Sabtu, 09 April 2011

Transisi Perubahan Gaya Bahasa dan Bacaan

lisDari hasil obrolan panjang lebar dan ngalor ngidul dengan Mia beberapa hari belakangan ini, baik topik film, novel, hot gosip, sampai tentang sikap ‘skeptic’ dan ‘subjective’ saya yang berkepanjangan,  saya menjadi tergelitik untuk membahas sedikit topik yang terus menerus mengendap di alam bawah sadar saya, yaitu tentang gaya penulisan. Ini juga dipicu dari beberapa komentar (sadis) Mia tentang cerpen yang beberapa hari lalu saya posting di sini.

Kita tengok sebentar yuk komennya, terutama bagian ini.
“Hahahha, gaya menulis dengan bahasa yang klasik formal, masih ciri khas lo ya.”

Nah, that’s the point. Komentar ini yang sedikit banyak memicu saya untuk berpikir dan membawa diri saya sampai terlempar ke masa beberapa tahun silam. Saya menjadi tertarik untuk membuka beberapa lembaran memori saya, dan bahkan sampai benar-benar membuka (dan mengubek-ubek) lemari saya untuk mencari karya tulis yang pernah saya buat saat jaman lampau.

(Sebenernya mau ngebahas apa sih, bang?? repot bener ngomong dari tadi!!)



Maksudnya adalah, saya ingin menelaah kembali proses yang membentuk gaya tulisan saya menjadi formal klasik seperti ini, sekaligus ingin membandingan perubahan-perubahan yang terjadi pada gaya penulisan saya. Nah, setelah berhasil menemukan tulisan lama saya dan membacanya kembali (sambil mesem2 gak jelas), ternyata saya menemukan sekelumit fakta bahwa gaya penulisan saya berubah-ubah sepanjang dengan materi bacaan yang saya baca saat itu. Bahasa ilmiahnya, saya terinvensi secara langsung dengan novel yang saya baca, baik dari gaya penulisan, cerita, dan cara berpikir.

Untuk mencerna apa yang saya jabarkan di atas, mari saya ajak sodara-sodara untuk mundur beberapa langkah mengikuti sejarah saya saat pertama kali mengenal dunia tulis-menulis-dan-ditulisi.

Saya mulai tahu dan membaca apa yang disebut dengan novel sejak saya masih duduk di bangku (sekitar) 5 SD. Ketika itu, saat anak-anak lain yang sebaya dengan saya mungkin sedang sibuk mengelap ingus-nya sambil baca majalah bobo, saya sibuk berkutat dengan novel (dewasa) Indonesia karya Zara Zettira, S Mara Gd, atau beberapa novel lain yang saya lupa siapa penulisnya. Tragis memang, dari kecil saja sudah kenal dengan cerita seperti itu, yang notabene mengandung unsur ‘dewasa’ dalam arti yang sebenarnya. Kalau ditanya lagi siapa yang meracuni saya, wah sumpah sampai saat ini pun saya tidak tahu siapa dalang di balik ini semua *sigh*.

(Mel, ingatkah dirimu pembicaraan kita hingga sampai ke topik novel dewasa itu? LoL)

Tapi untuk masa-masa itu, saya tekankan bahwa bukan berati saya mulai menulis cerita-cerita semacam itu ya. Please..enggak banget. Maksudnya saya hanya mengingatkan bahwa itu awal-awal saya mengenal novel.

Oke, lanjut ke era SMP di mana jerawat mulai merajalela dan gaya jaim2an ABG mulai menyebar di mana2. Nah, masa-masa ini saya mulai mengenal penulis bernama R. L. Stine dengan novel-novel bertajuk utama FearStreet dan Goosebumps-nya. Sederet novel FearStret bisa saya telan dalam sekejap (“OMG, ceritanya keren, gaya2 High School getooh”) atau pun bertumpuk Goosebumps bisa saya sikat dalam hitungan detik (“Gyaaa, iiih sumpah serem, bikin deg-degan”).
Selain novel tsb di atas, saat itu juga masa-masanya ketika komik Detektif Conan mulai menjadi hits di kalangan remaja, (untuk komik, maaf saya tidak bisa berbicara banyak karena saya bukan penggemar komik sejati), dan saya juga mau tidak mau terkena dampak emosional pada bocah berkaca mata itu.
Nah, inilah yang menjadi titik awal saya mengenal dengan istilah ‘menulis’. Pada tahap ini, ketika jiwa kepenulisan masih amatir dan hanya sekedar iseng-iseng-berhadiah, saya maupun partner saya (Mia) mulai berimajinasi secara liar dan mencoba untuk menuangkan apa yang ada di kepala ke dalam tulisan.
(Klo buat Mia gak tau sih kapan dia mulai dengan dunia tulis menulis. So CMIIW, ya)

Apa yang akhirnya kita tulis waktu itu? Tak lain tak bukan, cerita seputar mistery murderer gaya High School gitu dan seru-seruan bikin cerita detektif sambil maen tebak-tebak buah manggis. Haiyaaa, masih inget gimana rasanya sibuk nulis malem-malem, trus saling tuker cerita besok paginya sambil ketawa ketiwi bareng. Semampu saya menerawang kejadian pada masa itu, kira2 perbincangan yang terjadi adalah seperti ini,
“Ah, pasti pembunuhnya si ini, nih..”
“Hahaha…bener, bener-bener salah maksudnya…”
*tampang dongkol* “Oh, kalo gitu yang ini, nih. Kan soalnya begini…”
“Yeee… masih salah…”
“Dah, ah, nyerah deh…”
*wajah kemenangan berkobar*

Saat-saat ini lah peran R.L. Stine dan cerita-cerita detektif benar-benar terserap dalam diri saya. Sepanjang saya menulis cerita pada masa itu, saya selalu menghasilkan tulisan dengan gaya seperti R.L. Stine, lengkap dengan setting dan cerita seputar mistery murderer High School itu. Mungkinkah ini sebagai interpretasi dari rasa kekaguman saya saat itu, hingga mampu berakar kuat pada pikiran saya? Rasanya mungkin juga sih. Nah ini lah yang yang saya maksud sebagai salah satu awal proses pembentukan gaya penulisan saya.

Kembali pada karya tulis tempo dulu yang sudah  saya ubek-ubek, sudi kiranya kita menenggok sebentar untuk mengenang mereka.

(ini potongan naskah asli, tanpa proses editing)
==================================
Sidney berjalan terburu-buru di koridor menuju ruang olah raga. Ia akan berlatih basket dengan club-nya, Struelone Club. Ia membuka pintu ruang olah raga yang berat.

Mr.Corletty menatap Sidney dengan tajam. Di sampingnya ada seorang anak laki-laki bertubuh kecil. Anak itu tersenyum dan menatap Sidney dengan mata biru di balik kaca matanya.



Jack tidak memperdulikan Celine. Ia mengangkat tubuh James dan mendorongnya sekuat tenaga. James terhempas keras ke belakang.
PRAANG!! James menabrak lemari kaca. Ia terjatuh di sudut ruangan. Kaca matanya terpental. Lemari itu jatuh menimpa tubuh James, disusul dengan bunyi pecahan piagam-piagam yang berjatuhan. Tubuhnya tergencet lemari. Darah membanjiri lantai itu, membasahi tubuh James yang membisu. Diam tidak bergerak. Sidney dan teman-temannya ternganga tanpa bersuara.
==================================
(sumpah ngakak abis waktu baca ini).

Bisa dilihat kan, betapa aura FearStreet amat terpancar dari potongan cerita itu, terlepas dari teknik yang masih suka-suka-gue-aje. Adanya ruang olah raga, club, dan nama-nama Americanis-sok-gaulis itu yang menggambarkan suasa seperti yang umum ada di cerita-cerita FearStreet. Belum lagi gaya kalimat pendek lebay yang saya pakai, yang menjadi ciri khas bang Stine di novel-novelnya. Yah, inilah salah satu gaya penulisan yang pernah hinggap di hidup saya pada jaman itu, meskipun tidak berlangsung lama. Pasalnya, beberapa saat kemudian dunia FearStreet mulai saya tinggalkan, dan saya mulai meranah pada bacaan-bacaan lain.

Step ini berlanjut pada masa ketika Harry Potter sudah berhasil menyihir saya dengan Imperius Curse  (mungkin sekitar akhir SMP sampai menjelang SMU). Sejak saat itu, wingardium leviosa... semua tetek bengek bang Stine seolah diangkat pelan-pelan dari sumur subsconcious saya, dan entah dibuang ke mana. Plot cerita sihir mulai mengalir, tokoh Harry-wanna-be mulai berdatangan, bahasa ajaib mulai gatel di bibir. And of course, secara tidak langsung mengubah tatanan dan gaya bahasa saya dengan gaya yang lebih santai dan natural. Ya laksana si mbak Rowling itulah. Mau nengok lagi salah satu karya jadul saya? Monggo…

(ini juga potongan naskah asli, tanpa proses editing, di dalam tanda kurung itu komentar saya)
==================================
Daniel (look, even I used ‘Daniel’ for my character’s name, *gosh!!!*) sudah putus asa. Diletakkannya pensil itu. Lalu tiba-tiba di hadapannya muncul sebuah buku yang besar.

Buku itu sudah sangat tua. Sampulnya berwarna coklat dan sudah compang camping. (WTF??)  Di covernya tertulis suatu kalimat dg tinta berwarna perak. ‘Ventiona Od Lepiritus Oktanilus’. (mungkin ini nama ilmiah buat penyakit cacar uler)



Kemudian Daniel memberanikan diri membuka buku itu. Hanya halaman yang kosong. Tidak ada tulisan sedikitpun. Yang ada hanya tumpukan perkamen yang sudah usang.

Coba saja buku ini dapat membantuku untuk mengisi soal ini, pikir Daniel. Lalu tiba-tiba di halaman buku tersebut timbul sebuah titik tinta hitam. Tinta itu bergoyang-goyang dan membentuk dua buah kata dengan model huruf kuno.

Mata Daniel terbelalak melihatnya. Ia berusaha untuk membaca tulisan itu. “Viza Exvreta,” ucap Daniel pelan. (Visa gratis ke Hongkong?)
==================================

See, terasa magisnya kan suasana itu? Terasa aura Harpot gimanaaaa getoooh… Tapi tanpa bermaksud menunjukkan sifat sombong-akut-stadium-kronis, saya cukup bangga dengan suasana magis yang ciptakan itu *smug*. Kisah-kisah Harpot dan tulisan mbak Rowling cukup lama memberikan influence dalam penulisan saya. Banyak tulisan atau coretan ga jelas yang saya buat ketika mendapat inspirasi sekejap dalam masa-masa itu, namun seperti biasanya, bernasib tragis hingga tulisan itu hilang atau teronggok tak bernyawa. Sudahlah, lupakan saat-saat suram itu.

Next, kita melaju pada masa pertengahan SMU. (untuk serial harpot masih tetep berlanjut mengingat panjangnya proses ke 7 buku itu rilis)
Nah, di sini lah saat yang menarik buat saya. Dalam masa ini saya mulai mengenal bacaan yang lebih berbobot seperti novel karya Mary Higgins Clark, Agatha Christie, Alfred Hitchcock, dkk yang beberapa namanya sudah saya lupa (back to mistery murderer things). Mereka datang berbondong-bondong dan tanpa permisi untuk memberi inspirasi pada saya. Saya yang merasa tergugah dengan karya-karya beliau, merasakan kembali semangat dan aura pembunuh yang mengalir dalam diri saya. (Yeaahhh… Chucky’s style with his knife)
Dan hasilnya… yep, sebuah karya thriller pembunuhan hadir untuk mengisi hari-hari saya. Namun kalau saya perhatikan tulisan awal saya untuk karya yang satu ini, saya cenderung menggunakan gaya bahasa Agatha Christie. Mungkin karya eyank Christie ini begitu dominan dalam bacaan saya, mengingat jumlah novel yang saya baca lebih banyak ketimbang penulis lainnya. Mau dicek? Yuk mareee…

(again, ini potongan naskah asli, tanpa proses editing)
==================================
Little Lokeshire adalah desa yang kecil – persis seperti namanya. Dan kurasa tidak ada orang lain yang lebih baik dariku untuk menjelaskannya.



Kembali berbicara tentang Little Lokeshire, desa itu berkembang sebagaimana mestinya. Beberapa rumah tua masih terlihat dengan nama-nama yang berbeda. Mungkin mereka enggan untuk merubahnya dengan maksud kenangan dan semacamnya yang menurutku hanya hal yang sia-sia.

Di satu dua tempat terdapat kantor pos yang masih aktif dengan pekerjaannya. Beberapa toko makanan, barber shop, serta kantor polisi yang berada di ujung jalan.

Hari ini adalah hari Jumat dan merupakan hari yang buruk untuk permulaan bulan Desember. Salju sudah turun dari kemarin malam, dan sekarang sudah menumpuk di selusur jalan.

Seorang wanita tua sepertiku sudah seharusnya bersantai-santai di flatku yang mungil. Menikmati pagi yang dingin di depan perapian, meminum secangkir coklat panas, dan dengan asyiknya menonton berita pagi atau membaca koran, mungkin, tanpa harus terbebani pekerjaan.
==================================

Fiuuhh… berasa old banget gak sih ni cerita? Kesan Agatha-nya keliatan banget kan, mulai dari penggunaan istilah ‘desa’, nama yang berbau British, sampe tokoh seorang wanita tua yang hidup di era 80an. (wuihh, abis ikutan World War II tuh si nenek)

Inilah yang disebut dengan gaya enyank Christie yang terpendam jauh di otak saya. Apakah ini wujud rasa cinta saya juga sama si eyank? Bangettt!!! Kenapa? Karena, selain cerita novel-novel Agatha Christie mengangkat tema mistery murderer, novel tersebut juga menyajikan cerita detektif yang aduhaiii. Pertama, ada tokoh detektif bernama Hercule Poirot. Kedua, cara bercerita ttg Hercule Poirot yang menyelidiki kasus itu menarik banget. Ketiga, plot yang keren dan akhir yang mengejutkan. Nice!!!

Itulah kenapa saya lebih jatuh cinta dengan si Hercule Poirot ini dari pada si Sherlock Holmes, jagoan Sir Arthur Conan Doyle. Sekalian juga saya cerita bahwa saya membaca karya-karya Sir Arthur Conan Doyle jauh setelah saya mengenal enyank Christie. Maka dari itu, gaya-gaya Sir Arhtur – yang cenderung agak puitis dan lebih politis – kurang memberikan dampak dalam gaya penulisan saya. Dalam bahasa yang disederhanakan, ‘ribet baca cerita si pencandu heroin itu’.

Well, gaya penulisan seperti ini kayaknya masih berlanjut terus seiiring dengan hobi saya yang masih membaca cerita-cerita eyank Christie. Dan sepanjang masa itu (hingga masa kuliah), penulis-penulis  lain datang silih berganti dengan karya-karya ajaibnya yang membuat saya terpukau. Siapakah mereka? eng ing eng… eng… antara lain master Dan Brown, Sidney Sheldon, John Grisham, Paul Sussman, dsb yang namanya mungkin saya sudah lupakan. Wah, saat itu saya benar-benar kaya dengan kisah-kisah thriller, mistery, dan suspense. (bunuh sana, bunuh sini, yeah…bacok dia, ayo kita lari…).
Dan hal ini ternyata berimbas langsung pada diri saya lagi. Cerita-cerita old saya diruntuhkan, dirombak dengan bangunan-bangunan cerita yang lebih modern. Gaya bahasa saya juga sudah mengalami perubahan. Mungkin kalau boleh saya jelaskan – berdasarkan analisis manual terhadap karya saya sendiri – gaya bahasa yang saya gunakan kali ini seperti kawin silang antara struktur narasi formal Agatha Cristie, menggunakan teknik deskripsi ala Mary Higgins Clark, dan sedikit bumbu suspense dari Dan Brown. Bingung? Yah, sumpah saya juga bingung kalau disuruh jelasinnya. Masalahnya, ketika menulis, saya merasakan jiwa-jiwa tulisan mereka hadir di dalam diri saya saat itu.

Mari kita lihat tulisan saya di bawah ini. Ini masih cerita yang sama,  tapi sudah mengalami perombakan setting, tokoh, dan tata bahasa.

(yes, ini masih potongan naskah asli, tanpa proses editing)
==================================
Ashley Grisham memperlambat laju mobilnya, menyalakan lampu sen kiri, dan langsung membelokkan mobilnya ke jalan yang sedikit menanjak di Livorne Drive.

Pagi yang buruk! Katanya dalam hati.

Dengan mata tertuju pada jalan di depannya yang terselimuti salju tebal, Ashley mencoba mempertahankan mobilnya agar tetap berjalan di jalur yang benar. Lampu kabutnya menyorot tajam ke depan, namun tidak banyak membantu karena salju-salju itu terus saja menutupi kaca depannya, menyebabkan wiper-nya terus berdecit-decit meminta pertolongan.



Laberge, Martington, & Wearender adalah gedung panjang berlantai tiga, bergaya Eropa pada umumnya, dan bernuansa putih dengan beberapa penambahan ornamen berwarna coklat. Sebuah pintu kaca besar didirikan tepat di tengah gedungnya. Beberapa buah jendela berpelitur juga ditempatkan secara strategis di satu dua tempat dengan serambi kecilnya yang dibatasi dengan pilar-pilar batu melingkar.
Kemewahan gedung ini entah kenapa kadang menimbulkan kesan yang salah terhadap beberapa orang. Ashley ingat sekitar beberapa bulan yang lalu Laberge, Martington, & Wearender ditulis dalam sebuah artikel sebagai Kantor Pengacara Tersukses Dan Termahal. Entah kenapa kata termahal tercetak dengan huruf-huruf yang lebih besar, dan bahkan diberikan tag line ‘bawa koper uangmu dan semua masalah selesai’.
Sebuah paradoks umum yang selalu terbentuk dalam dunia pengacara, itulah kalimat yang diucapkan bos Ashley sendiri ketika pagi saat mereka membaca tag line itu di tengah sebuah rapat. Ashley mengganguk setuju meskipun hantinya meringis menghadapi kenyataan bahwa karir yang dikerjarnya selama hampir lima belas tahun ini hanya menjadi bahan gunjingan dari beberapa kaum skeptis.
==================================

Apakah terasa perbedaannya?
Kalau saya pribadi sih berasa. Entah yang lain merasakannya juga atau enggak. Perasaan saya yang merasakan perbedaan ini karena saya sendiri yang mengalami tahap-tahap perubahan gaya penulisan saya ini. Jika orang lain merasa biasa-biasa aja, it’s okelah, oe enggak maksa, yang penting lu olang seneng baca tulisan oe…

Kemudian ketika saya ditanya ‘eh, sekarang pake gaya bahasa siapa lo?’ Nah, saya sendiri juga gak akan bisa menjawabnya. Masalahnya, ketika proses penulisan waktu itu, saya mulai memupuk dan mengambil tata cara penulisan – yang menurut saya baik – dari penulis legendaris tsb, dan mencoba memasukkan gaya bahasa yang sekedar ada di pikiran saya, hingga menciptakan gaya bahasa saya sendiri seperti yang tersirat di potongan naskah di atas itu.
 Mungkin bayangan simple-nya, ibarat saya mengambil sebiji jambu dari eyank Christie, seiris mangga dari mbak Clark, sepotong nanas dari master Brown, dan saya racik dengan bumbu ulek  ala saya, hingga menghasilkan sepiring rujak yang nikmat menggirukan. Mau? Goceng…

Mungkin di taraf sini lah saya mulai menemukan gaya bahasa saya sendiri. Saya mulai menemukan cara yang asik untuk menyampaikan ide dan gagasan saya dalam cerita, tanpa terikat terus menerus pada penulis yang saya kagumi. Bukannya saya sok-sok menunjukan saya mampu menulis bagus dengan tata bahasa yang sempurna, loh. Saya cuma ingin menyampaikan bahwa saya berusaha menciptakan sesuatu yang sesuai dengan diri saya. Kekurangan? So pasti masih banyak, dan karena itulah saya terus belajar bagaimana menghasilkan tulisan yang baik dan benar.

Dan jika kembali pada bagian2 awal blog ini, di mana menyinggung gaya saya yang ‘formal klasik’, gaya bahasa yang saya gunakan ini mungkin (lagi) sedikit terpengaruh dengan nuansa bacaan yang sedang saya gandrungi sekarang ini. Apakah itu? *Mia buru2 ngangkat tangan mau jawab*
Betul!! Adult Romance…*big grin*

Sebenernya dulu saya adalah manusia skeptis terhadap cerita-cerita yang berbau romance. Kayaknya cuma wasting time ga jelas gimana gitu, ngebaca orang-orang main cinta-cintaan. Nah, awal saya mengenal cerita romance adalah ketika saya mengenal Twilight Saga yang mengisahkan si manusia vampir bak pualam itu. Ya, cerita itu nyaris membuat saya maho dan bertarung mati-matian dengan si Bella demi berebutan si E Cullen. *ROTFL* Tapi itu dulu, ketika saya dimabukkan dengan cerita romance dongeng yang cuma ada di alam mimpi itu.

Gak lama sesudah masa itu, hingga sampai sekarang, saya mulai mengumpulkan bacaan2 berbau romance, dan akhirnya cenderung pada tema adult (baik romance maupun tidak). Please, no teenlit… (skeptis again). Novel-novel itu antara lain karya Nicholas Evans, Joy Fielding, Nora Roberts, Jodi Picoult, Johanna Lindsey, Lavyrle Spencer, Nicholas Sparks, etc. Lihat, betapa beratnya bacaan saya saat ini. *D’oh!*

Nah, gaya-gaya bahasa merekalah yang akhirnya kembali terserap dalam diri saya. Tiga tersangka utamanya adalah Nicholas Evans, Lavyrle Spancer, dan Nicholas Sparks. Berkat usaha mereka, saya kembali terbuai dan terbawa dengan nuansa-nuasa formal, klasik, dan melankolis. Tapi sejauh ini saya belum menghasilkan tulisan (naskah novel) yang mengandung unsur adult romance atau yang semacamnya. Selain saya pendatang baru di dunia romansa ini, saya juga cukup kesulitan menentukan premis untuk cerita romance. Sumpah butek abis klo udah ngebahas cinta-cintaan.

Tapi akhirnya, meskipun hanya memasukkan unsur romance yang sedikit, saya mencoba menulis beberapa cerpen dengan gaya bahasa saya dan diolah dengan beberapa gaya si formal-klasik-melankolis-romance itu. Hasilnya bisa dilihat di beberapa cerpen saya yang sudah saya posting di blog ini, atau cerpen terkahir yang saya posting di sini.

Nah, pada akhirnya sampailah saya pada satu kesimpulan setelah saya menelaah proses penulisan saya. Ternyata tanpa saya sadar, saya menciptakan cara penuturan kisah yang berbeda dalam tulisan-tulisan saya. Mungkin – saya menilai sendiri – saya membedakan bagaimana cara saya menulis dan apa yang akan saya sajikan dalam tulisan saya, tergantung dari tema apa yang ingin saya usung. MIsalnya seperti ini, ketika saya ingin menulis sebuah kisah thriller, mistery, atau suspense, saya menghadirkan teknik cepat dan lugas, dengan memperhatikan pengaturan tempo narasinya. Tapi ketika saya ingin menulis suasana yang lebih soft, mungkin romance dan semacamnya, gaya bahasa saya bisa menyesuaikan diri menjadi lebih mengalun, berjalan pelan, melankolis, tapi tetap formal dan bersuansa klasik.

Saya tidak tahu apakah ini bisa dianggap sebagai kelebihan atau kekurangan. Bisa dikatakan sebagai kelebihan karena saya bisa masuk pada berbagai genre penulisan, tapi bisa dikatakan kekurangan karena terlihat seolah saya tidak punya pondasi pada gaya penulisan saya sendiri. Terserah yang menilai, apa pun komentar anda, saya saring untuk pembelajaran saya. Namanya juga manusia, pasti gak ada yang sempurna. Karena itu saya masih belajar dan belajar, keep writing!!!

Okelah kalo begituuh, sekian aja cuap-cuap saya kali ini. Mudah2an blog kali ini tidak terkesan sotoy karena ngebahas masalah tulis menulis. Saya cuma bercermin dari diri sendiri, bukan mengkritisi tentang gaya-gaya penulisan orang lain. Klo mau sharing2 atau berkomentar tentang dunia tulis menulis teman2 sekalian, monggo, silakan. Mudah-mudahan blog ini bisa menginspirasi anda untuk kembali mengangkat pena dan kembali menulis (alaah…kali ini sotoy beneran bahasanya).

*matiin komputer – lanjut tengkurep baca The Divide “Ya, Tuhan akhirnya ada part yang seru juga”*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar