Keputusan Ashley untuk terlibat dalam kasus Mrs.Faberson tidak banyak berpengaruh pada pekerjaannya sendiri.
Sebagaimana biasanya – seperti mesin yang sudah terprogram – ia menjalani tugasnya yang memang sudah menjadi keharusan. Pekerjaannya hari ini tidak banyak, hanya ada satu dua klien yang ditemuinya, dan menghadiri sebuah persidangan yang berbelit tentang kliennya yang entah bagaimana bisa dituduh sedang menggunakan marijuana.
Dengan enggan Ashley mau tidak mau mengakui bahwa pikirannya sempat berbentur beberapa kali antara masalah pekerjaannya dengan hal yang menyangkut Mrs.Faberson. Apa yang baru diketahui olehnya atau pun oleh Inspektur Bradford hanyalah baru sebagian kecil informasi saja, belum dapat menuntun mereka pada satu pemecahan pun.
“Begitulah. Aku tidak yakin kasus ini akan cepat selesai,” tutur Ashley pada Louina di ruang kerjanya. Ia baru saja selesai menceritakan apa yang menjadi perbincangannya kemarin dengan Inspektur Bradford.
Louina menanggapinya dengan serius dari belakang mejanya, “Aku sungguh tidak mengira kalau Mrs.Faberson seperti itu. Sepertinya aku juga tertarik dengan masalah ini.”
“Inspektur Bradford sendiri sepertinya belum dapat berbuat banyak. Tapi kemarin ia sempat mengatakan padaku, katanya ia mempunyai suatu petunjuk atau apalah itu. Hanya saja ia belum menceritakannya padaku.
“Petunjuk?” tanya Louina. Nadanya terdengar sangat tertarik, apalagi diiringi dengan perubahan rona wajanya dengan mata yang berkilat.
“Betul, meskipun aku belum tahu apa maksudnya.”
“Mungkinkah itu jejak-jejak si pelaku-atau sidik jarinya mungkin-yang tanpa sengaja tertinggal di sana?” tanya Louina sambil merapatkan dirinya ke meja dan duduk dengan dagu di atas tangannya.
“Entahlah. Itu juga yang terpikir olehku pertama kalinya. Tapi juga sepertinya tidak mungkin. Kalau memang petunjuk itu adalah sidik jari, potongan rambut, atau pun jejak kaki si pembunuh, mana mungkin Inpektur Bradford mengatakan bahwa ia tidak punya gambaran sedikit pun tentang si pelaku, mengingat petunjuk tersebut dapat menuntunnya dengan mudah.”
“Tapi aku punya satu teori lagi,” kata Ashley lagi. “Aku sendiri tidak tahu dugaan ini datang dari mana atau dengan dasar seperti apa. Mungkin saja itu bukan pertunjuk yang ditinggalkan si pelaku, melainkan diberikan oleh Mrs.Faberson sendiri – sebelum kematiannya.”
“Tapi apa itu mungkin? Si pembunuh tentu akan menyadari sebelumnya.”
Ashley menyahut dengan cepat, “Begini. Coba kau bayangkan seandainya kaulah si pembunuh itu. Apa yang akan kau lakukan setelah kau berhasil membunuh Mrs.Faberson? Apa mungkin kau akan menungguinya sampai ia benar-benar mati? Pasti kau akan segera pergi kan, mengingat keadaan dan situasi saat pembunuhan yang sangat menekan psikologis. Tapi bisa saja hal itu memang terjadi seandainya pembunuh itu seorang yang profesional, yang sudah terbiasa menghadapi hal-hal semacam itu. Dan yang menjadi pemikiranku – seandainya kalau itu memang terjadi – bisa saja Mrs.Faberson berpura-pura mati terlebih dahulu dalam kondisinya yang kritis, memastikan si pembunuh yang pergi, dan dengan sisa-sisa tenaganya ia meninggalkan petunjuk seadanya yang saat itu ia pikirkan.”
Louina sempat bergidik mendengar penjelasan Ashley. “Sangat mengerikan membayangkannya,” katanya.
“Ya, seperti yang kukatakan, itu hanya sekedar perkiraanku saja,” kata Ashley seraya mengangkat bahunya dengan enggan.
***
Sore itu Ashley menepati janjinya dengan Inspektur Bradford untuk menemuinya di Borkshill. Ia cukup senang dengan cuaca yang sudah agak membaik dari sebelumnya, meskipun tadi ia sempat dikesalkan dengan telepon genggamnya yang tertinggal di ruang kerjanya. Tapi untungnya Louina dengan terburu-buru mengantarkannya saat Ashley masih setengah jalan di lobi, hendak naik ke ruang kerjanya lagi sambil menggerutu. Ashley kemudian mengucapkan banyak terima kasih dan buru-buru lari ke mobilnya lagi.
Borkshill adalah salah satu kawasan yang cukup bergengsi di sebelah utara London. Kebanyakan yang tinggal di sana adalah para pengusaha-pengusaha kaya atau pedagang-pedagang asing yang menetap di Inggris. Rumah-rumah mereka sengaja dideretkan secara seragam, dengan gaya Victoria, dan beberapanya lebih didominasi oleh warna putih keabu-abuan.
Tidak begitu sulit untuk menemukan kediaman Mrs.Faberson di antara rumah-rumah yang ada di sana itu. Ashley langsung mengenalinya begitu melihat dua garis polisi berwarna kuning yang ditempelkan di pagar rumahnya, sementara mobil-mobil polisi masih terparkir di depannya.
Ashley langsung memarkirkan mobilnya tepat di samping salah satu mobil polisi itu dan beranjak menuju dua orang petugas polisi berseragam yang sedang berdiri di depan pagar. Salah satu petugas itu berbadan tinggi dan berkumis, sementara yang lainnya lagi lagi agak pendek dan lebih gemuk dari yang satunya. Mereka yang tadi terlihat sedang membicarakan sesuatu langsung menghentkan obrolan mereka dan memperhatikan Ashley.
“Selamat sore, Ma’am. Apa yang bisa kami bantu? Tapi kalau anda wartawan, maaf saja, untuk sementara kami tidak bisa mengizinkan anda untuk masuk ke sini,” kata petugas yang berkumis.
“Tidak. Aku bukan wartawan. Aku adalah teman Inspektur Bradford. Ia menyuruhku untuk datang ke sini. Mungkin ia sudah berpesan pada kalian,” sahut Ashley-persis seperti apa yang disuruh oleh Inspektur Bradford sebelumnya.
“Oh, ya, ya. Inspektur Bradford tadi sudah mengatakannya. Tentu kau ingat, kan, Morris?” kata petugas yang satunya lagi.
Petugas yang berkumis – yang ternyata bernama Morris –menganggukkan kepalanya dan menatap Ashley dengan wajah yang sedikit meminta maaf. Lalu katanya, “Tentu, tentu aku ingat. Tadi Inspektur Bradford sudah mengingatkan kami untuk mengizinkan anda masuk kalau anda sudah datang. Ia ada di dalam sekarang Aku akan mengantarkan anda kalau anda tidak merasa keberatan.”
“Sama sekali tidak,” balas Ashley sambil berlalu masuk melewati pagar yang dibukakan Morris.
Bangunan rumah Mrs.Faberson terletak agak menjorok ke dalam, jauh beberapa meter dari pagar di depannya. Di kanan kirinya terdapat taman berumput yang tertutup salju dengan sisi-sisinya yang ditanami pohon beech yang rapi. Tepat di tengahnya disediakan jalan setapak yang terbuat dari batu-batu persegi, langsung menuju ke beranda. Salju-salju di jalan setapak itu sangaja disingkirkan, sehingga menimbulkan gundukan-gundukan es dipinggirnya. Dari sini rumah itu terlihat menyenangkan, tidak menunjukkan bahwa suatu tragedi menyedihkan baru saja terjadi.
Beberapa polisi juga masih terlihat di sini. Satu dua orang sedang sibuk menyapukan sesuatu pada pegangan pintu atau jendela, dan yang lain sedang berjongkok di suatu tempat, memperhatikan sesuatu yang sepertinya sulit dilihat.
Di ruang tengah, Inspektur Bradford terlihat sedang berbicara dengan seorang pria setengah baya berstelan abu-abu dan seorang wanita muda. Pria itu dikenali segera oleh Ashley. Ia adalah Kolonel Reynolds dari Scotland Yard, kenalan Ashley juga yang tanpa sengaja dipertemukan dalam suatu kasus menyangkut kliennya – yang seingat Ashley – tentang perlindungan saksi yang melihat penembakan beruntun yang menewaskan dua orang petugas polisi.
“Ah, kau sudah datang rupanya,” kata Inspektur Bradford segera setelah melihat Ashley, memicu Kolonel Reynolds dan wanitu muda itu untuk melihat ke arahnya. Sementara itu Morris segera mengundurkan diri dan berlalu pergi ke tempat berjaganya tadi.
“Wah, lama tidak bertemu, Ashley,” sapa Kolonel Reynolds.
“Well, senang bertemu denganmu juga, Kolonel Reynolds, meskipun itu berarti ada di suatu kasus yang menyedihkan yang mempertemukan kita,” kata Ashley sambil tersenyum.
Kolonel Reynolds termasuk pria yang energik dan menyenangkan. Dengan sorot matanya yang bersemangat, serta badannya agak tinggi dan tegap, seolah menyamarkan usianya yang tidak muda lagi. Tapi sayangnya hal itu dibantah dengan kepalanya yang sudah membotak, menyisakan helai-helai rambut kelabu di sisi-sisinya.
“Ya, ya, aku juga berpikir seperti itu. Kenapa harus ada yang sesuatu yang tidak enak di balik pertemuan yang menyenangkan. Kadang-kadang aku sempat berpikir untuk mengadakan acara pesta kecil-kecilan – pesta koktail, atau acara minum teh mungkin – untuk sekedar bertemu taman-teman lama saja. Sepertinya menyenangkan untuk melupakan tugas-tugas yang berat ini,” gumam Kolonel Reynolds.
“Aku akan senang sekali kalau menerima undangan itu,” kata Ashley.
Inspektur Bradford kemudian mengambil alih pembicaraan. “Kenalkan, ini adalah putri Mrs.Faberson, Miss Diane Faberson,” kata Inspektur Bradford seraya menunjuk wanita muda yang tadi.
“Aku Ashley Grisham. Senang bisa mengenalmu,” kata Ashley sambil menyalami Diane Faberson yang wajahnya tersenyum samar.
Entah karena memang guncangan yang dialaminya, atau memang seperti itu, Ashley menangkap ada sesuatu yang gelap pada mata cekung Diane. Tubuhnya kurus dan tinggi, sama sekali tidak menarik untuk gadis seusianya. Wajahnya yang panjang, dengan dagunya yang sedikit mencuat, berwarna pucat dan tampak tidak sehat.
“Senang berkenalan dengan anda juga, Mrs. Grisham,” kata Diane pelan.
“Panggil aku Ashley saja,” kata Ashley. “Kedengarannya lebih enak.”
“Ashley ini adalah asistenku. Mungkin saja ia bisa sedikit membantu,” ujar Inspektur Bradford berbohong. Matanya sedikit melirik Kolonel Reynolds yang tampaknya keheranan, namun ia senang Kolonel Reynolds akhirnya tidak menanggapi apa-apa.
“Kuharap seperti itu,” kata Diane datar.
“Kau sudah tahu banyak tentang hal ini Ashley?” tanya Kolonel Reynolds.
“Tidak. Hanya sebatas informasi dari Inspektur Bradford. Untuk selebihnya aku belum tahu banyak.”
“Buruk. Memang buruk sekali,” kata Kolonel Reynolds. “Aku tidak tahu kenapa ada kasus serumit ini. Berdasarkan pengalamanku mungkin ini adalah hal yang paling aneh yang pernah kuhadapi. Ada seseorang dibunuh – tanpa sebab dan motif yang jelas – dan si pembunuh dengan hebatnya pergi tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Ya, ya, benar-benar suatu tantangan juga, benar begitu, kan, Charles?”
Inspektur Bradford mengangguk.
Diane yang tadi sempat terdiam kini berbicara lagi. “Well, inilah yang kuhadapi. Aku berharap banyak pada anda berdua, dan juga kau tentunya Ashley. Aku cukup senang akhirnya ada seorang wanita yang dilibatkan di sini, karena dari tadi aku hanya melihat polisi-polisi pria yang sepertinya – maaf kalau aku boleh mengatakannya – tidak kompeten. Lain dengan wanita. Kami tidak hanya berpikir secara logis dan rasional – karena itu pria-pria selalu terjebak – dan lagi hal ini sepertinya sangat sulit kalau selalu memikirkan mana yang masuk akal dan yang tidak. Kadang kami memakai emosi, perasaan, dan insting dalam berpikir – bukan begitu, Ashley? – dan bahkan menurutku itu sangat menolong.”
Ashley tersenyum. Ia tidak menyangka kalau wanita yang tadi dikiranya lemah dan tidak bersemangat bisa berbicara seperti itu. Kata-katanya ada sedikit benarnya walaupun agak menyinggung peranan Kolonel Reynolds dan Inspektur Bradford. Tapi untung saja mereka berdua sepertinya tidak menanggapi secara serius.
“Baiklah kalau begitu. Aku ingin mengajak Ashley untuk melihat tempat kejadiannya,” kata Inspektur Bradford.
“Kami ada di perpustakaan kalau kalian sudah selesai nanti,” sahut Kolonel Reynolds sambil berlalu pergi. Diane mengikutinya sambil sedikit berbicara pelan.
Ruang kerja Mrs.Faberson – tempat dimana ia melewatkan malam terakhirnya – berada di lantai dua, dan Ashley serta Inspektur Bradford harus melewati tangga melingkar untuk menuju ke sana. Koridor di lantai dua agak lebih gelap, mungkin karena efek dari lampu-lampu gantung yang redup dan karpet yang warnanya juga tidak banyak membantu, coklat tua dengan ornamen tambahannya yang merah gelap.
Ashley memasuki ruang kerja Mrs.Faberson sambil sedikit terkagum dalam hatinya. Ruangan ini seolah menunjukkan bahwa pemilik rumah ini adalah seorang yang berkelas. Kursi-kursi serta meja-meja berukir, baik yang besar maupun yang kecil, diletakkan di atas permadani tebal yang dibentangkan di seluruh lantai ruangan. Beberapa keramik dan perabotan antik yang tampaknya mahal, disusun rapi dalam sebuah lemari kaca besar pada salah satu sisi temboknya. Di sisi tembok lain terdapat lemari yang sama, hanya saja isinya deretan botol-botol wine yang masih tersegel. Sebuah meja tulis yang besar – dengan kursinya yang tinggi dan berlapis kulit – diletakkan persis di depan jendela, dilengkapi dengan lampu kristal tepat di atasnya. Beberapa foto serta lukisan yang eksotis meramaikan ruangan itu, seolah tidak ingin menyisakan bagian tembok yang kosong.
Sayangnya kesempurnaan ruangan itu dirusak oleh garis-garis kuning polisi yang ditempelkan di beberapa tempat. Di bawah dekat meja tulis terdapat plester-plester putih yang direkatkan sehingga membentuk satu sosok tubuh manusia yang sedang terbaring, dengan ceceran darah yang sudah mengering di dekatnya.
“Di sini Mrs.Faberson ditemukan meninggal,” kata Inspektur Bradford sambil menunjuk pola plester itu.
Ashley kemudian tertarik pada benda yang berada di dekat pola itu, di atas meja kecil dan diselipkan diantara lemari dan tembok dekat jendela, yakni sebuah brankas besi yang sudah terbuka dan kosong.
“Brankas itu...”
“Ya, kosong. Tidak tersisa sedikitpun,” kata Inspektur Bradford cepat. Lalu katanya lagi, “Kau lihat, sama sekali tidak ada kerusakan pada brankas itu, seperti goresan atau semacamnya yang menunjukkan pernah dibuka secara paksa. Apa yang dapat kau simpulkan dari itu, heh?”
“Ada dua kemungkinan,” tutur Ashley. “Tapi yang pasti keduanya itu jelas-jelas menunjukkan kalau Mrs.Faberson sendiri yang membuka brankas itu. Yang pertama, ada satu kemungkinan kalau Mrs.Faberson diancam oleh si pembunuh untuk membukanya, yang mau tidak mau harus dituruti oleh Mrs.Faberson. Sedangkan kemungkinan kedua yang kupikirkan adalah, mungkin saja brankas itu memang dibuka oleh kemauan Mrs.Faberson sendiri. Mungkin ia ingin mengambil sesuatu di brankas itu dan menunjukkan pada seseorang yang ternyata akan membunuhnya.
“Kalau memang kemungkinan kedua yang terjadi, berarti si pembunuh bukanlah orang luar yang datang mengendap-ngendap untuk merampok, melainkan orang yang dikenal Mrs.Faberson, atau setidak-tidaknya pernah diketahui olehnya. Pasti saat itu mereka sempat mengobrol. Membicarakan suatu hal yang akhirnya menyangkut tentang sesuatu yang ada di brankas itu. Mrs.Faberson akhirnya mengambil benda itu-tanpa menyadari bahwa orang yang diajaknya berbicara ternyata mempunyai niat jahat, dan kemudian terjadilah pembunuhan itu. Bagaimana menurutmu tentang ini Inspektur Bradford?”
“Bagus. Bagus sekali sekali. Itu juga persis seperti yang kupikirkan,” balas Inspektur Bradford.
Kemudian ia menambahkan.
“Dan kalau dilihat dari posisi korban yang terbaring dekat brankas ini, pasti si pembunuh langsung menikamnya begitu Mrs.Faberson berbalik untuk menunjukkan benda dari brankas itu. Dan kemudian si pembunuh pergi tanpa diketahui siapa pun.”
“Apa benar sama sekali tidak ditemukan jejaknya?”
Inspektur Bradford menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Si pembunuh sangat cerdik. Ia sama sekali tidak meninggalkan sidik jarinya di mana pun, bahkan di pisau yang menghabisi nyawa Mrs.Faberson. Lalu yang membuatku lebih setuju pada kesimpulan bahwa pembunuh itu adalah orang yang dikenal Mrs.Faberson adalah, bekas jejak kakinya sama sekali tidak ditemukan di taman, jendela, atau di mana pun itu. Melihat dari ini tentu saja aku berpendapat kalau si pembunuh masuk ke rumah ini melawati jalan setapak berbatu di depan. Kalau memang ia perampok yang tidak dikenal, tidak mungkin ia akan memilih jalan yang mencolok itu. Mungkin saja si pembunuh itu memang kenalan Mrs.Faberson yang datang ke sini dengan berpura-pura hanya sekedar bertamu saja.”
“Mungkin saja,”kata Ashley.
“Dan kalau boleh aku katakan, si pembunuh ini sangat beruntug karena tidak ada siapa pun di rumah ini selain Mrs.Faberson sendiri. Kesempatan yang sangat bagus sekali.”
“Kira-kira jam berapa Mrs.Faberson dibunuh?” tanya Ashley.
“Sekitar jam tujuh malam,” jawab Inspektur Bradford. “Lalu satu jam kemudian Mrs.Faberson ditemukan oleh anaknya itu. Diane Faberson.
“Gadis yang tadi itu, kan? Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa kalau ia itu gadis yang sangat dingin. Sepertinya orang-orang tidak akan begitu nyaman untuk berada di dekatnya.”
“Aku takut untuk menyetujui itu. Tapi sepertinya, ya. Dari kemarin ia sama sekali tidak banyak membantu. Memberikan keterangan hanya sebatas yang kami tanyakan, dan kadang-kadang ia malah seperti kebingungan untuk bicara apa. Satu hari ini ia terus mengeluh pada kami. Katanya kami ini tidak mampu, tidak bisa menyelesaikan masalah ini secepatnya. ‘Untuk apa aku membayar pajak mahal-mahal hanya untuk membayar perut kalian yang tidak ada guna itu,’ omelnya.”
Ashley baru kali ini melihat Inspektur Bradford menggerutu kesal.
“Memang apa saja yang sudah dikatakan Diane itu?” tanya Ashley.
“Tidak banyak. Ia mengatakan kalau,” Inspektur Bradford mengeluarkan buku kecil andalanya itu dan membacanya, “malam saat terjadinya pembunuhan itu, ia sedang menonton acara teater di Crenshaw.”
“Ada yang bisa membuktikannya?”
“Tidak, tidak ada yang bisa membuktikannya. Ia bilang kalau saat itu ia pergi menonton seorang diri meskipun kedengarannya tidak masuk akal. Menonton teater sendiri? –astaga – siapa yang akan percaya. Tapi sayangnya ia bisa membuktikannya sendiri dengan menjelaskan cerita dari teater itu secara detail. Kami sempat mencocokannya dengan penyelanggara teater itu, dan ternyata memang benar. Apa yang diceritakan Diane sesuai dengan jalan cerita teater itu.
“Tapi kami dapat keterangan lagi dari penyelenggara teater itu bahwa acaranya diputar sebanyak tiga kali, yaitu sejak dua hari sebelum Mrs.Faberson meninggal. Berdasarkan ini, mungkin saja Diane menonton acara yang diputar sebelumnya, tapi mengaku kalau ia menontonnya saat malam itu. Untuk hal ini lagi-lagi tidak ada yang memastikannya. Kau tahu apa jawaban Diane saat kutanyakan masalah ini? Dengan marahnya ia menjawab,’oh ya? Jadi kalian mencurigaiku? Baiklah, tangkap saja aku! Aku baru tahu kalau polisi-polisi Inggris tidak berpikir dengan otak mereka’. Ya, itulah. Aku sempat dibuat kesal dengan gadis itu.”
“Hanya itu?” tanya Ashley lagi.
“Selebihnya hanya pertanyaan biasa. Apa ibunya itu mempunyai musuh atau orang yang bermasalah dengannya, ia menjawab tidak. Dan apa ibunya juga pernah berurusan dengan hal-hal yang aneh, membeli sesuatu atau menjual sesuatu, dan ia juga menjawab tidak. Seperti itulah pernyataan yang diberikan Diane, tidak, tidak pernah, dan seterusnya.”
Ashley kemudian berjalan mendekati meja tulis besar. Di atasnya terdapat tumpukan-tumpukan kertas dan map-map besar yang berserakan, seperti seseorang telah mencari-cari sesuatu di sana secara terburu-buru.
“Apa tidak ada yang hilang selain barang-barang yang ada di brankas itu?” tanya Ashley.
“Tidak ada. Diane sudah memeriksa sebelumnya dan memang tidak ada. Katanya yang hilang hanya sejumlah besar uang di sana.”
Ashley menatap Inspektur Bradford dan menyadari sesuatu. Katanya, “Hilang dalam jumlah besar? Aku jadi ingat perkataan Mrs.Faberson tentang penggelapan uang terjadi padanya.”
“Kalau tentang masalah Mrs.Faberson yang menemuimu, aku belum membicarakannya dengan Diane. Mungkin lebih baik kau yang berbicara dengannya nanti.”
“Baiklah,” kata Ashley. Lalu ia menanyakan lagi, “Bagaimana dengan pelayannya itu? apa kau sudah dapat keterangan darinya?”
“Emily Rosslare,” kata Inspektur Bradford. “Ya, ia ada di sini sekarang. Keterangan yang kudapat darinya juga tidak banyak. Ia bukan tipe orang yang mudah berbicara. Kata-katanya kadang tersendat dan tampak takut-takut. Ia pasti merasa kalau dugaan para polisi pasti mengarah pada dirinya, karena itu ia berbicara dengan sangat hati-hati, selalu memuji bagaimana baiknya Mrs.Faberson padanya, atau betapa perhatiannya ia. Orang yang banyak menolong, katanya.”
“Tidak heran seperti itu. Bahkan kalau kau semakin memaksa untuk membongkar semua informasinya, ia pasti akan semakin menutupnya rapat-rapat. Tunggu saja, pasti informasi yang diperlukan akan keluar dengan sendirinya,” ujar Ashley.
Lalu ia menyambung lagi, “Aku jadi teringat tentang yang kau bicarakan kemarin, mengenai petunjuk kalau tidak salah.”
“Oh itu, ya benar, aku belum mengatakannya padamu. Aku masih bingung dengan yang satu itu. Belum aku dapatkan maksud dari petunjuk itu. Ya, petunjuk itu sengaja ditinggalkan oleh Mrs.Faberson sendiri.”
“Jadi itu pesan sebelum kematiannya,” kata Ashley puas. Ternyata apa yang diduga sebelumnya itu benar. “Apa isi dari petunjuk itu?”
Inspektur Bradford mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan memberikannya pada Ashley. Ternyata beberapa lembar foto. Ashley sempat merasa hatinya berdesir saat melihat foto yang pertama. Mrs.Faberson ada di sana, terbaring dengan gagang pisau yang mencuat dari dadanya. Tapi Ashley menangkap sesuatu yang ada di foto itu, Mrs.Faberson sedang memegang sesuatu dan di dekatnya tergeletak sebuah gagang telepon.
“Apa ini?” tanya Ashley.
“Itulah. Coba kau lihat pada foto yang berikutnya. Di sana lebih jelas,” kata Inspektur Bradford.
Foto yang kedua ternyata memang difokuskan pada lengan Mrs.Faberson, diambil dengan jarak yang lebih dekat. Ashley kini bisa melihat lebih jelas apa yang digenggam Mrs.Faberson, sebuah robekan koran. Sedangkan foto yang ketiga sengaja memfokuskan pada gagang telepon yang ada di dekat Mrs.Faberson. Ashley mendapati kalau tiga buah dari tombol yang berada di gagang telepon itu – empat, enam, dan sembilan – terdapat bercak darah yang sudah menghitam.
“Mengerikan,” gumam Ashley. “Apa arti dari semua ini?”
“Belum tahu. Robekan koran yang dipegangnya itu dari halaman Daily Werth, yang sepertinya diambil dari sini,” kata Inspektur Bradford sambil menunjukkan sebuah rak kecil yang berada di bawah meja brankas, persis dekat dengan pola plester yang ada di lantai. “Sebelumnya di sini ada beberapa tumpukan koran, masih baru, dan tanggal yang paling lama sekitar bulan November. Semuanya itu sudah diambil untuk pemeriksaan. Dan angka itu sepertinya sengaja diberikan noda darah oleh Mrs.Faberson sendiri, sesuai dengan sidik jarinya. Empat, enam, dan sembilan. Entah apa maksudnya itu.”
“Mungkin saja maksud Mrs.Faberson adalah untuk mencocokkan angka dengan koran yang ada di sana itu,” terka Ashley.
“Ya itu sudah kulakukan. Yang pertama kupikir mungkin itu menunjukkan halaman, tapi sepertinya tidak mungkin karena tidak ada halaman empat ratus enam puluh sembilan. Tapi mungkin saja empat yang pertama itu menunjukkan halaman dan yang berikutnya menunjukkan baris atau kolom dari suatu artikel di halaman itu. Namun setelah semua koran itu diperiksa, tidak ada maksud yang jelas dari semuanya.
“Lalu aku berpikir lagi, mungkin saja yang dimaksud Mrs.Faberson hanya robekan koran yang dipegangnya. Aku mencoba menghubungkannya lagi, mulai dari kata yang ke empat, atau enam, atau sembilan pada baris-baris tertentu sesuai dengan angka itu juga. Hasilnya tidak ada. Kemudian aku mencoba lagi dengan mengambil empat, enam, atau sembilan huruf dengan jarak masing-masing sesuai dengan angka itu juga, dan tetap saja tidak menunjukkan arti tertentu. Banyak perhitungan lain yang sudah kulakukan tapi hasilnya tetap sama saja.”
Ashley berkata pelan sambil tetap memperhatikan foto-foto di tangannya. “Tapi kalau kupikir-pikir rasanya tidak mungkin dengan cara yang seperti itu. Coba kau bayangkan, apa mungkin Mrs.Faberson mencari-cari suatu kata, menghitung huruf-hurufnya, atau seterusnya itu, saat ia terdesak di tengah keadaannya yang kritis? Mungkin cara yang lebih mudah adalah dengan membayangkan apa yang terjadi saat itu dan apa yang diinginkan oleh Mrs.Faberson.”
Ia kemudian memperhatikan foto yang pertama lagi, lalu berkata, “Kalau dilihat dari sini, mungkin yang terjadi persis seperti yang tadi sudah kita bicarakan. Mrs.Faberson dibunuh tepat saat ia berbalik untuk menunjukkan sesuatu yang ada di brankas itu, tapi kita juga masih berpendapat mungkin Mrs.Faberson diancam saat itu. Lalu sebelum kematiannya, Mrs.Faberson berpikir untuk meninggalkan sesuatu dan menurutku Mrs.Faberson cukup pintar untuk hal yang satu ini.
“Kau tentu tahu bagaimana reaksi seseorang apabila tiba-tiba dirinya terkena tikaman. Ya, orang itu akan terhuyung-huyung dan Mrs.Faberson memanfaatkannya dengan hebat. Mungkin dengan lemahnya ia mendekati meja tulisnya dan menarik teleponnya hingga terjatuh seolah-olah itu hanya tindakannya yang wajar. Dan tanpa disadari si pembunuh, Mrs.Faberson menempelkan darahnya pada tombol-tombol itu, yang dilakukannya secara berpura-pura untuk meraba atau mencari-cari sesuatu untuk perlawanannya. Lalu karena kondisinya yang semakin melemah, ia kemudian menyeret dirinya mendekati tumpukan koran – sebagai tindakan seolah menjauhi si pembunuh – dan merobek selembar koran di sana, yang mungkin saja sambil mengerang karena kesakitan.
“Semua itu dilakukannya dengan penuh perhitungan agar si pembunuh tidak menyadarinya. Akan repot urusannya kalau si pembunuh tahu dan menghapusnya. Dan kali ini Mrs.Faberson berhasil. Si pembunuh pergi meninggalkan Mrs.Faberson yang sudah tergeletak, dengan sebelumnya mengambil semua barang-barang yang ada di brankas itu.”
“Ya, semuanya logis dan masuk akal, ” kata Inspektur Bradford menyetujui.
Kemudian Ashley bertutur lagi, “Nah, dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa petunjuk koran yang dimaksud Mrs.Faberson tidak hanya terpaku pada semua koran-koran yang ada di sana, mengingat ia mengambilnya secara acak dan tidak melihat-lihat lagi. Bagimana kalau kau berfokus pada angka itu dan mengaitkannya dengan Daily Werth, yang kemungkinannya tidak hanya ada pada tumpukan koran-koran itu. Dari angka-angkanya, bisa saja itu menunjukkan tanggal, bukan? Tanggal bisa lebih diingat dengan mudah oleh Mrs.Faberson.”
“Tunggu, berarti mungkin saja yang dimaksud itu Daily Werth yang terbit pada tanggal, bulan, atau – tidak, tidak, sepertinya bulan lebih cocok – ya, bulan dan tahun. Itu lebih bisa menunjukkannya, kan, karena kalau itu berarti tanggal, bulan, dan tahun, maka angka itu harus dipecah menjadi tiga, dan angka yang menunjukkan tahun akan menjadi tidak jelas. Coba aku pikir sebentar, mungkin saja itu bulan April tahun 1969. Tapi kalau angka-angka itu diacak lagi akan ada banyak kemungkinan.”
Inspektur Bradford kemudian mengeluarkan penanya dan menulis sesuatu dengan cepat di buku kecilnya.
“Ada enam kemungkinan,” katanya. “Bisa saja April 1969, April 1996, Juni 1949, Juni 1994, September 1946, atau September 1964. Mungkin diantaranya ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh Mrs.Faberson. Besok aku akan memeriksanya lagi.”
“Well, selamat bekerja keras kalau begitu,” goda Ashley.
“Oh ya, ada satu hal lagi. Seperti yang kau katakan kemarin, ternyata dokter pribadi dan pengacara Mrs.Faberson memang benar-benar ada. Diane yang memberitahu padaku. Dokter itu bernama Harris Gordon. Sedangkan pengacaranya bernama Denis Rogan,” tutur Inspektur Bradford.
“Hmm, menarik. Sayangnya aku belum pernah mendengar nama Denis Rogan selama aku menjadi pengacara.”
“Aku belum mendapatkan keterangan apa-apa dari mereka berdua. Harris Gordon belum bisa ditemui. Ia sedang berada di Keningston untuk mengurusi pasiennya yang menjalani operasi atau yang semacamnya itulah. Katanya ia baru bisa datang besok pagi. Sedangkan Denis Rogan baru bisa ditemui sore ini. Ia bilang sedang ada beberapa urusan di Hastings. Entah apa itu.”
Kemudian ketukan di pintu mengalihkan mereka berdua. Morris – si petugas yang berjaga di depan tadi – yang mengetuknya.
“Maaf, Sir. Kolonel Reynolds menyuruhku untuk memanggil anda. Denis Rogan sudah datang. Sekarang ia sedang berada di perpustakaan bersama yang lainnya,” katanya.
“Baik. Terima kasih, Morris,” balas Inspektur Bradford. Kemudian Morris berbalik pergi.
“Ayo Ashley, kita temui mereka. Berharap saja Denis ini setidaknya bisa membantu,”
“Aku selalu berharap seperti itu,” sahut Ashley enteng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar