
Penulis : Nicholas Evans
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Rating : 2.5/5
Saya menutup novel ini dengan perasaan yang saling tumpang tindih. Pertama rasa bete yang berkepanjangan, rasa (sedikit) berdebar-debar di penghujung akhir, hingga perasaan lega karena berhasil menyelesaikan novel ini dengan usaha yang keras. Segitu kerasnya, kah? Ya kurang lebih menguras batin dan fisik saya (baca: capek).
Sebelum saya kupas lebih jauh tentang apa yang saya keluhkan dan apa yang membuat saya ber-debar2, ada baiknya kita tengok dulu apa isi dan keseluruhan cerita yang dibangun dalam novel ini.
The Divide praktis hanya menceritakan sebuah perjalanan panjang dari keluarga yang adem ayem, kemudian akhirnya mengalami sedikit keretakan dan akhirnya bubar, sampai mengisahkan efek2 dramatis dari hasil perpisahan keluarga itu. Singkatnya, keluarga broken home. Ada pun si ibu dan ayah yang egois ini bernama Sarah dan Benjamin Cooper. Anak-anak mereka, Abbie dan Josh, kemudian menjadi korban malpraktek… eh, salah, korban perceraian orang tuanya hingga menjurus pada tingkah2 yang negatif.
Abbie menjadi salah satu anggota sukses ekoteroris. Apa tuh ekoteroris? Apa ikut2an si Eko Patrio jadi teroris di acara Ngelaba? Bukan. Ekoteroris itu semacam kelompok/kaum/genk/kumpulan orang yang mendirikan gerakan untuk mendukung pelestarian lingkungan dan memprotes apa pun segala perusakan dan exploitasi lingkungan tsb. Namun sayangnya gerakan protes itu dilakukan dengan cara extrem dan mengandung sarat kekerasan dan bahaya, hingga digolongkon sebagai tindakan teroris. Dan sementara itu, Josh juga ikutan hancur lebur dalam lingkungan sosial dan pergaulannya, hingga membawanya menjadi teman sejati marijuana. (“Dunia memang kejam”, kata emak2 di ujung sana)
Nah, sekarang kita masuk dalam acara bedah membedah. Alur di cerita ini dibagi menjadi tiga part. Part pertama hanya menceritakan sekelumit kisah tentang penemuan mayat Abbie (*woogh!* awal2 aja si Abbie udah metong) , dan memunculkan tokoh-tokoh utama seperti Sarah, Ben, Eve, dan Josh. Ya, awal tatap muka yang bagus.
[Perhatian : kematian Abbie bukan spoiler, karena udah tertulis secara explicit di sinopsis novel.]
Trus berlanjut ke part dua. Nah, di sini lah cerita mengalami proses flash back, jauh mundur ke belakang untuk mengisahkan keluarga Cooper yang masih aman-tentram-damai-sentosa. Dan perlu diketahui bahwa, dalam part ke dua ini lah yang benar-benar melatih kesabaran saya. Masalahnya sebagian besar cerita itu berjalan amat pelan, mendayu-dayu, bertel-tele, malayang-layang, dan berputar-putar, atau terserah lah apa istilah anda untuk mengungkapkan cerita yang cuma menambah tumpukan beban seberat 2 ton di mata anda. (Kebayang cara si Tom kucing ngeganjel mata pake tusuk gigi, LoL)
Bayangkan, perlu hampir setengah buku untuk sekedar membahas masalah keluarga dan perceraian mereka, hingga akhirnya mencapai titik klimaks menjelang akhir part dua ini.
Satu juga yang menjadi perhatian saya pada part dua ini, alur yang digunakan juga bukan hanya alur flash back dan kemudian maju perlahan-lahan menuju masa sekarang, tapi juga ada kilas balik lagi yang tersembunyi selama alur flash back tersebut. Jadi sederhananya, cerita sudah di alur flash back, kemudian di tumpuk lagi dengan alur flash back berikutnya.
Sebagai gambarannya seperti ini. Misalkan cerita sudah di posisi A, alur bergerak mundur sepuluh langkah, kemudian maju pelan-pelan dua langkah, lalu mundur lagi lima langkah, kemudian tiba-tiba melompat jauh delapan langkah, dan berjalan pelan lagi hingga mencapai titik A.
Hayoloh, capek kan dengan cara alur yang saling tumpang tindih begini. Meskipun saya gak mengalami kebingungan yang berarti, tapi tetep aja saya berasa dibawa muter-muter gak jelas, padahal intinya cuma sederhana. Ben dan Sarah mulai gak cocok, Ben ketemu cewek seksi-hot-and-yummy yang lain, trus mereka cerei, selesei. Gitu aja kok repot amat sih ampe ngejelimet cerita di bawa kemana-mana. *ngelap keringet*
Tapi, well, rasa bosan itu tersebus juga (meskipun agak lama datangnya) dengan cerita seputar Abbie dan komplotan ekoterorisnya. Di sini nih baru mulai terasa asik. Emosi saya mulai ikut bermain di cerita karena terbawa dengan suasana dan kondisi si Abbie. Mulai dari ikut deg-degan, tegang, sampe gregetan pengen gigitin tuh buku. Namun sialnya, begitu di ending part dua ini *duugg!!!*, saya terasa dijedotin ke tembok karena proses penutupan part ini terasa amat diburu-buru oleh si penulis. Jadi emosi yang sudah dibangun, tiba-tiba terasa mati begitu aja di tengah jalan.
Hal ini juga diperparah dengan part ke tiga, dimana cerita sudah berada di masa sekarang, dan bergerak maju terus pasca kematian si Abbie. Di sini juga lah alur begitu terasa sangat cepat, berbeda dengan dengan apa yang terjadi pada dua per tiga buku sebelumnya. Entah karena ini emang alur yang dimau si penulis, atau si penulis berasa bukunya udah ketebalan sampe terpaksa dia kebut, atau mungkin juga pihak penerbit ngancem si penulis pake golok biar novelnya dipersingkat di bagian akhir. (“Harga kertas mahal, coy. Potong bagian akhir lu, atau tuker ama nyawa!!!”). Jadi kalau mau dideskripsikan, sepanjang baca novel ini ibarat naik motor pelan, jauh, dan lama, terus tiba-tiba nge-gas poll, and seenak jidat nge-rem mendadak, trus jalan lagi sambil kebut-kebutan. (Jiaahh… mau nge-track gaya Ekin Cheng tuhh..).
Sesudah beres bermasalah dengan alur, sekarang saatnya kita tengok cara penuturan kisah di novel ini. Mungkin dari sini lah saya tahu kenapa pada dua per tiga bagian buku ini terasa lamaaaa dan panjaaaang (chocky-chocky wanna-be ??). Ternyata tertuduh utamanya berkaitan dengan cara penuturan si penulis yang menyuguhkan begitu banyak dalam narasi yang super-duper-panjang-sekali.
Selain itu saya merasa kalau cerita yang dituturkan itu terasa terpotong-potong, diambil dari adegan-adengan yang ada, dan disusun berurut nyaris tanpa dialog. Bingung bayanginnya? Gini aja, pada pernah nonton Up gak? Itu loh, film animasi produksi Pixar yang ceritain si Kakek dengan rumah balonnya.
*beberapa anak ingusan menggeleng pasrah – kita lanjut aja ya, cuekin mereka*
Nah, pada part awal film itu kan ada potongan-potongan adengan yang menceritakan kisah dari si Kakek. Mulai waktu dia masih kecil dan ketemu sama anak-cewek-berantakan, terus pas ud gede mereka menikah, momen-momen romantis mereka sampe tua, hingga si nenek mencapai tahap Rest In Peace. Itu semua kan potongan-potongan adegan, masih urut, tapi tetep terpisah. Dan sama, tidak ada dialog yang berarti juga, persis sepertu kasus yang terjadi di The Divide ini.
Ada yang mungkin merasa dongkol dengan cerita seperti itu? Atau ada yang merasa enjoy? Kalau saya sih tergantung cerita apa dulu yang disajikan. Kalau sepanjang itu cuma ngeributin orang mau cerai, walaah, anda berhasil menghipnotis saya bak maestro R*my R*f*el, tidur pules *groookk…*
Tapi terlepas dari masalah-masalah yang sudah saya sajikan tadi, saya tetap mengacungkan jempol saya – baik jempol tangan maupun jempol kaki – pada tokoh-tokoh yang ada di cerita ini. Karakter yang dibuat amat sangat pas, hingga saya bisa membayangkan sosok, tingkah, perilaku, hingga cara pandang dan berpikir mereka. Ben si perfeksionis, Sarah si keras dan tegar, Abbie yang awalnya lembut hingga jadi pemberontak, dan Josh si manusia santai-lugu-dan-saiikk (mungkin efek marijuana yang dikonsumsinya).
Kemudian berbicara mengenai setting, si penulis secara gamblang menyebutkan beberapa lokasi dari daerah Amerika, such as New York, Montana, Missoula, dsb. Untuk masalah waktu tidak terlalu jelas, mungkin sekitar tahun 2001, karena di dalam cerita sempat disinggung kejadin yang menggemparkan tentang tragedi Gedung World Trade Center. Cuma selingan cerita sih, gak ngaruh-ngaruh amat ke plot cerita utama.
Okelah kalau begitu, saya rasa sekian aja kupas tuntas dari novel The Divide menurut pandangan saya. Overall, saya melihatnya novel ini memiliki beberapa sisi untuk dipandang. Dari satu sisi, novel ini terlihat amat sangat membosankan, menyajikan cerita broken home yang klise, dan permasalahan2 rumah tangga dalam taraf dewasa yang belum saya capai dalam ilmu kebatinan (secara masih single loh…). Dan di satu sisi, saya juga menilai bagus karena cerita ini sedikit mengisahkan efek dari broken home itu, terutama menyinggung psikis dan emosi seseorang pada saat menghadapi suatu permasalahan. Pelarian ke luar, seperti tindak ekoteroris, itu point cerita yang menarik menurut saya. Sayang kisah Josh dan marijuana-nya kurang diceritakan secara detail. Lagi, apakah kasus marijuana terlalu klise menurut si penulis – karena menurut saya point ini menarik juga – , atau ia tidak ingin memboroskan ceritanya pada masalah itu? (“Capek ah nulis tebel-tebel”, kata bang Evans).
Satu hal yang juga mau saya sampaikan, bahwa - meskipun terpaksa - saya merasa sedikit kecewa dengan karya bang Evans kali ini, mengingat ekpetasi saya karena kekaguman pada karya sebelumnya yang bertajuk Smoke Jumper (pernah saya review sebelumnya). Tapi bagaimana pun, saya tidak akan mengurangi rasa cinta saya terhadapnya *cuit-cuit*, dan masih nunggu novel2nya yang belom terbit di Indonesia. *sigh*
Ya, sudahlah. Saran saya untuk pembaca The Divide : Bacalah dengan bijak, sediakan tusuk gigi steril jika terpaksa digunakan untuk mengganjal mata anda.
Selamat membaca!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar