Minggu, 03 April 2011

Murderer From The Past : Bab 2

Hal pertama yang terlintas di benak Ashley tentang Mrs.Faberson adalah bahwa ia seorang wanita yang berkelas.

Penampilannya sungguh luar biasa. Ia mengenakan mantel bulu coklat di atas blus hitam panjangnya, disertai dengan topi rajutan yang warnanya senada. Wajahnya agak panjang dan pipinya terlihat cekung.

Mrs.Faberson lalu berjalan dari pintu, menyalami Ashley, dan memperkenalkan dirinya. Suaranya terdengar parau dan kering, persis seperti yang terdengar di telepon kemarin.

“Senang rasanya berkenalan dengan anda,” kata Ashley.

“Begitu juga aku,” balas Mrs.Faberson sambil membuka mantel dan topinya. Rambutnya yang sudah memutih di satu dua tempat digulung dengan rapi. Mrs.Faberson kemudian duduk di seberang Ashley.

“Perkenalkan, ini Louina Whiters, sekretarisku,” kata Ashley seraya menunjuk Louina yang sedang menyuguhkan segelas kopi hangat untuk Mrs.Faberson.

Mrs.Faberson mengangguk dan meneguk sebagian kopinya. “Terima kasih sekali. Kopi ini cukup menolong.”

Louina – dengan senyum kecil – berbalik ke mejanya.

“Well, akhirnya aku bisa bertemu denganmu, Mrs.Grisham,” sambung Mrs.Faberson lagi. “Maaf kalau aku sedikit terlambat. Cuaca di luar benar-benar kurang mendukung sepertinya.”

“Tidak masalah,” sahut Ashley. “Jika anda datang terlalu cepat pun aku yakin justru aku yang akan membuang waktu anda untuk menungguku. Tadi aku juga sempat terhalang beberapa menit.”

Mrs.Faberson tersenyum lagi. “Aku hanya tidak ingin mengecewakan anda, mengingat profesi anda tentunya, seorang pengacara dengan reputasi yang tidak meragukan. Dan pastinya anda menggunakan waktu seefektif mungkin. Aku tidak ingin membuang waktu anda hanya untuk wanita tua sepertiku ini.”

“Tidak,” kata Ashley lagi. “Kebetulan pagi ini aku tidak ada janji dengan klien yang harus kutemui. Karena itu aku meminta anda untuk datang pagi ini. Jadi, ya, kita punya waktu sepanjang pagi hingga siang ini.”

“Aku sungguh beruntung kalau begitu.”

“Tapi, maaf jika sebelumnya aku ingin menanyakan sesuatu,” tutur Ashley. “Aku ingin tahu – sejak dari kemarin malam anda meneleponku – dari mana anda bisa mengenalku?”

Mrs.Faberson mengangkat alisnya. Lalu katanya, “Apa aku belum mengatakannya? Maaf kalau begitu. Aku mengenal anda dari Inspektur Bradford. Ia merekomendasikan anda padaku. Katanya anda orang hebat. Orang yang akan menyelesaikan masalahku. Baik sekali si Inspektur Bradford itu.”

Ashley tersenyum puas. Katanya, “Kalau begitu aku harus mengucapkan banyak terima kasih padanya.”

Inspektur Bradford memang adalah kenalan Ashley, dan persis seperti apa yang sudah dipikirkan Ashley dan Louina, Mrs.Faberson mengetahui Ashley darinya. Mengingat profesinya, Ashley memang memiliki beberapa kenalan di kepolisian London atau daerah lainnya. Dan Inspektur Bradford adalah salah satunya. Mereka bahkan sudah saling mengenal jauh sebelum Inspektur Bradford menjadi seorang Inspektur.

“Aku mengenalnya saat aku mengikuti sebuah tur ke Roma. Kalau tidak salah sekitar empat atau, ya empat tahun lalu. Inspektur Bradford juga mengikuti tur itu. Saat itu kami berkenalan di pesawat, dan kesan pertama yang kudapat adalah bahwa ia seorang yang baik,” tambah Mrs.Faberson.

“Ya,” Ashley lalu menyetujuinya. “Dan ia merekomendasikanku tentu ada alasannya. Dan apa yang bisa kulakukan untuk anda?”

Mrs.Faberson menyeruput kopinya lagi. “Ya, sebagaimana orang lain yang mencari seorang pengacara, aku memiliki beberapa masalah. Aku yakin anda dapat menolongku seperti apa yang dikatakan Inspektur Bradford. Tidak mungkin aku datang hanya untuk sekedar minum kopi ini,” katanya sambil mengangkat cangkir kopinya. “Meskipun kuakui kopi ini luar biasa.”

“Tentu aku bisa membantu dalam kapasitasku sebagai pengacara. Apa yang menjadi masalah anda?” tanya Ashley.”

“Banyak, banyak sekali,” kata Mrs.Faberson. “Begitu banyak masalahku akhir-akhir ini. Tidak, tidak. Bukan akhir-akhir ini saja. Sudah sangat lama. Jauh. Sangat jauh sebelumnya. Itu yang kurasakan. Ya, lama sekali.”

“Kalau begitu anda harus mengurutkannya sejelas mungkin,” timpal Ashley.

Mrs.Faberson menghela nafasnya. Kemudian ia melanjutkan, “Hmph, semua ini dimulai dari kehidupan pernikahanku, sekitar dua puluh lima tahun lalu. Sungguh awal yang buruk. Tak kukira akhirnya akan seperti ini.

“Pada awalnya aku mengenal George, suamiku, sebagai orang yang baik. Tapi setelah beberapa lama, tiba-tiba saja ia berubah. Seakan kepribadiannya berganti begitu saja, berbeda dari yang kukenal sebelumnya.”

“Seperti apa?” tanya Ashley.

“Ia menjadi aneh. Sebentar-sebentar ia berteriak, memaki-maki. Tidak jarang ia pergi pagi-pagi sekali dan pulang dengan botol vodka di tangannya,” terang Mrs.Faberson.

“Alkoholic,” kata Ashley.

Mrs.Faberson menggeleng. “Tidak, tidak. Baru kali itu ia mabuk, aku tahu benar. Ia bukanlah pecandu alkohol atau yang semacamnya.”

Dari wajah Mrs.Faberson, Ashley sama sekali tidak bisa menebak apakah ia berkata benar atau sekedar pembelaan terhadap suaminya.

“Ya seperti itulah dia. Keadaannya semakin memburuk saja, sama sekali tidak bisa diubah. Dan akhirnya....” Mrs.Faberson terdiam.

“Ya?” Ashley mencoba menanyakan, berusaha untuk mengetahui lebih banyak.

‘Dia – dia meninggal. Dia meninggal di sebuah bar. Dan anda tahu apa sebabnya. Cocaine. Dia – dia over dosis. Aku tidak tahu sejak kapan ia menjadi pecandu cocaine. Oh, aku – aku kecewa sekali,” kata Mrs.Faberson sedih.

Lalu Ashley bertanya dengan nada serius, “Cocaine? Lalu bagaimana dengan polisi? Mereka tentu mencurigai anda terlibat.”

“Benar. Aku sempat panik saat itu. Aku takut kalau polisi akan mengaitkannya padaku. Dan saat itulah aku terpikir untuk melakukan sesuatu. Aku menyuap dokter yang melakukan visum terhadap suamiku. Aku membayarnya mahal agar tutup mulut dan membuat laporan palsu; meyakinkan polisi bahwa suamiku meninggal karena serangan jantung akut. Aku tahu sebenarnya aku salah. Tapi saat itu aku benar-benar tidak ada pilihan.”

“Aku kagum anda punya keberanian seperti itu,” sahut Ashley.

“Tidak juga. Hanya saja aku yakin bahwa setiap orang akan memiliki keberanian saat mereka terdesak,” tutur Mrs.Faberson. Sesaat ia melirik Louina yang sedari tadi duduk di mejanya, mendengarkan.

Ashley mengangguk. “Aku setuju untuk yang satu itu.”

“Dan sejak itulah aku hanya hidup bersama putriku satu-satunya. Aku memulai usaha kecil dari uang hasil penjualan barang-barang peninggalan suamiku. Jumlahnya cukup untuk membuka sebuah toko perhiasan kecil di sudut kota. Dan tanpa diduga ternyata usahaku berkembang hingga aku mempunyai sebuah perusahaan berlian yang besar. Sepertinya keberuntungan ada di pihakku saat itu.”

Mrs.Faberson terdiam beberapa saat dan kembali meneguk kopi dari cangkirnya.

“Kemudian,” lanjut Mrs.Faberson lagi, “setelah beberapa tahun berlalu, aku bertemu lagi dengan dokter itu. Pada awalnya aku sungguh takut. Yang pertama kali terpikir olehku adalah pasti ia akan memerasku. Memintaku untuk membayar uang tutup mulutnya lagi.

“Tapi ternyata dugaanku itu salah. Dokter itu sama sekali tidak berniat jahat. Lain dari keegoisan pikiranku ini. Tapi kurasa anda dapat mengerti pemikiranku itu, kan?”

“Ya,” sahut Ashley cepat. “Dan apa sekarang dokter itu masih ada? Masih berhubungan dengan anda maksudku?”

“Tentu. Sekarang ia menjadi dokter pribadiku. Orang hebat dia. Ia begitu mengerti posisiku. Lalu entah alasannya apa, aku pun mulai menyukainya, dan begitu pun dirinya. Untuk itu kami pun memulai sebuah hubungan. Hubungan yang baik sampai...”
Ashley menatap Mrs.Faberson lebih dekat. Mrs.Faberson menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mendadak menunjukkan kesan sedih. Matanya yang coklat tampak sedikit lembab.

“Ya, inilah masalahnya. Pengacaraku – ”

“Pengacara?” sela Ashley sebelum Mrs.Faberson sempat menyelesaikan kata-katanya.

“Maaf sebelumnya kalau aku tidak mengatakan kepada anda bahwa aku mempunyai pengacara lain,” sahut Mrs.Faberson cepat. “Bagaimana ya mengatakannya? Pengacaraku itu – yang sudah sangat lama kukenal – memberikan pernyataan yang mengejutkankan. Katanya, setelah ia memeriksa catatan keuangan dari bisnisku satu bulan terakhir ini, ia menemukan sejumlah angka aneh untuk pengeluaran yang tidak begitu jelas. Ia memberitahuku dan mengatakan apakah mungkin ada hubungannya dengan dokter, yang saat itu memang berhubungan dekat denganku.

“Sebenernya saat itu memang aku dan dokter itu sudah berhubungan lebih dekat dari seharusnya. Ia sudah begitu kupercaya, dan cukup membantuku dalam bisnis tersebut, bahkan sudah setengah tahun ini ia yang membantu menangani keuangannya. Ya, ia cukup mahir di bidang itu, selain berurusan dengan pasien dan pisau bedah.

“Karena itulah pengacaraku curiga mungkin saja dokter ini melakukan penggelapan itu. Saat pertama kali mendengarnya aku hanya biasa saja, tapi pengacaraku begitu bersikeras. Dan katanya, dokter itu pasti mempunyai niat buruk. Satu-satunya hal yang diributkan pengacaraku itu adalah bahwa aku harus menanyakan langsung pada dokter itu. Itulah yang terpikir oleh pengacaraku.”

“Dan anda sudah menanyakannya?” tanya Ahsley.

“Pada awalnya aku menolak. Sepertinya tidak mungkin dokter yang begitu kupercayai melakukan hal kotor itu. Tapi anehnya sisi pikiranku yang berlainan memaksaku untuk memastikan hal ini lebih lanjut. Aku pun segera memerika catatan keuanganku, dan anda tahu apa yang kutemukan? Ternyata benar, ada sejumlah uang yang hilang untuk pengeluaran yang tidak kuketahui.”

Lalu Ashley bertanya, “Dan anda sudah melaporkannya pada polisi?”

“Tunggu, tunggu dulu,” sela Mrs.Faberson. “Kejadiannya tidak sesederhana itu. Aku belum percaya sepenuhnya bahwa dokterku yang melakukannya. Aku segera menanyakan hal tersebut padanya. Tapi apa yang dikatakan dokter itu. Ia malah memberiku pernyataan yang tidak kalah membingungkannya. Ia mengaku bahwa ia sama sekali tidak tahu tentang pengeluaran uang itu. Ia malah mengatakan kalau mungkin saja pengacara itu sengaja melakukannya untuk menjebak dirinya.”

Ashley berpikir sesaat sebelum berkata, “Bukankah dokter itu yang memegang semua pengaturan uang itu? Jika memang ada sesuatu yang aneh, seharusnya ia orang pertama yang menyadarinya.

Mrs. Faberson membalas dengan cepat, “Ya, karena itulah aku tidak bisa mempercayai kata-katanya. Tapi pernyataan berikutnya membuatku malah semakin bingung. Ia mengatakan kalau catatan terakhir yang ia periksa adalah catatan bulan lalu, karena itu ia belum menyadari ada keanehan di sana. Begitu ia memeriksanya lagi untuk catatan bulan berikutnya, ternyata ia memang menemukan sejumlah pengeluaran yang tidak jelas itu. Mungkin ia begitu gigih untuk membela namanya, dan secara ajaib, entah dari mana, tiba-tiba saja ia menemukan sebuah nama atas pengeluaran itu, nama pengacaraku yang bertindak atas diriku. Benar-benar bisa membuatku gila semua ini.”

“Dari mana dokter itu bisa menemukan nama pengacara anda?” tanya Ashley kemudian.

“Entahlah. Aku sudah tidak ingin mempermasalahkannya. Aku sudah kehilangan kepercayaan pada mereka berdua. Dan apapun perkataan mereka berikutnya, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Jujur saja, sebelumnya aku memang kurang pandai untuk masalah-masalah seperti ini. Tidak salah jika ada orang yang ingin berniat jahat padaku.”

“Kalau begitu semuanya akan menjadi sulit,” kata Ashley.
“Benar. Itulah yang membuatku pusing seperti ini. Aku tidak tahu siapa yang benar dan siapa yang tidak. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Kurasa mungkin Inspektur Bradford dapat membantu anda. Apa anda sudah menceritakan kepadanya?” tanya Ashley.

Mrs.Faberson langsung menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak. Untuk yang satu ini aku tidak ingin berhubungan dengan polisi. Aku lebih memilih untuk menyelesaikannya dengan caraku saja.”

“Dan,” sambung Mrs.Faberson lagi, “karena itulah aku menemui anda hari ini. Aku ingin memakai jasa anda sebagai pengacara pribadiku. Segala harta, rekening, dan aset perusahaan akan kuserahkan semuanya pada anda. Bisakah seperti itu? Inspektur Bradford mengingatkan kalau anda orang yang bisa dipercaya”

“Ya, aku bisa,” kata Ashley dengan nada yakin.

Dan Mrs.Faberson melanjutkan, “Baguslah kalau seperti itu. Berikutnya aku yang akan menangani semua keuangan perusahaanku. Aku tidak ingin melibatkan siapa-siapa lagi sekarang. Oh ya, ada satu hal juga yang ingin kuminta pada anda, Mrs.Grisham, tolong rahasiakan semua pembicaraan kita ini dari siapa pun. Aku tidak ingin orang-orang itu mengetahui hubunganku dengan anda.”

Ashley mengangguk, mengisyaratkan tanda setuju.

“Dan apa yang anda butuhkan sekarang, Mrs.Grisham?” tanya Mrs.Faberson.

“Untuk sementara ini aku hanya butuh data dan beberapa keterangan dari bank.”

“Baiklah,” balas Mrs.Faberson. “Aku akan memberikannya pada anda. Bagaimana kalau besok?”

“Ya, boleh saja. Jam sepuluh kalau anda tidak keberatan. Aku juga ingin anda menandatangani beberapa surat kontrak,” jawab Ashley.

Mrs.Faberson berdiri dari kursinya dan mengeluarkan sebuah kertas kecil dari dalam tasnya. “Ini kartu namaku. Anda bisa menghubungiku kapan saja,” katanya. “Kalau begitu aku permisi dulu.” Mrs.Faberson menyalami Ashley, mengucapkan banyak terima kasih, dan berlalu keluar.

“Well, sepertinya jadwalku bertambah lagi ya,” kata Ashley pada Louina yang sedari tadi terdiam, masih dengan buku catatan kecil di bawah hidungnya.

***

Mrs.Faberson melongok keluar jendela dari kursi belakang taksinya. Langit malam sudah menunjukkan perubahannya, yang tadinya berwarna kelabu, kini menjadi ungu gelap dan menghitam. Jalan-jalan yang terselimuti salju kini diterangi dengan lampu-lampu jalan berwarna kuning cerah yang setidaknya bisa menimbulkan kesan hangat.

 Sedari tadi ia berpikir tentang apa saja yang sudah ia lakukan hari ini. Ia sudah mengunjungi beberapa tempat yang menjadi tujuannya, yang artinya lebih banyak dari pada hari-hari biasanya. Tapi apa yang ia dapat hari ini sedikit melegakan hatinya.

Akhirnya, katanya dalam hati.

Apa yang sudah ia tunggu-tunggu, bertahun-tahun, akhirnya ia dapatkan juga. Sudah begitu lama ia menunggu kesempatan ini. Seluruh hidupnya bisa dikatakan habis untuk mencari satu hal itu.

Tidak heran sedari tadi ia menyunggingkan senyumnya. Ia tahu bahwa seharusnya ia tidak segembira ini. Tapi rasa puasnya seolah memaksa jantungnya untuk memompa darah lebih kuat, mengalirkan arus kesenangan ke sekujur tubuhnya.

Tapi sayangnya semua itu masih diluar kendalinya. Ia tahu bahwa segala sesuatunya mungkin saja berubah. Karena itu ia sudah berpikir. Ia harus bertindak cepat. Semua rencana sudah tergambar jelas di kepalanya, hanya tinggal menunggu waktu.

Tenang saja, semuanya pasti akan beres, katanya meyakinkan diri.

Tapi sepertinya hari ini ia merasa melakukan sedikit kesalahan, atau mungkin saja tidak. Mrs.Faberson jadi teringat lagi pertemuannya dengan Ashley tadi pagi. Aku tahu ia pengacara yang hebat.

Mrs.Faberson mencoba mengingat lagi apa saja yang sudah ia katakan kepada Ashley. Inilah kesalahan yang ia baru sadari. Ia terlalu banyak bercerita. Ia tidak tahu apakah orang lain juga menyadarinya. Tapi setidaknya ia cukup puas dengan tujuannya, menemukan apa yang ia inginkan.

“Anda sepertinya senang sekali hari ini, Mrs.Faberson,” ujar Jeremy Spence, si supir taksi dari belakang kemudinya.

“Ya, aku habis bermain poker, dan kau tahu, aku menang banyak hari ini,” sahut Mrs.Faberson senang. “Apa yang akan kau lakukan kalau kau memenangkan sesuatu? Pasti kau akan senang, kan?”

“Tentu saja. Aku masih ingat waktu aku pernah memenangkan sebuah taruhan pacuan kuda. Sepertinya hari itu adalah hari keberuntunganku,” komentar Jeremy.

“Yeah,” ujar Mrs.Faberson. “Aku juga merasa beruntung kau menemaniku seharian ini, Mr.Spence.”

Jeremy tersenyum sebentar tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan yang membentang di depan.

“Bagaimana pertemuan anda dengan pengacara itu? Siapa namanya – Ashley Grisham, heh? Rasanya aku pernah mendengarnya. Kalau tidak salah namanya pernah kubaca satu dua kali di surat kabar.”

Mrs.Faberson kemudian menyandarkan dirinya sambil berkata, “Well, tidak buruk. Dari pertama aku sudah yakin bahwa dialah orang yang kubutuhkan, dan ternyata dugaanku itu benar, kan. Hanya saja tadi aku belum sempat melakukan apa yang menjadi tujuanku sebenarnya. Tapi tidak apa. Yang terpenting langkah pertamaku sudah benar.”

“Aku turut senang kalau begitu,” kata Jeremy.

Mrs.Faberson tidak membalasnya. Ia membiarkan dirinya terbawa lagi dalam lamunan. Pertimbangannya selama ini tentang satu dua hal masih belum jelas. Dia berpikir bahwa masih banyak yang harus ia lakukan.

***

Entah sudah berapa lama ia terdiam di dalam mobilnya. Sebentar-sebentar ia menengok ke belakang, takut kalau-kalau ada orang yang memperhatikannya. Tapi lagi-lagi tidak ada. Yang terlihat hanyalah jalanan gelap yang sepi, dan sejauh ini hanya ada dua atau tiga mobil yang melintas.

Seperti itulah yang ia rasakan sejak tadi. Kegelisahan. Tangannya terus diketuk-ketukkan di kemudi, sementara keringatnya yang menetes kini sudah membasahi punggungnya, menyebabkan kaosnya menempel dengan tidak nyaman. Ia tahu bahwa seharusnya ia tidak perlu secemas ini. Dulu ia pernah mengalami situasi seperti ini dan semua akhirnya berjalan dengan baik.

Ingat kau pernah melakukannya, katanya pada dirinya sendiri.

Apa yang menjadi perhatiannya selama berjam-jam ini ada di hadapannya, sebuah rumah besar, agak gelap, dengan beberapa jendelanya yang masih menyala. Ia sengaja memarkirkan mobilnya beberapa meter dari rumah itu, menghindari adanya orang yang curiga atas kehadirannya. Tapi sejauh ini apa yang ditunggunya belum juga muncul. Yang dilihatnya hanya beberapa orang yang berbeda yang keluar masuk rumah itu, bukan orang yang ia cari.

Sedari tadi ia terus berpikir apa yang ia hadapi hari ini. Sebuah kenyataan yang sungguh di luar dugaan. Pikirannya terus berganti antara rasa tidak percaya, ketakutan dan kegagalan. Ternyata apa yang ia rencanakan selama ini salah, keluar dari jalur yang seharusnya.

Ia tidak pernah menyangka bahwa orang itu berhasil melakukannya. Itulah kesalahan besar yang ia lakukan, sama sekali tidak pernah mempertimbangkan bahwa orang itu terus bergerak tanpa terlihat. Tapi kesalahan itu akan ia tebus malam ini. Pikirannya terus berputar cepat, menyusun rencana-rencana baru yang sempurna dengan keahlian yang dimilikinya. Ya, ia memang sangat bangga untuk yang satu itu.

Sebuah taksi yang berbelok dari ujung jalan menarik perhatiannya. Sebelumnya ia tidak berharap banyak sampai taksi itu menghentikan lajunya tepat di depan rumah besar itu. Ia menegakkan diri dan memperhatikan. Seorang wanita setengah baya keluar dari pintu belakang taksi, terlihat sedikit kerepotan dengan tas besarnya. Beberapa saat ia berbicara dengan si supir melalui jendela, dan akhirnya berbalik menuju rumah sementara taksi itu meneruskan jalannya dan menghilang di belokkan.

Ia memperhatikan sebentar lewat kaca spionnya, memastikan bahwa taksi itu, atau bahkan mobil-mobil lain tidak ada yang melewati jalan ini lagi. Tanpa terasa kini jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Apa yang ia nantikan kini sudah ada di depan mata. Ia meyakinkan dirinya lagi kalau ini semua memang harus dilakukan. Harus...

***

Ashley menggantungkan mantelnya dengan hati-hati pada gantungannya di samping pintu rumahnya, dan berjalan menuju ruang tengah. Sebuah jam perak di atas meja kayu panjang menunjukkan pukul delapan malam, yang berarti ia sudah menghabiskan satu hari pekerjaannya lagi. Ia tidak tahu harus merasa senang atau sedih, karena telah berlalunya hari ini, hari esok yang sama melelahkannya sudah siap menanti.


Pekerjaan Ashley hari ini memang seperti bagaimana biasanya. Klien-kliennya datang silih berganti dengan masalah yang kadang berbeda dari satu hari dangan hari yang berikutnya.

Pertemuannya dengan Mrs.Faberson tadi memang suatu hal yang menarik kalau boleh ia katakan. Entah dengan dasar pertimbangan apa, Ashley merasa kalau Mrs.Faberson itu adalah wanita yang misterius, seakan-akan penuh dengan rahasia yang sampai mati pun tidak akan pernah diungkapkannya. Mrs.Faberson-meskipun usianya tidak muda lagi-termasuk wanita yang mempesona. Caranya berjalan, berbicara, dan gerak-geriknya seolah sesuatu yang sudah dipelajarinya secara mendalam. Hanya saja kehidupannya yang tidak mendukung. Seperti yang dikatakan, Mrs.Faberson memang menarik perhatian sampai-sampai masalah pun senang berada di dekatnya.

Pukul setengah sepuluh malam Ashley masih menikmati dirinya duduk di atas kursi berlengan di depan perapian, merasakan perutnya yang sudah terasa agak penuh. Makam malamnya tadi tidak terlalu istimewa, hanya beberapa potong roti asin dan daging asap yang cukup efektif untuk mengganjal perutnya.

Di samping jam perak, Ashley melihat lagi telur keramik yang mempertemukannya dengan Louina. Ia sengaja meletakkan telur itu di situ. Kondisinya saat ini tidak banyak berubah. Warnanya masih terlihat cerah, dan ukiran-ukirannya belum tegores sedikit pun. Ashley bahkan sempat bertanya apa harga yang ditawarkan saat itu pantas dengan barang sebagus ini.

Ashley mengambil teh limun hangat di meja di sampingnya dan menyesapnya perlahan-lahan. Saat-saat seperti ini memang menyenangkan bagi Ashley. Bersantai sebentar sambil satu dua kali mendengarkan berita malam yang disiarkan.

Pembaca beritanya, seorang pria muda yang wajahnya terlihat tidak begitu menyenangkan, masih membacakan sebuah berita mengenai penyitaan mesin-mesin pabrik besar yang diselundupkan ke negara-negara di Eropa Timur. Beberapa saat kemudian, pembaca berita itu mengganti laporan beritanya.

“Baru saja,” kata pembaca berita itu, “polisi dikejutkan dengan sebuah kasus pembunuhan yang baru saja diketahui pukul delapan malam tadi. Reporter kami melaporkan bahwa korban, Annie Faberson – 48 tahun, ditemukan tewas di ruang kerja di kediamannya. Diketahui bahwa korban meninggal akibat luka tusukan tepat di dadanya. Para polisi masih belum menemukan bukti mengenai si pelaku, sementara penyisiran masih terus dilakukan di sekitar tempat kejadian. Berikut reporter kami akan melaporkannya langsung dari Borkshill, London...”

Ashley menegakkan diri dari kursinya. Ia tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Mrs.Faberson terbunuh-astaga!, pikirnya. Baru saja – belum ada satu hari pun – dia bertemu. Bahkan beberapa menit yang lalu Mrs.Faberson masih sempat terlintas di pikirannya.

Ashley berdiri dari kusinya dan berpikir apa yang harus ia lakukan. Inspektur Bradford – ya, ia harus menghubunginya. Ialah yang mengenal Mrs.Faberson. Ashley segera menuju telepon dan memutar nomor telepon Inspektur Bradford.

Telepon diangkat setelah nada tunggu ketiga dan suara lelaki yang berat terdengar dari seberang sana, “Ya, halo?”

“Inspektur Bradford!” kata Ashley cepat.

“Ashley?!” Inspektur Bradford menyahut, nadanya terdengar antara kaget dan setengah percaya. “Malam-malam begini. Ada apa?”

“Apa kau menonton berita malam tadi?” tanya Ashley.

“Tak terlewatkan satu pun. Kenapa memang?”

“Mrs.Faberson,” kata Ashley, “terbunuh – tadi malam – ya, ampun! Kau tahu, kan?”

Inspektur Bradford menjawab dengan nada yang tenang, “Oh, wanita itu. Ya, tadi aku melihatnya di berita. Aku tidak tahu kalau kau mengenalnya.”

“Hei,” kata Ashley seraya mengerutkan dahi, “kau kan yang mengenalkannya padaku. Kau temannya, kan?”

“Jangan bercanda,” kata Inspektur Bradford. “Aku sama sekali tidak mengenal Mrs.Faberson...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar