses Dan Termahal. Entah kenapa kata termahal tercetak dengan huruf-huruf yang lebih besar, dan bahkan diberikan tag line ‘bawa koper uangmu dan semua masalah selesai.

Sebuah paradoks umum yang selalu terbentuk dalam dunia pengacara, itulah kalimat yang diucapkan bos Ashley sendiri ketika pagi saat mereka membaca tag line itu di tengah sebuah rapat. Ashley mengganguk setuju meskipun hantinya meringis menghadapi kenyataan bahwa karir yang dikerjarnya selama hampir lima belas tahun ini hanya menjadi bahan gunjingan dari beberapa kaum skeptis.

Mengingat bagaimana prosesnya berkutat dengan buku-buku hukum dalam kuliahnya, dan bertahun-tahun berperang melawan jaksa-jaksa penuntut yang kejam, Ashley ingin berhadapan dengan si penulis artikel itu untuk menyadarinya bahwa lembaga ini sudah melakukan lebih dari pada yang mereka kira.

Mungkin kita harus menuntut kantor penerbit itu, Greg Matthew, salah satu kolega Ashley, sempat menggelar lelucon di antara mereka untuk memukul mundur kantor penerbit itu dan menuntut setidaknya seratus ribu pound untuk membayar kerugiaan materialnya. Dua dari beberapa kolega lainnya menyahut, bahwa setidaknya sepertiga bagian uang itu bisa membiayai pesta private mereka di Hawaii atau menukarnya dengan keping-keping chip di Las Vegas.

Ashley mengahui bahwa ia sempat berpikir untuk menjadikan sebagian lelucon itu menjadi kenyataan, diluar bagian pesta Hawaii maupun Las Vegas, namun lagi-lagi tergelak bahwa tindakan konyolnya malah akan memunculkan tag line lain yang mungkin akan membuat bos mereka semakin melotot berang.

Biarkan itu menjadi tembakan semangat untukmu, Ashley, kata Greg kemudian. Dua hari berikutnya mereka nyaris melupakan lelucon mereka. Dan berbulan-bulan berikutnya, Ashley tetap bekerja seperti biasa tanpa tembakan semangat yang berarti.

Kini, setelah hampir putus asa menghadapi jalan penuh badai yang belum juga mereda, Ashley bersyukur akhirnya ia berhasil memarkirkan mobilnya di area parkir tepat dua lantai di bawah gedung itu. Sebelum keluar, Ashley sempat melihat dirinya di kaca spion tengah dan menyisir rambut coklat gelapnya yang panjang bergelombang dengan jari-jarinya, senada dengan warna bola matanya.

Setelah itu ia menarik dirinya keluar dan berjalan pelan sambil menggosok-gosok tangannya agar lebih hangat menuju lift kecil di ujung kanan yang akan membawanya naik ke lobi utama.

Lift ini sengaja didisain lebih kecil setengahnya dari lift utama di lantai atas. Dengan terburu-buru, Ashley menekan tombol lift dan disusul bunyi denting nyaring. Dua daun pintu lift menggeser terbuka, dan Ashley langsung beringsut ke dalamnya. Beberapa detik berikutnya Ashley sudah dibawa ke dalam sebuah lobi besar di atasnya.

Udara lobi yang hangat sedikit menyenangkan hatinya. Ashley menghirup udara banyak-banyak, berusaha sedikit menghangatkan paru-parunya.

Lobi utama gedung ini cukup luas, berbentuk persegi dengan sebuah koridor besar di ujung sebelah kirinya. Beberapa lampu hias digantung dengan jarak tertentu untuk memberi penerangan yang cukup, namun kesan yang ditimbulkan hanyalah cahaya kuning yang bependar dari setiap kaca-kaca lampunya. Di ruangan sebelah kanan, tepat di sebelah lift yang baru saja dinaiki Ashley, terdapat kursi dan meja berukir dengan karpet merah tebal yang sengaja dibentangkan di bawahnya.

Tidak banyak orang yang berada di lobi untuk waktu sepagi ini. Seorang pria berkumis sedang duduk di salah satu pojok ruangan sambil membolak-balikkan koran yang sedang dibacanya. Dari kebiasaannya yang satu dua kali melirik jam, Ashley bisa menebak kalau ia pasti sedang menunggu seseorang.

Di bangku yang berjauhan dengan orang itu, duduk seorang wanita dengan perhiasannya yang sangat mencolok. Ia sedang bebicara dengan seorang pria dengan kepala saling didekatkan, seolah pembicaraannya tidak ingin dicuri dengar.

Sementara di pojok yang satunya lagi duduk seorang pria berkaca mata dengan sebuah laptop di pangkuannya yang sedari tadi di utak-atiknya. Sebentar kemudian ia meraih telepon genggamnya dan mengomel keras.

Di ruangan sebelah kiri, tepat di samping koridor utama, diletakkan sebuah meja panjang besar dengan papan bertuliskan Receptionist di atasnya. Seorang wanita gemuk yang duduk di sana tersenyum pada Ashley.

“Selamat pagi, Ashley,” katanya dengan suara nyaring dan mencicit.

“Pagi, Aline” sahut Ashley singkat.

Aline Strudent tersenyum lagi seraya memamerkan giginya yang besar-besar. Ia adalah wanita yang manis. Wajahnya bundar, berambut pirang bergelombang, serta nyaris tidak disertai leher. Pipinya yang selalu merona merah dengan senyumnya yang khas seolah menunjukkan kalau kehidupan itu harus dinikmati dengan sebaik-baiknya.

“Pagi yang buruk kurasa,” kata Aline.

“Yeah,” ujar Ashley-terdengar bosan, atau mungkin hanya perasaannya saja. “Apa Lounia sudah datang?”

“Ya, ya, sudah. Aku melihatnya tadi,” jawab Aline yakin. “Tapi entah kenapa dia tampak begitu kesal. Tidak biasanya.”

“Oh, ya?”

“Hmm, sepertinya ada sesuatu yang buruk menimpanya, walaupun aku tidak berharap untuk itu,” terang Aline sembari mengangguk-angguk.

“Well, baiklah kalau begitu. Aku akan menanyakannya nanti,” kata Ashley. “Terima kasih.”

Ashley lalu meninggalkan meja penerima tamu itu dan langsung berbelok ke koridor, menuju lift utama. Suara pria berkaca mata itu terdengar lagi dari sini. Sekarang ia berdiri, menenteng laptopnya, dan berjalan keluar sambil menumpah-nyumpah.

Ruang kerja Ashley berada di lantai tiga, yang tidak jauh berbeda dengan lantai lainnya. Tiga koridor besar membagi lantai ini. Disetiap koridornya terdapat beberapa ruangan dengan pintu-pintunya yang dipernis halus dan papan-papan nama yang menunjukkan siapa pemilik ruangan itu.

Pada tahun ini Ashley menyadari sudah tepat tujuh tahun lamanya ia menjalani rutinitas ini berulang-ulang. Ia bahkan berani bertaruh – di tengah-tengah obrolan singkat bersama koleganya – bahwa ia cukup mahir untuk berjalan dari area parkir menuju ruangannya dengan mata tertutup. Greg dan Louina tertawa tergelak-gelak membayangkan dirinya tergopoh-gopoh saat melakukannya dan minimal mereka akan menyiapkan tandu untuk berjaga bila Ashley serius dengan ucapannya. Ashley tentu saja tidak sebrutal itu untuk mempraktekannya.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan perumpaan kegiatan dengan mata tertutupnya itu mencerminkan rutinitas yang nyaris sudah ia hapal. Tujuh tahun berselang, dengan ratusan kasus ringan maupun berat, mulai dari sekedar pengurusan harta waris, masalah pembelaan perceraian, penuntutan residivis obat bius, hingga kasus pemerkosaan dan pembunuhan, semuanya hilir berganti masuk dan pergi di ruangannya.

Diluar dari berbagai kasus rumit yang memang sering dihadapinya, Ashley patut merasa bersyukur bahwa setidaknya ia masih mampu berdiri di salah satu firma hukum bergengsi di London. Kantor Laberge, Martington, & Wearender menawarkan kerja padanya tepat tujuh tahun lalu setelah Ashley dengan sukses menuntut sebuah pabrik dan penyelundup cocaine di pesisir Dover, sementara pengacara-pengacara muda lainnya enggan berurusan dengan sebuah sindikat perusahaan besar yang identik dengan mafia kelas atas.

Baginya tantangan itu sebuah langkah besar yang harus diambilnya. Dan setelah berjalan seperti apa yang sudah diperkirakannya, ia berhasil membuat namanya cukup terkenal dengan beberapa kali tercetak di surat kabar hingga Mr.Martington melirik dan menganggapnya serius untuk bekerja di firma hukumnya.

Pagi setelah mendadak menerima telepon dari Mr.Martington, Ashley dengan cepat menyetujui keputusannya untuk bergabung. Beberapa saat setelahnya, ia sudah membuat selembar surat pengunduran diri di firma lama tempatnya bekerja, dan langsung mengepak barang untuk segera terbang ke London.

Ya, Ashley memang hampir menghabiskan sebagian besar hidupnya di Dover. Ia mengambil jurusan hukum di salah satu unversitas kecil di sana, yang namanya jarang dikenal setidaknya sampai Ashley mampu membuat beberapa juri persidangan tercengang pada masa praktek dalam kuliahnya. Lepas dari kuliahmya, Ashley sempat menjajal beberapa kali bekerja pada satu dua lembaga hukum sebelum menemui kasus rumit penyelundupan cocaine tadi.

Dan persis seperti apa yang dilakukan Ashley selama tujuh tahun belakangan ini, sekarang ia beranjak menuju ruangnya di koridor paling kanan di lantai tiga ini dengan suasana pagi yang seolah-olah sudah diwajibkan bagi setiap orang-orang yang bekerja di kantor ini. Satu dua orang terlihat sibuk berjalan ke sana kemari dengan tangan penuh kertas-kertas atau map-map besar. Ashley sempat menyapa beberapa kali pada orang yang dilewatinya. Yeah, pagi yang buruk. Astaga, salju diluar hampir membuatku gila, beberapa orang mengucapkannya bergantian. Greg, terlihat dari celah pintu ruangannya, sedang menempelkan gagang telepon di antara telinga dan bahunya, sementara tangannya sibuk mengangkat cangkir kopi dan sepotong donat. Ia mengangguk sebentar pada Ashley sebelum kembali berbicara serius di telepon.

Ruang  kerja Ashley – persis di sebelah ruang Greg – tidak  begitu besar, mungkin hanya sebagian kecil dari lobi utama di bawahnya. Dua buah meja diletakkan dipojoknya, membentuk siku-siku. Di bagian dinding yang kosong, berderet lemari-lemari besi tempat menyimpan surat-surat, berkas-berkas, atau yang semacamnya.

“Ah!” seru seorang wanita yang duduk di salah satu mejanya, sibuk membaca halaman-halaman kecil dari buku catatannya ketika Ashley masuk ke dalam ruangan. “Akhirnya kau datang!”

Ia adalah Louina Whiters, sekretaris pengacara terbaik yang pernah dimiliki Ashley. Louina adalah gadis muda yang energik dan selalu penuh semangat, entah apa pun keadaannya. Ashley sempat curiga dan menginterogasinya sambil bergurau untuk menanyakan jenis obat apa yang diminumnya. Jika pun ada, Ashley sangat ingin mencobanya.

 Louina memiliki mata yang besar, yang selalu menggambarkan kecerdasan dirinya. Wajahnya yang tirus panjang dihiasi dengan rambut keemasan yang sehari-harinya diekor kuda.

“Ya, terima kasih atas sambutannya,” sahut Ashley sembari melepas mantelnya, menggantungkannya di gantungan di belakang pintu, dan berlalu hingga menjatuhkan dirinya di kursi.

“Tidak biasanya kau seterlambat ini.” Louina segera beranjak dari kusinya dan menghampiri Ashley dengan secangkir kopi hangat yang mengepul. “Aku khawatir sekali,” katanya lagi.

“Aku jadi takut kalau kau sampai sekhawatir itu,” kata Ashley sambil menyeruput kopinya. “Pasti pekerjaanku banyak sekali hari ini.”

Louina kemudian berbalik ke mejanya dan bertutur, “Meskipun, ya, pekerjaan memang banyak, tapi aku lebih khawatir mengingat cuaca di luar sekarang. Greg sudah tiga kali melongokkan kepalanya di celah pintu itu untuk menanyakan apa kau sudah datang atau belum. Dan, tepat sebelum kau datang tadi, Mr. Martington menanyakan tentang competency hearing kemarin sore. Untung aku bisa menjelaskan hingga ia merasa cukup puas, meskipun aku belum menerima kabar darimu sejak kemarin sore itu.”

“Terima kasih sekali kau sudah hidup sebagai sekretarisku, Lou,” goda Ashley sambil tersenyum. “Aku sudah melihat Greg tadi, dan ya, ia tampak sibuk dengan teleponnya dan sekaligus puas melihat aku sudah datang. Berarti kecemasannya – yang sama seperti dirimu – sudah beres. Dan nanti aku akan menelepon Mr.Martington.” Ashley melirik jam tangannya. “Pasti ia sedang rapat dengan direksi advokat.”

Ashley menyandarkan dirinya dan mulai bergerak di depan komputer yang baru berkedip menyala.

“Dan memang apa yang membuatmu sampai seterlambat ini?” tanya Louina lagi.

“Entahlah,” kata Ashley jengkel. “Pertama mobilku seperti protes tadi pagi, dan kalau memang  ada yang harus disalahkan lagi, maka seharusnya aku menyalahkan salju-salju brengsek itu juga. Aku jadi heran dimana mobil-mobil pengeruk salju itu sekarang berada.”

 “Hmm,” gumam Louina yang tidak ingin membahas masalah itu lebih lanjut. Matanya terpaku pada buku kecil di tangannya.

“Mrs.Robson tadi menelepon begitu aku tiba di sini. Ia mengingatkan jadwal pertemuannya denganmu,” terang Louina.

“Tentu aku ingat,” kata Ashley. “Dan aku tahu pasti apa yang akan dibicarakannya nanti. Ia akan mengeluh tentang suaminya, kehidupan pernikahannya yang kacau, dan ketakutannya akan persidangan perceraiannya nanti. Ia bersikeras untuk memiliki hak asuh anaknya, benar-benar hak sepenuhnya. Katanya ia datang untuk membawa berkas-berkas tambahan untuk mendapatkan hak itu. Padahal dari dulu aku sudah bilang padanya agar tenang. Dengan bukti yang kupegang sekarang pun aku berani bertaruh akan memenangkan persidangan ini.”

Louina terdiam sesaat. “Ia akan datang jam satu siang,” katanya. “Dan setelahnya Mr.Daniel akan datang jam tiga.”
“Terima kasih sekali kau sudah mengingatkan jadwal yang hampir mencekikku itu,” balas Ashley sembari tertawa.

Lounia memandang Ashley. “Tapi kau tidak ada klien pagi ini,” protesnya.

“Oh, aku belum menceritakannya padamu,” tutur Ashley sambil menegakkan diri. “Semalam – entah aku lupa jam berapa – ada seorang wanita yang meneleponku. Namanya Annie Faberson. Katanya ia akan datang pagi ini untuk membicarakan sesuatu.”

“Kau sudah mengenalnya?” tanya Louina.

“Belum. Seingatku tidak ada kenalanku yang bernama seperti itu. Dan menurutku sangat mengerikan sekali kalau aku sampai mengalami kelemahan memori. Lagi pula yang aneh adalah ia yang mengenalku dengan baik, tahu apa profesiku dan bahkan tempat aku bekerja,” ujar Ashley.

Kemudian Louina mengeluarkan pendapatnya, “Mungkin saja ia mengenalmu dari orang lain. Saudara atau sahabatnya mungkin. Kau kan sudah mengenal banyak orang, dan bukanlah hal yang mustahil jika orang yang kau kenal itu juga mengenal – siapa namanya – oh ya, si Mrs.Faberson itu.”

“Aku juga sempat berpikir seperti itu,” kata Ashley menyetujui. Dicobanya untuk menyeruput kopinya lagi, tapi dibatalkan. Entah karena apa Ashley merasa seperti ada yang mengganjal dalam dirinya, meskipun ia sendiri tidak tahu apa itu. Kata-kata Louina sedikit banyak mengurangi rasa penasarannya.

Louina memang sering memberikan pendapat yang sejalan dengan Ashley. Pendapat-pendapat yang dikemukakannya kadang tepat sasaran. Ashley dulu sempat mengatakan sambil sedikit bergurau pada Louina, apakah selain bekerja sebagai sekretais pribadinya, Louina juga diam-diam berprofesi menjadi agen mata-mata Scotland Yard atau cenayang gothic yang pandai meramal. Louina tertawa saat mendengarnya dan menjawab kalau ide Ashley sangat bagus jika ia nanti tidak bekerja dengan Ashley lagi.

Ashley sendiri masih ingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Louina, persis dua tahun yang lalu. Saat itu Ashley sedang menghabiskan akhir pekannya di Manchaster sambil berusaha menyingkirkan beban yang saling berhimpit di kepalanya.

Di sana terdapat sebuah toko yang menjual barang-barang antik; The Quantiquent atau yang semacam itulah namanya. Toko itu termasuk yang paling besar dan mencolok dibanding toko-toko yang berbaris di kanan kirinya.

Louina saat itu bekerja sebagai salah satu pegawai toko itu. Ia sangat cekatan, bergerak dari satu pengunjung ke pengunjung lain dan menjelaskan panjang lebar mengenai barang yang ditawarkan.

Saat itu Ashley tertarik pada sebuah telur keramik. Ukurannya cukup besar dan berat, namun disempurnakan dengan bentuknya yang halus dan sempurna. Di sisinya digambarkan wajah-wajah seniman terkenal dengan hiasan lukisan yang rumit. Dudukan telurnya dibuat dari logam keemasan yang melengkung-lengkung, seperti sulur-sulur tanaman yang saling mengikat.

“Kau pandai memilih barang,” kata Louina sambil menghampiri Ashley. “Menurutku telur itu seperti karya FabergĂ©, itu kalau kau mengenalnya. Tapi sayangnya itu hanya tiruan.”

Ashley mengangguk. “Meskipun tiruan, hal itu tidak mengurangi kekagumanku. Kau lihat garis-garis lukisannya. Sangat halus. Aku berani bertaruh pasti seorang ahli yang membuatnya.”

“Kalau kau berminat, aku akan memberikan penawaran yang bagus. Bagaimana kalau dua puluh pound? Tidak mahal kan? Dan kurasa Mr.Perkins juga akan senang menerimanya,” usul Louina sambil menunjuk si pemilik toko yang sedang sibuk menawarkan selusin sendok antik pada turis yang sepertinya tidak berminat.

“Baiklah, akan kuambil,” kata Ashley menyetujui.

Dan sejak itu Ashley tidak bertemu lagi dengan Louina hingga beberapa bulan berikutnya. Waktu itu hujan lebat dan Ashley sedang duduk di salah satu cafe dekat kantornya. Di sana ia bertemu dengan Louina, masih dengan penampilan yang sama saat bertemu pertama kalinya.

Louina datang menghampiri Ashley dan mengingatnya secara tepat kapan dan bagaimana mereka bertemu. Mereka saling berbicara seolah-olah mereka sahabat lama yang sudah tidak pernah berjumpa bertahun-tahun dan saling melepas rindu satu sama lain. Pembicaraan mereka dimulai dari saling menanyakan kabar, meributkan cuaca di luar, telur yang dibeli Ashley waktu itu, hingga pada masalah pekerjaan Luoina di toko barang antik itu. Louina berkata bahwa ia sudah berhenti dari pekerjaannya dengan sederet alasan panjang yang seingat Ashley seputar penghasilan dan pengalaman yang tidak menjanjikan.

Ashley kemudian menawarkan pekerjaan untuk Louina, menjadi sekretaris pribadinya yang kebetulan memang sudah lama ia butuhkan. Louina menyetujuinya. Ia langsung menerima tawaran itu tanpa pembicaraan yang berbelit-belit.

Dan sejak itulah Louina bekerja dengan Ashley. Baik sebagai rekan kerja atau pun teman, Louina bukanlah tipe orang yang mudah mengecewakan. Ashley tahu bahwa seharusnya ia berterima kasih memiliki rekan semacam Louina.

Tiba-tiba ketukan di pintu membuyarkan begitu saja bayangan yang berjalan di kepala Ashley. Louina, dengan kecepatan yang luar biasa, langsung menghambur ke pintu dan membukanya. Ashley sedari tadi berharap bahwa Mrs.Faberson lah yang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar