Minggu, 03 April 2011

Murderer From The Past : Bab 3

“Jangan bercanda,” kata Inspektur Bradford. “Aku sama sekali tidak mengenal Mrs.Faberson.”

Ashley terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.

“Tapi,” akhirnya Ashley berkata, “tadi Mrs.Faberson mengatakan kalau ia teman dekatmu. Dan kaulah yang mengenalkannya padaku. Kau menyuruhnya datang padaku, kan?”

“Bagaimana mungkin aku menyuruhnya datang padamu. Aku saja sama sekali belum pernah menemuinya.,” tukas Inspektur Bradford.

“Aku masih ingat apa yang ia katakan padaku, Inspektur Bradford. Dengan jelas ia mengatakan kalau ia mengenalmu lewat sebuah tur perjalanan ke Roma beberapa tahun lalu. Saat ini ia sedang tertimpa banyak masalah, dan kaulah yang menyuruhnya datang padaku untuk membantunya menyelesaikan masalah itu,” tutur Ashley.

“Oh ya? Sayang sekali Ashley, aku sama sekali tidak pernah ke Roma, atau ke mana pun untuk mengenal seorang wanita yang bernama Mrs.Faberson.”

“Ia sendiri yang mengatakannya padaku, tadi pagi,” sahut Ashley.

Inpektur Bradford melanjutkan dengan pertanyaannya. “Tadi pagi? Kau bertemu dengannya langsung?”

“Ya.”

“Kau tahu, aku memang yang menangani kasus ini. Mungkin kita bisa bertemu untuk membicarakan ini. Aku perlu banyak informasi tentang wanita itu,” ujar Inspektur Bradford.

“Yang kupunya tidak banyak, hanya mungkin bisa sedikit membantu.”

“Baiklah. Aku harap kau tidak keberatan untuk menemuiku besok sore. Di tempat biasa saja kalau kau bisa,” kata Inspektur Bradford.

“Yeah, aku bisa. Aku juga ingin memperjelas masalah ini,” balas Ashley, setelah itu ia menutup teleponnya.

***

Pagi-pagi sekali Ashley sudah berada di kantornya. Jawaban Inspektur Bradford kemarin malam masih terngiang jelas di kepalaya. Ia menjadi semakin bingung saja. Apa sebenarnya tujuan Mrs.Faberson  membohongi Ashley? Untuk apa ia susah-susah mengarang cerita bahwa ia mengenal Inspektur Bradford? Biarpun ia tidak mengenal Inspektur Bradford, Ashley tetap akan menerima sebagai kliennya. Entah apa yang ada di pikiran Mrs.Faberson itu.

Pukul tujuh tepat pintu ruang kerja Ashley terbuka dan Louina masuk dengan wajah penuh tanda tanya. Mungkin ia terkejut dengan kedatangan Ashley sepagi ini.

“Pagi sekali. Tak biasanya,” katanya saraya membuka mantelnya yang berat dan menggantungkannya.

“Begitulah,” balas Ashley datar.

Louina berjalan menuju mejanya di pojok dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya – sebuah koran.

“Ini,” katanya sambil menyodorkan koran itu. “Ada berita yang cukup mengejutkan.”

Ashley mengambil koran itu dari Louina. Daily Werth tertulis besar-besar di halaman depannya, yang menunjukkan nama perusahaan yang menerbitkan koran itu. Di sudut bawah kirinya terdapat kotak kecil dengan tulisan artikel yang menurut Louina sebagai ‘berita yang cukup mengejutkan’.

WANITA KAYA TERBUNUH,
TEWAS DITIKAM

Annie Faberson (48 ) – pemilik perusahan berlian – baru saja ditemukan tewas di kediamannya – Brokshill, London – pada pukul 20.05, Jumat malam kemarin. Menurut ahli forensik, korban meninggal akibat luka tusukan sedalam lima belas sentimeter, tepat di dadanya.

Anak korban – Diane Faberson (21 ) – memberikan pernyataannya saat ia menemukan korban. “Waktu itu aku baru saja pulang sehabis menonton acara teater, dan bermaksud untuk menemui ibuku. Tapi ternyata aku sudah menemukannya tergeletak dengan bersimbah darah,” tuturnya.

Sampai saat ini pihak polisi masih belum banyak memberikan keterangan. Meskipun belum menemukan petunjuk yang berarti, polisi yang menangani kasus ini – Inspektur Charles Bradford – menegaskan bahwa penyelidikan masih akan terus dilakukan.

“Untuk sementara kami belum menemukan motif pembunuhannya,” katanya pada wartawan. “Tapi kami akan terus bertindak cepat untuk menghindari meluasnya kasus ini.”

Selesai membaca berita itu, Ashley melipat korannya dan memberikannya pada Louina. “Aku sudah mengetahuinya,” katanya muram.

“Oh, ya? Kupikir ini pasti akan mengejutkanmu.”

“Aku memang terkejut waktu pertama kali mendengarnya. Rasanya tidak percaya,” ujar Ashley.

“Karena itulah aku membeli koran ini,” kata Louina sambil membuka-buka koran itu lagi. “Dari mana kau mendengarnya?”

“Kemarin. Dari berita malam,” jawab Ashley.

“Aku sangat yakin kalau kau pasti sudah menebak-nebak apa yang menjadi penyebab terbunuhnya Mrs.Faberson,” tutur Louina.

“Ya,” kata Ashley. “Beberapa hal memang sudah sempat melintas di pikiranku. Dari permasalahannya yang ia ceritakan kemarin, aku mendapatkan satu dua kesimpulan yang menurutku sangat mungkin untuk memicu suatu tindak pembunuhan.”

“Pertama,” kata Ashley lagi. “Berdasarkan ceritanya kemarin tentang penggelapan uang, mungkin saja apa yang dikatakan pengacaranya itu benar. Bisa saja dokter itu memang mempunyai maksud jahat, dan Mrs.Faberson mempercayainya. Dokter itu tentu akan mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya, dan orang bodoh sekalipun tahu apa yang akan dilakukannya. Ya, dokter itu membunuh Mrs.Faberson agar kejahatannya tidak terbongkar, dan mungkin saja sekarang ia sedang sedang memikirkan cara untuk melenyapkan pengacara itu juga.”

Louina mengangguk setuju. Katanya, “Tapi bagaimana kalau pengacara itulah yang berada di balik semua ini?”

“Itulah yang menjadi pemikiranku yang kedua. Mungkin saja memang ialah yang membunuh Mrs.Faberson, persis seperti apa yang kita bicarakan tadi.”

“Lalu,” Ashley melanjutkan, “dugaanku yang lain adalah, bagaimana kalau ternyata dokter dan pengacara itu bersekongkol? Mereka bersepakat untuk menguras uang Mrs.Faberson dan menghabisinya.”

Louina memainkan bola matanya sambil berkomentar, “Itu juga masuk akal kalau menurutku.”

“Selain itu Mrs.Faberson juga menceritakan tentang suaminya yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Aku menduga – meskipun  terdengar gila – jangan-jangan kematian suaminya hanya kebohongan Mrs.Faberson. Bagaimana kalau suami Mrs.Faberson masih hidup, bersekongkol dengan salah satu dari mereka, dan  kemudian membunuhnya.”

“Itu terlalu jauh,” kata Louina diiringi dengan menggelengkan kepalanya. “Lagi pula kenapa Mrs.Faberson harus berbohong? Apa untungnya buat dia?”

“Mungkin saja. Toh kalau memang benar, itu bukanlah kebohongannya yang pertama,” jawab Ashley. “Kau tahu, ia datang padaku bukan karena saran Inspektur Bradford. Kemarin aku meneleponnya. Apa yang dikatakan Inspektur Bradford sangat mengejutkanku. Ia sama sekali tidak mengenal Mrs.Faberson, apalagi menjadi sahabatnya.”

“Oh, ya? Untuk apa dia berbuat seperti itu?” tanya Louina.

“Entahlah. Mungkin saja Mrs.Faberson ingin menutupi sesuatu yang tidak ingin diketahui siapa pun.”

Ashley memang tidak bisa mengungkapkannya secara pasti. Segala sesuatunya belum jelas dan tidak dapat dipastikan hanya dengan dugaan. Semua faktanya masih terpotong-potong, belum bisa disusun seperti sebagaimana seharusnya.

“Kalau menurutku,” Louina berpendapat, “mungkin saja Mrs.Faberson mempunyai suatu hubungan dengan orang lain, yang entah karena asalannya apa, mereka terlibat dalam suatu masalah yang rumit. Mereka saling merasa terancam dan berusaha untuk menghabisi satu sama lain.”

“Kau menyimpulkannya berdasarkan apa?” tanya Ashley sambil mengangkat alis.

“Well, hanya tebakanku. Tidak lebih.”

“Aku jadi takut kau tahu,” kata Ashley. “Biasanya pemikiran-pemikiranmu selalu benar. Kalau seperti ini aku yakin pekerjaan Inspektur Bradford akan sangat berat.”

***

Ashley merasa beruntung hari ini klien-klien yang harus ditemuinya tidak banyak. Saat ia meninggalkan kantornya, hari masih belum terlalu sore, sehingga ia memutuskan untuk datang lebih cepat ke tempat pertemuannya dengan Inspektur Bradford.

Mereka akan bertemu di Gove Yach, sebuah tempat minum kecil bergaya Itali yang letaknya hanya berbeda beberapa blok dari kantor Ashley. Bangunan Gove Yach dipenuhi dengan nuansa coklat. Kaca-kacanya yang mengkilap dihiasi dengan barisan pot-pot tanaman di bawahnya. Papan namanya yang agak menjorok ke depan – dengan gambar cangkir dan poci yang besar – sengaja diberi lampu warna-warni yang cerah.

Begitu memasuki ruangan Gove Yach yang berbentuk persegi, Ashley langsung melihat sekelilingnya, memastikan apakah Inspektur Bradford sudah datang atau belum. Tidak sulit untuk mengetahuinya. Di jam-jam seperti ini hanya sedikit orang yang memenuhi meja di Gove Yach.

Di tengah-tengah ruangan – di meja yang paling besar – duduk segerombolan pria setengah baya yang sepertinya sedang mengadakan acara pertemuan. Di sisi ruangan sebelah kanan, seorang pria terlihat sedang berbicara dengan si bartender yang sedang menuangkan minuman ke cangkir-cangkir kecil. Satu dua kali mereka saling tertawa. Sisanya hanya beberapa orang yang datang untuk sekedar menghangatkan diri dari cuaca yang buruk.

Ashley memutuskan untuk duduk di meja kecil di sisi yang berseberangan dengan meja bartender. Meja itu hanya dilengkapi dengan dua buah kursi empuk. Seorang pelayan wanita langsung menghampirinya sembari membawa daftar menu.

“Ingin memesan sekarang?” tanyanya ramah.

“Ya, kopi panas saja dulu. Aku sedang menunggu seseorang,” kata Ashley. Pelayan itu langsung mencatat di buku kecil dan berbalik pergi.

Inspektur Bradford baru tiba ketika Ashley hampir menghabiskan kopinya. Inspektur Bradford adalah pria tinggi besar dengan rahangnya yang terlihat kuat dan kekar. Hidungnya yang sedikit bengkok bertengger di atas kumis kelabunya yang lebat, sesuai dengan rambutnya yang sudah memutih di sana sini. Matanya sedikit cekung dan pelipisnya tebal menonjol.

“Sudah menunggu rupanya,” kata Inspektur Bradford sambil menarik kursi di seberang Ashley, duduk, dan memesan segelas wisky pada pelayan yang menghampirinya.

“Ya, pekerjanku hari ini tidak banyak,” tutur Ashley. “Jadi aku bisa datang lebih awal.”

“Sayangnya aku tidak seperti itu. Pekerjaanku, kau tahu, menumpuk seperti tidak pernah selesai. Apalagi ditambah dengan kasus yang baru saja terjadi kemarin, si Mrs.Faberson itu,” ujar Inspektur Bradford sambil sedikit mendesah. Garis-garis di wajahnya menunjukkan apa yang sedang dirasakannya. Menjalankan tugasnya dalam kapasitas seorang polisi.

“Itu juga yang ingin ku bicarakan denganmu,” sambung Inspektur Bradford lagi. “Kau bilang kalau Mrs.Faberson mengenalku dengan baik. Teman lama, heh?”

Si pelayan datang ke meja mereka dan memberikan segelas wisky pada Inspektur Bradford, yang buru-buru diminumnya.

“Ya, ia mengatakannya begitu. Sangat jelas.”

“Apa saja yang dikatakannya?” tuntut Inspektur Bradford.

“Seperti apa yang kukatakan kemarin di telepon, Mrs.Faberson mengaku kalau ia mengenalmu saat mengikuti tur ke Roma. Kalau aku tidak salah ingat sekitar empat tahun yang lalu. Ia bilang kalau kalian adalah sahabat baik. Yang kutahu ia sangat mengagumimu,” jelas Ashley sambil menyunggingkan senyum tipisnya.

Inpektur Bradford tidak langsung menjawab. Ia berpikir sebentar sambil menggosok-gosokkan hidungnya. Kemudian ia mengatakan, “Aku sungguh tidak mengenalnya. Aku dapat memastikannya karena aku sama sekali tidak pernah ke Roma. Itu yang menjadi poin besar dari kebenaranku, kan.”

Ashley tampak biasa mendengarnya. Ia tahu Inspektur Bradford tidak mungkin salah mengenali orang, mengingat profesinya itu.

“Kalau memang seperti itu, akan muncul suatu tanda tanya besar untukku. Untuk apa Mrs.Faberson mengaku mengenalmu?” tanya Ashley.

“Entahlah. Aku belum dapat memastikannya saat ini. Tapi mungkin saja ia mencari-cari alasan untuk menemuimu,” jawab Inspektur Bradford.

“Itu akan terlalu beresiko, kalau menurutku,” tutur Ashley. “Bagaimana kalau sebenarnya aku tidak mengenalmu,dan Mrs.Faberson mengaku bahwa ia datang karena kau yang menyuruhnya. Tentu sangat ganjil, kan. Dan satu hal lagi yang aneh. Kalau kau memang tidak mengenal Mrs.Faberson, dari mana Mrs.Faberson bisa mengenalmu?”

Dampak dari kata-kata Ashley menimbulkan efek yang dramatis pada Inspektur Bradford. Dari wajahnya terlihat kalau ia sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin saja ia sedang merasa bimbang akan apa yang sedang ia pikirkan. Ashley tidak bisa menebaknya saat ini.

“Tapi bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu, Inpektur Bradford. Hanya saja aku merasa aneh kalau ini disebut sebagai suatu kebetulan,” kata Ashley lagi.

Inspektur Bradford mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Aku belum berpikir tentang hal itu sebelumnya,” katanya penuh kekecewaan.

“Dalam pemikiranku, aku sudah menebak-nebak apa kira-kira yang berada di balik semua ini – hanya perkiraan saja – berdasarkan cerita Mrs.Faberson kemarin,” kata Ashley.

“Memang apa saja yang diceritakan Mrs.Faberson padamu?” tanya Inspektur Bradford.

Ashley sempat ragu untuk menceritakannya. Ia ingat pesan Mrs.Faberson bahwa apa yang mereka bicarakan kemarin adalah rahasia mereka berdua. Tapi di sisi yang lain Ashley merasa kalau menutupi fakta yang ada tidak akan menyelesaikan apapun. Ia akhirnya berpihak pada sisi itu.

“Ia bercerita tentang masalahnya akhir-akhir ini yang sangat rumit. Sebenarnya apa yang ia butuhkan dariku hanya hal yang sederhana. Tapi sayangnya ada banyak hal yang kompleks di balik itu.

“Dari awalnya, Mrs.Faberson bercerita tentang kehidupan keluarganya yang kurang menyenangkan, bahkan menyedihkan. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu. Karena cocaine katanya.”

“Suami?” tanya Inspektur Bradford penuh keheranan. “Kau pasti bercanda.”

Ashley tidak mengerti apa maksud Inpektur Bradford. “Ya, suami. Ada yang salah?” katanya.

Inspektur Bradford kemudian mengambil sebuah buku kecil dari sakunya dan membuka-buka halamannya dengan cepat.

Kemudian ia menjelaskan, “Jika Mrs.Faberson berkata seperti itu, berarti ia memang pembohong, dan itu adalah kebohongannya yang kedua setelah mengaku sebagai kenalanku. Mrs.Faberson itu sama sekali tidak pernah menikah, apalagi mempunyai suami yang meninggal karena cocaine.”

Ashley terperanjat mendengar keterangan dari Inspektur Bradford. “Tapi itu yang dikatakan Mrs.Faberson. Dan asal kau tahu, telingaku ini belum bermasalah,” kilahnya.

“Kenyataannya memang seperti itu,” kata Inspektur Bradford, tanpa banyak menolong.

“Dan bagaimana dengan anaknya? Ia juga mengaku mempunyai anak. Bahkan namanya tertulis di koran yang aku baca tadi.”

“Untuk yang satu itu Mrs.Faberson tidak berbohong. Ia memang mempunyai anak yang diadopsinya sejak kecil. Namanya Diane Faberson,” jelas Inspektur Bradford.

“Ha!” sahut Ashley penuh kemenangan.

“Setidaknya kini kita tahu bahwa ada sebagian yang benar dari ucapan Mrs.Faberson,” kata Inspektur Bradford menyetujui. Kemudian ia bertanya lagi dengan nada antusias.

“Lalu apa lagi yang diceritakan Mrs.Faberson?”

“Sebaiknya aku menceritakan semuanya saja meskipun aku tidak tahu itu benar atau tidak karena semuanya saling berhubungan. Seperti yang kukatakan tadi, Mrs.Faberson mengaku kalau suaminya meninggal karena cocaine, dan ia terpaksa membayar sejumlah uang pada dokter yang memeriksa suaminya itu agar hal tersebut tidak sampai ke tangan polisi.

“Dokter itu pun kemudian menghilang dan kembali setelah beberapa tahun berselang. Berdasarkan cerita Mrs.Faberson, kini ia dan dokter itu telah menjalani hubungan. Lalu yang menjadi masalah saat ini adalah – entah ini juga benar atau tidak – Mrs.Faberson kehilangan sebagian besar uangnya dan yang menjadi dua penyebabnya ada dua kemungkinan.

“Pertama adalah dokter itu, dan satunya lagi adalah pengacaranya. Kedua orang itu kini saling memfintah dan Mrs.Faberson tidak mengetahui siapa di antara mereka yang benar. Dan karena itulah Mrs.Faberson menemuiku, untuk menggantikan posisi pengacara sebelumnya.”

Inspektur Bradford belum memberikan tanggapannya. Ia masih berpikir, mencoba menyusun fakta-fakta dari perkataan Ashley.

“Sayangnya aku belum tahu banyak untuk yang satu ini,” katanya sambil meneguk lagi sisa wisky-nya. “Tapi aku rasa ada kemungkinan bahwa cerita ini juga adalah kebohongan dari Mrs.Faberson, mengingat semuanya itu menyangkut suami fiktifnya yang tidak pernah ada.”

“Ya, mungkin saja,” balas Ashley.

Inspektur Bradford kemudian mengalihkan pandangannya ke buku kecilnya lagi sebelum memulai perkataannya.

“Saat pemeriksaan kemarin, aku belum menemui dokter, pengacara, atau siapa pun itu yang berhubungan dengan Mrs.Faberson, kecuali anaknya sendiri. Ialah yang pertama kali menemukan Mrs.Faberson yang sudah meninggal di ruang kerjanya. Katanya ia baru saja pulang dari suatu acara teater atau yang semacamnya itu. Ia menemukan Mrs.Faberson sekitar jam delapan. Tapi menurut pemeriksaan forensik, Mrs.Faberson dibunuh kira-kira satu jam sebelumnya.”

“Oh, ya? Kenapa tidak ada yang menemukannya sebelum itu?” tanya Ashley.

“Karena tidak ada satu orang pun di sana saat itu,” kata Inspektur Bradford.

Kemudian ia melanjutkan lagi.

“Aneh memang Mrs.Faberson itu. Ia orang yang amat kaya, dengan rumahnya yang besar, tapi tidak ada satu pelayan pun di sana. Aku sempat berbicara dengan Diane Faberson kemarin. Katanya memang ada beberapa pelayan dan pengurus rumah, hanya saja mereka bekerja secara harian, tiga hari bekerja dalam satu minggu. Tapi ada satu orang pengurus rumah yang bekerja di sana, datang jam delapan dan pulang sekitar jam enam sore. Namanya” – Inspektur Bradford melirik bukunya lagi – “Emily Rosslare. Ya, karena itulah ia tidak berada di rumah itu saat pembunuhan terjadi.”

“Kesempatan bagus untuk si pembunuh kalau begitu,” pendapat Ashley.

“Ya. Itu juga yang menjadi pemberat dalam penyelidikan,” kata Inspektur Bradford muram. “Sejauh ini aku belum menemukan saksi atau pun bukti yang menjadi celah dalam kasus ini. Tapi memang ada suatu petunjuk, tapi nanti saja aku cerita padamu.

“Apa motif pembunuhannya sudah diketahui?”

“Untuk sementara ini kami menyimpulkan kalau motifnya adalah perampokan biasa, melihat kondisi brankas di ruang kerja Mrs.Faberson yang terbuka dan kosong. Tapi tetap saja ada kemungkinan kalau kasus ini tidak sesederhana itu,” tutur Inspektur Bradford.

“Kau bisa seyakin itu, heh?”

“Entahlah. Aku merasa sepertinya ada sesuatu di balik ini semua, meskipun aku tidak berharap untuk itu.”

“Aku juga merasa seperti itu,” kata Ashley menyetujui. “Karena itu aku sangat tertarik dengan si Mrs.Faberson ini. Bagaimana kalau aku ikut menyelidiki, ini hanya sekedar ide gila ku saja.”

“Well, terserah kau saja. Yang jelas besok aku akan ke Borshill untuk meminta keterangan Emily Rosslare, dan orang-orang lain yang mungkin ada hubungannya dengan Mrs.Faberson ini.”

“Aku akan ikut kalau begitu,” kata Ashley yakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar