Rabu, 06 April 2011

fiksi : MY GIFT

Jam di meja mengeluarkan bunyi detaknya yang halus, pelan, dan menghipnotis.

Jika saja aku mau mencoba mendengarkannya pelan-pelan, mungkin aku bisa menghitungnya tanpa harus repot-repot melihat jam itu. Tapi untuk apa aku melihatnya, toh tidak berati apa-apa bagiku. Wujud jam itu mungkin biasa saja, sesuai dengan apa yang bisa kubayangkan. Tiga buah jarum yang berputar dengan sederet angka melingkar, Mom mengatakannya seperti itu saat aku menerimanya sebagai kado ulang tahunku yang ke sembilan - persis enam tahun lalu. Dan di belakangnya ada pigura yang kuselipkan fotomu yang cantik, Mom menambahkan.

Saat-saat tertentu perbedaan waktu memang kadang menjadi kendala bagiku, ya aku harus mengakuinya. Namun aku dengan bangga menyatakan kalau aku memiliki keahlian khusus untuk yang satu ini. Entah karena Tuhan memberikannya secara sengaja untukku, atau sebagai rasa permohonan maaf-Nya karena telah lalai menciptakan diriku, aku tahu dengan pasti bahwa apa pun alasannya, aku mengartikan semua ini sebagai satu anugerah.


Kurasa tidak berlebihan jika aku mengatakan seperti itu. Mengapa aku harus mengeluh jika aku masih bisa mencium bau bunga dandelion di pagi hari? Atau merasakan terik yang menyengat dengan bau batu kering di tengah hari? Dan juga meresapi angin sore yang sejuk untuk tanda malam hari? Semua ini kunikmati dengan perasaan luar biasa ketika orang lain pun tidak tahu betapa berharganya semua itu. Mereka tidak akan tahu karena mereka tidak pernah sibuk untuk mencari tahu semua itu.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terduduk di sini, namun dari jendela yang masih terbentang di depanku - dengan angin malam musim semi yang sejuk dan manis - aku tahu setidaknya ini sudah hampir tengah malam. Suara-suara di depan jalan sudah terlalu sunyi. Sesekali hanya terdengar dengung kumbang yang beradu dengan detak jarum jam di sampingku ini, seolah berlomba saling sahut-menyahut.

Dengan gerakan perlahan, aku merenggangkan jari-jariku dan membalik selembar halaman dari buku tebal yang kubentangkan di atas meja. Seperti yang kulakukan di jam-jam panjang sebelumnya, aku memulai lagi mengerakan jariku di sepanjang halaman, baris demi baris, merunut setiap kata yang kubaca hingga membentuk kalimat hingga aku mengerti maknanya.

Dari dulu aku memang gemar membaca, dan buku setebal ini tidak akan menyurutkan niatku meskipun butuh waktu lama dan usaha yang besar untuk menghabiskannya. Aku ingat butuh seharian penuh untuk setidaknya menghabiskan sepertiga buku ini. Dan meskipun begitu, lagi-lagi aku bisa menikmati apa yang kulakukan meskipun kutahu ini hanya hal kecil bagi sebagian orang.

Si Pria Penjual Bunga kemudian turun dan menghampiri Sang Putri, aku berhenti sebentar pada kalimat ini. Aku sangat menyukai bagian ini. Dari sepanjang kisah yang kubaca, akhirnya si Pria Penjual Bunga bertemu dengan Sang Putri setelah menempuh petualangan yang panjang. Aku memang sudah terbiasa dengan dongeng-dongeng semacam ini, dan jujur saja aku masih sangat menyukainya. Apa yang paling membuatku bergairah adalah membayangkan bagaimana sosok si Pria itu, Sang Putri, suasana kastil, serta akhir yang mungkin akan membahagiakan untuk mereka berdua.

Si Pria Penjual Bunga itu selalu didefinisikan tampan meskipun aku sendiri tidak punya gambaran bagaimana definisi itu sebenarnya. Tapi setidaknya itu hal yang menarik, seperti bagaimana Sang Putri bisa begitu jatuh cinta pada Pria ini. Sebuah dongeng drama klise persis seperti beberapa buku yang sudah kubaca dan sekarang berjajar di salah satu deret rak lemari di sebelahku.

Aku lalu membaca lagi. Si Pria Penjual Bunga... Si Pria...

Aku kembali tertegun. Jariku berhenti pada kalimat itu, dan hal ini terjadi lagi seperti beberapa kali sebelumnya ketika aku mencoba membayangkan sosok si Pria Penjual Bunga. Apa yang tiba-tiba melesat di kepalaku ini bukanlah si Pria Penjual Bunga di kisah itu, namun diganti dengan sesosok pria lain dengan bunga-bunga yang dibawanya. Ini adalah kejadian dua hari lalu, dan sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan kejadian sederhana itu, yang kupikir mempunyai arti penting tersendiri. Setidaknya itu yang menjadi pemahamanku.

Dua hari yang lalu, saat itu siang hari ketika aku dan Mom pergi ke kota untuk menjual benang-benang wol hasil peternakan, aku terduduk di sebuah bangku kayu di depan sebuah toko. Itu saat ketika Mom berusaha untuk menukar gulungan-gulungan wol yang dibawanya dengan beberapa pounds. Aku menghindari keramaian di dalam toko itu, hingga memutuskan untuk duduk dan menunggu Mom selagi berkutat dengan si pemilik toko. Yang kuingat saat itu udara cukup kering dan terik. Bau-bau debu yang tergesek roda mobil melayang-layang dan tercium olehku.

Saat itu - ketika aku membenamkan kepalaku lebih dalam ke topi rajutan yang kupakai - tiba-tiba duduk seseorang di sampingku. Aku tidak tahu itu siapa, bahkan aku tidak repot-repot untuk menebaknya. Namun kemudian ada satu hal yang menarik diriku pada seseorang yang ada di sebelahku itu. Aku mengendus sesuatu yang sudah kukenal.

"Daffodill, Primrose, Tulip," kataku sambil menurunkan topiku lagi lebih rendah.

"Ah, ya, kau ternyata cukup kenal dengan bunga-bungaku," kata orang itu. Suara pria ini baru kudengar, terkesan hangat, lembut, dan bersahabat.

"Kenapa kau membawa bunga begitu banyak?" tanyaku lagi.

Pria itu berdehem sebelum menjawab. "Hmm, kira-kira apa? Kau bisa menebaknya? Aku ingin mendengar salah satu tebakanmu."

Aku tersenyum, "Entahlah, mungkin kau salah satu pecinta bunga. Maaf jika tebakanku salah."

Si pria tertawa. "Sebagian kecil kau benar," katanya. "Aku, ya, memang pecinta bunga. Mereka adalah anak-anakku sekaligus teman hidupku - hey, kau jangan tertawa. Sungguh aku sangat menyukai mereka."

"Lantas apa sebagain kecil lainnya?" tanyaku.

"Sebagiannya bahwa aku punya pekarangan bunga, bahwa aku memelihara mereka, dan kenyataan bahwa aku juga menjual mereka sekarang," tutur pria itu.

"Sungguh?"

"Ya."

"Teganya kau menjual mereka. Kau berkata tadi mereka adalah anak-anakmu," kataku lagi sambil tertawa kecil.

"Hei, aku juga butuh hidup. Jadi terpaksa sebagian dari mereka harus kujual, meskipun aku tahu mungkin saja mereka protes diam-diam," canda pria itu. "Anggap saja bunga-bunga yang kujual ini anak-anak nakalku yang tidak ingin kupelihara. Adil, kan?"

Aku tertawa lagi. "Kasian sekali mereka."

"Ya, begitulah," sahut pria itu lagi. "Sepertinya kau juga menyukai bunga. Apa kau juga senang memelihara bunga?"

"Hmm, ya aku suka. Hanya aku tidak terlalu pandai memeliharanya. Aku hanya cukup senang mencium wanginya saat mereka bermekaran."

"Apa bunga favoritmu?" tanya pria itu

"Primrose salah satunya."

Pria itu mendecakan lidah, pura-pura kecewa, "Ah, kau mengambil bunga favoritku. Aku jadi takut jangan-jangan kau bisa membaca pikiranku." Ia lalu tertawa.

Aku senang mendengar canda pria ini. Aku tergelak sesaat sebelum berkata, "Sayangnya tidak. Lagipula jika aku benar-benar bisa membaca pikiranmu, aku tetap memilih Primrose bahkan sebelum kau sempat memikirkannya."

"Kalau begitu kita berada di kelompok yang sama," sahut pria itu.

"Setuju," balasku, tersenyum lagi.

Pria itu terdiam sebentar. Lalu katanya, "Kau sedang apa di sini?"

Mungkin ia bingung melihatku yang terduduk sendirian seperti ini di depan sebuah toko di pinggir jalan. Panas semakin terik, tapi untung kanopi toko di atas bangku ini menghalangi sinar matahari yang menyorot.

"Aku sedang menunggu ibuku. Ia sedang menjual benang wol di toko ini. Wol hasil peternakan kami."

"Oh," gumam pria itu. "Aku sangat suka peternakan. Yeah, domba yang menggemaskan itu, kau tahu. Aku kadang pernah membayangkan diriku menggembala domba dengan seekor shepard yang tangguh. Mobby, akan kuberi nama anjing itu. Dan bagaimana aku akan berkeliling kebun rumput dengan kudaku, mengendarainya dengan tali kekang dan sadel - Ya, si Ponggo, itu namanya. Astaga, bahkan nama-nama mereka pun sudah ada dalam bayanganku."

"Wow, sepertinya kau menyimpan jiwamu yang lain selain di antara bunga-bunga," ujarku. Tanpa sadar aku ikut membayangkan pria ini di ladang berumput.

Pria itu mendesah. "Yeah," katanya. "Apa kau mau tahu dimana jiwa-jiwaku yang lain? Ah sepertinya akan makan waktu hingga matahari terbenam jika aku membicarakannya. Yang jelas masih jauh tersimpan di tengah samudra yang ingin kuarungi, beberapa tebing yang ingin kudaki, atau setidaknya di tengah benua Afrika yang wujudnya saja belum bisa kubayangkan. Wah, itu semua bisa dikatakan impianku."

Aku bisa melihat semangat dari kata-kata yang diucapkannya. "Mimpi yang bagus," kataku. "Lantas kenapa kau masih di sini? Bukankah impianmu itu sangat menarik untuk dikejar?"

"Kau serius mengatakannya? Kau pasti bercanda," si pria terkekeh geli. "Kau mungkin bisa melihat keadaanku yang terbatas. Well, yah, aku tidak terlalu serius untuk mengejarnya. Hidupku sekarang pun sudah terlalu sulit untukku. Lebih baik aku mengejar-ngejar kepingan pence dari bungaku ini dari pada aku serius mencari-cari kapal mana yang mau mengajakku berlayar. Tapi kau cukup tahu ya, kalau mimpi itu harus tetap ada. Aku harus tetap menjaga mimpi-mimpi itu untuk sekedar semangat hidupku. Aku selalu bangun tiap hari dan menanyakan hal yang sama pada matahari di jendela pondokku. 'Kapan aku akan pergi berpetualang, hai matahari?' Meskipun si matahari itu tetap diam, aku menganggapnya bahwa ia bukan tidak bisa menjawab, hanya saja belum tiba waktunya untuk menjawab."

Aku tampak serius mendengarkan perkataan si pria itu. Meskipun aku tidak banyak tahu tentang keadaannya, aku dapat menghubungkan sebuah garis merah pemikiran bahwa apa pun keadaannya, tampaknya hal itu tidak memungkinkannya untuk bertindak lebih, namun ia tetap menjalani hidup dengan hari-hari yang selalu dianggapnya istimewa seolah hari esok adalah satu episode hidup yang berbeda. Perasaan ini sedikit banyak menggetarkan perasaanku. Aku tahu semangat itu, dan aku sudah berusaha menciptakan pemikiran itu secara dominan dalam hidupku.

"Kenapa kau diam?" tanya pria itu tiba-tiba. "Sepertinya aku terlalu banyak bicara, ya. Maaf kalau aku membuatmu bosan."

"Tidak," jawabku sembari menggeleng. "Hanya saja aku cukup terkesan dengan kata-katamu."

"Oh, apa kau berpikiran sama denganku?" tanyanya lagi.

"Ya. Di beberapa bagian, terutama untuk keadaan yang terbatas, dan mencoba menjalani hidup dengan wajar. Untuk mengejar mimpi itu, aku tidak yakin."

Tampaknya si pria bisa mengenali kata-kataku yang muram. Ia bertanya singkat, "Kenapa?"

"Entahlah, aku tidak seberani dirimu yang terus menanyakan mimpi itu."

"Kenapa kau tidak berani?" tuntutnya lagi

"Lebih kepada menyadari diri sendiri," jawabku lirih.

Si pria tertawa pelan. "Aku jadi ingat akan kata-kata seseorang yang pernah kudengar. Lupakan dimana aku mendengarnya, hanya saja perkataan itu cukup membuatku tersadar. 'Jika kau sendiri tidak berani, lantas bagaimana orang lain bisa membuatmu berani'. Yah, kurang lebih seperti itu. Hei, jangan anggap serius aku sedang berpidato, ya"

"Tidak. Aku senang mendengarnya. Yah, kurang lebih bisa merubah pemikiranku sedikit," kataku.

"Bagus kalau begitu," balas si pria. "Kalau aku boleh tahu, apa yang jadi mimpi-mimpimu?"

Aku terdiam, berpikir untuk mengutarakannya atau tidak. Lalu akhirnya aku memutuskan. "Aku ingin menjadi penulis," ujarku singkat.

"Wow, keren." si pria entah bagaimana terlihat lebih bersemangat dariku. "Kalau begitu menulislah. Tidak akan ada yang melarangmu, kan. Ayo tunjukan apa yang kau bisa. Mungkin aku akan menjadi salah satu penggemarmu nanti." Si pria tertawa lagi.

"Mungkin. Suatu hari nanti," kataku.

"Hei, dengar, ya," si pria langsung berubah dengan nada serius. "Mimpi itu bukanlah suatu barang ajaib yang dimiliki para dewa, tapi sebuah peta harta yang diberikan cuma-cuma untukmu. Gunakan mimpi itu dalam hidupmu agar kau bisa menemukan harta yang tak ternilai harganya nanti. Setidaknya itu yang kuanggap selama ini."

Aku sekali lagi termangu mendengarnya. Kata-katanya cukup sederhana, tapi ternyata secara perlahan-lahan membuka beberapa pintu pemikiranku. Aku sendiri sadar bahwa aku tidak memiliki optimisme yang terlalu besar seperti ini. Kadang aku masih menghubungkan antara mimpi dengan kenyataan hidupku, tanpa memiliki sudut pandang baru seperti apa yang dikatakan pria ini.

Tiba-tiba rasa penasaranku muncul. Aku baru saja hendak menanyakan namanya, namun tiba-tiba sebuah suara dari samping memanggilku.

"Elly." Itu Mom.

Mungkin ia sudah selesai dengan urusan benang-benang wol-nya. Mom berjalan menghampiriku, dan mungkin ia melihat seseorang yang duduk di sampingku.
Sebelum Mom menanyakan pria itu, si pria sudah bangkit berdiri dan berkata, "Selamat siang, Ma'am. Maaf aku sudah berbicara banyak dengan - er, Elly. Aku hanya penjual bunga. Apa anda tertarik? Lima pence untuk seikat Daffodill."

"Daffodill yang cantik," tutur Mom. "Ya boleh saja. Sepertinya cocok untuk jendela ruang makan. Benar, kan Elly?"

Aku mengangguk singkat.

Kemudian Mom menukar keping uangnya dengan seikat bunga itu, disusul dengan ucapan banyak terima kasih dari si pria itu, dan ia tampak berjalan meninggalkan Aku dan Mom.

"Sampai bertemu lagi, Elly. Senang berjumpa denganmu," katanya sambil berlalu. Di tengah-tengah kata-katanya aku mendengar keganjilan, sesuatu pada langkah kakinya, bunyi aneh yang terdengar antara gesekan sepatu dan ketukan sesuatu yang mengenai aspal.

Beberapa saat Mom duduk di sebelahku dan nadanya mendesah. Kupikir mungkin ia tidak berhasil menjual benang-benang wol itu, namun kata-katanya berbeda dari apa yang kukira. "Sungguh kasihan. Ia masih sanggup berjualan bunga dengan tongkat itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana usaha kerasnya itu. Kupikir aku harus memberinya lebih dari lima pence tadi."

"Tongkat?" tanyaku heran.

"Ya, ia menggunakan tongkat untuk menopang satu kakinya lagi. Padahal usianya masih cukup muda. Aku tidak terbayang apa yang bisa menyebabkannya seperti itu."

Tongkat, kataku dalam hati. Sekonyong-konyong gambaran pria itu yang ada dalam benakku berubah menjadi absurd dan digantikan dengan sesosok pemuda dengan satu kaki, sementara kakinya yang lain tampak menghilang dan digantikan dengan sebatang tongkat. Meskipun penggambaran itu terasa janggal dibenakku - karena aku jujur tidak bisa menggambarkannya secara tepat - aku tetap berusaha untuk menciptakan sosok yang terbaik yang bisa kubayangkan. Bagaimana bentuk tongkatnya? Bagaimana ia memegangnya? Bagaimana ia berjalan?

Namun di tengah kesibukan pikiranku yang terus menerus menyusun gambaran pria itu, aku disadarkan dengan sesuatu persis seperti apa yang dikatakan pria itu sepanjang ia berbicara tadi. Jadi seperti itu, kataku lirih. Sederet kesimpulan dari bayang-bayang katanya yang kuingat menyusun menjadi satu rangkaian kehidupan yang jelas. Ternyata keadaannya seperti itu, dan itu yang membatasi hidup dan dirinya namun tidak cukup berarti untuk membatasi mimpi-mimpinya sendiri. Ia masih berusaha untuk terus bersemangat menghadapi hidupnya. Satu kaki sepertinya tidak masalah, selama ia masih memiliki bunga-bunganya untuk dijual, setidaknya setiap hari ia masih bisa menikmati mataharinya dan hidup tanpa kesulitan yang cukup berarti.

Dan sepanjang sisa perjalan pulang itu, sosok si pria benar-benar tergambar kuat di benakku. Bahkan ketika malam ini, saat dua malam panjang sudah terlewati, aku masih bisa mendengar sedikit nada canda dan semangatnya. Apa yang menjadi alasanku begitu mengingatnya adalah lebih pada proyeksi diriku sendiri terhadapnya.

Kekurangan pada diri juga aku punya, dan ya, jelas itu sangat membatasi diriku. Tapi seperti apa yang dirasakan pria itu, aku juga tidak ingin hanya terduduk dan terus menerus mempersoalkan apa yang menjadi kekuranganku. Aku masih bisa menjalani hidupku dengan indah. Tapi lelucon konyol yang aku ingat, aku tidak bisa menanyakan apa-apa pada matahariku. Selain aku tidak pernah tau secara pasti di mana ia berada, aku juga tidak tahu apa fungsi dirinya selain memberi rasa terik hingga aku tak pernah serius menganggap keberadaannya. Bulat dan terang, itu penjelasan Mom. Bagaimana terang? Praktis aku tidak tahu. Apalagi perbedaan signifikan antara gelap dan terang yang sering diributkan orang-orang, aku bertanya-tanya dari dulu dan cukup lelah untuk tahu perbedaan keduanya.

Tapi apa yang terjadi pada diriku ini lebih kudefinisikan sebagai kelebihan. Aku punya kelebihan bahwa aku tidak perlu repot-repot menyalakan sebuah lampu untuk membaca. Aku punya kelebihan bahwa aku mampu berjalan turun menapaki tangga saat Mom mengeluhkan listrik tak kunjung menyala di tengah malam. Dan bahkan aku mampu mengenali kapan akan datangnya hujan hanya dengan merasa dan mencium aroma udara di sekelilingku. Aku tidak ingin melebih-lebihkan semuanya, hanya saja aku berpikir akan lebih baik jika aku melihat semua ini dari sudut pandang yang berbeda.

Beberapa saat aku terpikir lagi kejadian dua hari lalu itu. Apa pria itu juga tahu kalau aku sama tidak sempurnanya seperti dirinya? Aku tidak bisa menduga, dan sisa gambaran kejadian kemarin itu juga tidak menolong. Tapi sepanjang pengalamanku, orang-orang yang baru bertemu denganku tidak akan terlalu memperhatikan apa yang terjadi pada diriku, apalagi ketika aku tidak banyak berinteraksi dan hanya terduduk di sebuah kursi kayu. Mom selalu mengatakan kalau aku masih terlihat sempurna. Aku hanya bisa mengartikannya dan menghubungkannya dengan beberapa istilah yang kudengar dari dokter yang sering kukunjungi, mulai dari bentuk yang masih baik, retina yang masih terlihat, dan sesuatu seperti jaringan yang rusak, entah apa itu.

Sepanjang hidupku aku memang tidak tahu rupa dan bentuk segala apa pun yang ada di sekelilingku. Bagaimana rupaku sendiri, aku hanya mengandalkan jari-jariku saat menelusuri organ-organ tubuhku, yang akhirnya perlahan-lahan aku paham bagaimana bentuk diriku sesungguhnya. Defenisi bentuk benda lain pun hanya bisa kubayangkan dengan sentuhan tanganku. Mom tidak pernah lelahnya melatihku tentunya. Ia mendekatkan benda yang disebutnya bulat, dan kuartikan suatu bentuk yang menyatu di tanganku, dan sebuah kotak yang kurasakan ada sisi yang patah dan membelok saat tanganku menelusurinya.

Cara-cara sederhanaku untuk membayangkan keadaan di sekelilingku memang banyak menambah tingkat sensitifitas diriku. Latihan bertahun-tahun yang diterapkan ibu dan ahli terapiku sejak kecil membuat ku semakin mandiri dengan keadaanku ini. Aku tidak pernah mau mengeluh atau meributkan - atau yang lebih menyakitkan - menyalahkan siapa pun atas apa yang terjadi dalam diriku. Aku terus menerus bersyukur bahwa aku mempunyai kelebihan ini, selain untuk menciptakan suatu pandangan positif bagi diriku, ini juga sebagai ucapan terima kasih yang secara tidak langsung kuucapkan atas usaha Mom yang tidak pernah menyerah.

Ya, hidupku ini kurasa tidak jauh berbeda dengan hidup si pria itu, meskipun keterbatasan kami terletak pada sisi yang berbeda. Aku dapat melihat semangat hidupnya, dengan penekanan sungguh-sungguh pada mimpi yang ingin dicapainya. Dulu pada bagian mimpi ini aku tidak pernah terlalu serius untuk memikirkannya. Dengan mampu menjalani hidup seperti sekarang pun aku sudah jauh lebih bahagia. Tapi dengan sedikit kata-kata si pria tentang mimpi yang harus tetap dikejarnya, aku jadi berpikir kembali untuk memperhitungkannya.

Cita-cita ku sebagai penulis sudah mulai muncul dibenakku sejak aku berlatih membaca dengan huruf Braille. Mom yang pertama kali mencetuskan ide untuk pelatihan itu. Awalnya aku hanya menduga ini salah satu usaha Mom untuk menambah kemampuanku, dan aku cukup berterima kasih dengan cara menjalani pelatihan itu dengan segenap usahaku. Dan ternyata di sepanjang proses itu aku makin merasa bergairah. Aku menemukan suatu perasaan mengasyikan saat menelusuri deratan titik-titik yang menyembul pada kertas, mengenalnya sebagai kata-kata, dan akhirnya menjadi susunan kalimat dengan kisah-kisah indah di dalamnya.

Mom seperti sengaja - atau entah dengan alasan lain - selalu sibuk mencarikan buku-buku Braille dengan materi cerita dongeng atau kisah-kisah roman Eropa yang selalu membuatku terkesan. Dan buku yang sedang kutekuni sekarang ini adalah salah satunya. Bukan cerita yang cukup dramatis, tapi kembali membangkitkanku untuk menciptakan kisah-kisah roman yang serupa seperti ini. Betul kuakui bahwa sepanjang membaca buku-buku itulah yang menciptakan gambaran seorang penulis dalam diriku. Namun aku tidak pernah ingin mengakuinya pada siapa pun, bahkan Mom, hingga aku mengutarakannya pada pria penjual bunga itu. Aku cukup takut untuk menyadari bahwa kondisiku cukup menyulitkan untuk melakukannya, tanpa membuat Mom juga kerepotan.

Tapi apakah aku harus menyimpannya selama hidupku? Kata-kata si pria terngiang lagi, seolah mengingatkan bagaimana aku harus bersikap. Aku belum bisa memutuskan secara pasti, tapi aku berjanji akan memperhitungkannya. Bukan berarti aku akan memaksakan diri untuk berkutat menjadi penulis, namun aku akan berusaha untuk setidaknya menyimpan mimpi itu di sudut tidurku. Kurasa aku ingin membicarakannya dengan Mom. Mengenai kejadian dua hari kemarin itu, Mom tidak banyak tahu apa saja yang aku dan di pria itu bicarakan. Niatku untuk merahasiakannya, tapi biarlah, Mom harus tahu juga.

Ketika aku merasa jariku sudah tidak bergerak lagi di sepanjang halaman itu, aku memutuskan saatnya untuk berhenti melanjutkan kisah di buku ini. Aku meraba-raba mejaku sebentar, mencari pembatas bukuku, dan setelah menemukannya, kuselipkan di antara halaman buku itu. Kututup buku itu dan aku melipat tanganku di atas meja, menopangkan daguku di atasnya. Kurasakan angin lembab semakin dingin bertiup dari jendela. Dengungan kumbang sekarang ditambah dengan dengkuran katak yang terdengar di kejauhan.

Aku menengadahkan kepalaku, berpura-pura serius seolah aku bisa melihat bulan atau bintang di atas sana. Kubayangkan bentuk-bentuk terindah mereka. Aku selalu terkagum saat Mom menggambarkannya. Bulan itu ibarat dirimu, ia cantik, merona, dan selalu menyunggingkan senyumnya. Dan bintang-bintang, mereka seperti butir-butir pasir disekelilingmu yang melayang ketika kau menari di atasnya. Kau tahu Elly, bahkan kudengar bulan sempat cemburu padaku, karena aku lebih cinta pada satu cahaya lagi di rumah ini selain dirinya, ya itu dirimu.

Mom memang selalu pandai menghiburku. Aku sudah tidak tahu berapa banyak kata-kata indah yang ia ucapkan, antara tujuan untuk membesarkan hatiku, juga tak lain untuk menghibur dirinya. Aku tahu ia sudah menempuh usaha yang berat atas hidupku. Aku pun tidak ingin menyia-nyiakannya hanya dengan berpangku tangan pada keterbatasanku. Mungkin aku memang harus mulai serius untuk mempertimbangkan usahaku untuk menjadi seorang penulis besar. Aku mulai membayangkan kata-kata indah yang akan kutuangkan dalam tulisanku, kisah-kisah menakjubkan, dan dongeng-dongeng ajaib yang berlarian dalam imajinasiku. Ya, aku akan menulisnya. Aku akan berjanji pada diriku sendiri - tanpa sadar aku membayangkan si pria itu - bahwa tidak ada siapa pun yang mampu membuatku berjalan menuju mimpi itu jika bukan aku sendiri yang melakukannya.

Aku senang dengan semangat baruku.

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu. Aku menengok, menajamkan telinga, dan menyadari bahwa tidak ada sesuatu di sana. Tapi entah kenapa aku terbayang sesosok pria, dengan satu kaki dan tongkat, serta keranjang yang penuh bunga Primrose di dalamnya. Ia tersenyum, dan aku membalas senyumannya.

1 komentar: