Judul : I Am Number Four (Buku pertama seri The Lorien Legacies)
Penulis : Pittacus Lore
Penerbit : Mizan Fantasi
Rating : 3/5
Yah, mungkin bagi sebagian orang yang iseng-iseng buka review ini bisa teriak dan jerit-jeritan “Woi Telat loe!!!!’ … “What?! Hari gini baru ngomongin si Nomor Empat!!!” …
*pasang muka cuek*
Yeah, whatever-lah dengan omongan para tetangga. Beda orang, beda kepala, pasti beda juga dengan cara pandang dan penilaiannya. Dan inilah review saya, yang baik buruknya harap ditelan secara bijak.
Oke, hari ini kita akan membahas satu novel fantasi bertajuk I AM NUMBER FOUR.
Pertama, (maaf kalau udah negatif opini duluan) saya agak kurang sreg dengan cover novel ini. Kenapa ya, entah penikmat novel yang lain merasa atau tidak, rasanya kalau cover suatu novel berisi gambar seseorang yang nyata itu gak catchy banget untuk dilihat. Parahnya lagi, orang yang ada di cover itu adalah actor/actress yang berperan dalam novel yang sudah difilmkan tersebut. Salah satu korbannya sekarang ini adalah novel I Am Number Four, dimana covernya bergambar Alex Pettyfer yang lagi jalan dengan gaya dan tatapan (sok) cool. Tapi agak sedikit aneh, kenapa struktur wajah di cover itu rada beda sedikit sama struktur asli Alex Pettyfer di filmnya ya, apa itu hasil polesan, atau jangan-jangan gambar di cover itu cuma Alex Pettyfer wannabe. LoL Gak tau pasti deh, yang jelas saya tetep gak suka ngeliat cover novel yang cuma jadi korban dari filmnya. Kenapa sih gak pake ilustrasi apa kek gitu yang keren, yang catchy, yang artistik, yang seenggaknya menunjukkan kreatifitas para ilustrator cover. (Jadi inget cover Twilight Saga yang sekarang bertebaran muka Kristen Stewart dan Taylor Lautner, bikin saya nepok jidat waktu ngeliatnya)
Kemudian mari lirik lagi endoresment yang tertera di cover depan.
“No.4 adalah pahlawan bagi generasi ini.” – Michael Bay, sutradara Transformers
Ah, jelas banget, si Michael (le)Bay ini kasih endoresment cuma buat promosi filmya. FYI, film I Am Number Four memang diproduksi oleh Michale Bay dan disutradari oleh D.J.Caruso (director of Disturbia). So, endoresment ini mending gak udah dilirik, anggap aja cuma angin yang numpang lewat. Lanjutnya kita beralih ke dua endoresment lagi di cover belakang.
“Penuh aksi!” – Publishers Weekly
“The Next Twilight Saga.” – Yahoo Movie Talk
Penuh Aksi, okelah kita buktikan nanti kalau udah selesai baca. Dan yang kedua (aw..aw..aw..) The Next Twilight Saga ni yeee… hmm, aroma bau-bau percintaan abnormal mulai kecium nih. Baik, nanti kita liat apa ada versi Edward Cullen wannabe atau tidak.
*para kontra-twilighters mulai pucet, muntah, dan masuk ICU*
Nah, setelah kita bermain-main dengan cover, sekarang saatnya kita membedah seluruh novel ini.
Eits, tapi tunggu dulu, di halaman pertama buku ini saya membaca keterangan aneh yang, tidak tahu ditulis oleh penulis sendiri atau penerbit. Di bawah ini saya copas keterangan itu :
PERISTIWA-PERISTIWA DALAM BUKU INI BENAR-BENAR NYATA.
NAMA DAN TEMPAT DIUBAH DEMI MELINDUNGI ENAM LORIEN YANG BERSEMBUNYI.
ANGGAP INI PERINGATAN PERTAMA.
PERADABAN LAIN MEMANG ADA.
BEBERAPA DI ANTARANYA MALAH INGIN MENGHANCURKANMU.
Nah loh, kira-kira, siapa pun yang menulisnya, kejedot apa ya sampe berani-berani mengeluarkan statement sedemikian konyolnya. Memang sih ada dua hal yang bisa dicapai dari statement tersebut. Pertama, dunia dan cerita I Am Number Four mungkin bisa terasa lebih real dengan dalih bahwa cerita ini benar-benar nyata. Tapi yang kedua, sayang sekali statement ini malah menghancurkannya karena terdengar konyol dan bodoh, terasa lebay karena pengen bikin cerita ini jadi sangat ‘wah’ dan ‘woh’. Saya cenderung bersikap pada point yang kedua, dan mengutuk keras siapa pun yang menulis statement itu. Berasa serem, enggak; berasa real, boro-boro; ketawa menyedihkan malah iya.
Dan berikutnya marilah sekarang saya ceritakan garis besar dari seluruh novel ini.
Jadi dikisahkan ada suatu planet bernama Lorien di Universe yang berbeda dengan kita (bumi, dkk). Sepuluh tahun lalu, planet Lorien diserang oleh kaum Mogadorian dari planet yang berbeda, yaitu Mogadore, untuk diambil segala sumber daya yang ada di planet Lorien. Dalam kehancuran planet Lorien, ternyata bangsa itu berhasil menyelamatkan sembilan anak dengan kemampuan khusus dan diterbangkan ke bumi. Kesembilan anak itu kemudian hidup saling sembunyi, sambil mempersiapkan diri untuk mengasah kemampuan mereka hingga nanti direncanakan untuk menyerang balik kaum Mogadorian.
Tapi ternyata kaum Mogadorian kayaknya belom puas juga kalau belom nge-gorok leher tuh sembilan anak. Mereka juga ngejar anak-anak itu ke bumi untuk dihancurkan. Cuma sayang, sembilan anak itu ternyata dimantrai dan hanya bisa dibunuh dengan cara berurut dari Nomor Satu sampai Nomor Sembilan. Dan jadilah kaum Mogadorian mulai memburu mereka secara berurutan. Kasian banget ya yang jadi Nomor Satu, jantungnya pasti kembang-kempis terus tuh gara-gara dikejar duluan sama kaum Mogadorian. Dan saya heran sama orang yang kasih urutan begitu, apa dia sentimen ama anak Nomor Satu ya, jadi ga apa-apa deh kalau dia dibunuh duluan. Trus Nomor Sembilan itu siapanya? Anak Emasnya? Anak pak RT? Apa anak Bapak Presiden? Enak banget tuh dia bisa ongkang-ongkang kaki sementara yang lain pada kocar-kacir diburu.
Dan akhirnya kaum Mogadorian pun berhasil membunuh Nomor Satu, Dua, dan Tiga. Berikutnya bisa ditebak, kan. Yep, si Nomor Empat-lah yang sekarang diburu oleh Mogadorian. Nomor Empat, yang selama hidupnya terus berpindah-pindah dan berganti identitas, kini memakai nama John Smith untuk tinggal di Paradise, Ohio. Dalam istilah planet Lorien, John adalah seorang Garde, yaitu orang yang memiliki kekuatan atau Pusaka. Sementara itu seorang Garde pasti memiliki seorang Penjaga, yang disebut dengan Cêpan.
Henri, dialah yang menjadi Cêpan John semasa hidup di planet Lorien maupun di bumi. Henri yang menjaga dan melatih Pusaka yang dimiliki oleh John. Sebenarnya agak aneh ya, kenapa sih yang menjaga itu harus Cêpan (yang notabene tidak berkemampuan apa-apa), mengingat seorang pelatih itu seenggaknya harus lebih mahir dengan kemampuan yang dilatihnya. Lagipula liat kondisi kesembilan anak yang diburu itu, masa sih mereka bukannya dijaga oleh orang-orang yang tangguh, ini malah ditemenin sama orang-orang useless. Ya jelaslah, tiga anak itu mati dengan sia-sia.
Selain itu saya juga sempet jengkel dengan sikap Henri ini. Kalau mau disebut, Henri ini tipe orang sok misterius dan sok rahasia-rahasiaan. Coba bayangin, sepanjang buku ini banyak banget rahasia-rahasia yang diceritain ke John secara sepotong-sepotong. Kalau ditanya, dalihnya cuma bilang “tunggu waktu yang tepat”. Plis ya, sebenernya yang gak mau dikasih tahu rahasia itu para pembaca atau si John sih? Soalnya saya merasa rahasia-rahasia itu cuma pengen bikin penasaran pembaca doank. Contohnya isi-isi yang ada di dalem Peti Loric, Henri ini mati-matian gak mau kasih tau semua isi itu ke John. Akhirnya ya gitu, emang sih dengan “waktu yang tepat” benda-benda itu mulai dikeluarin satu per satu, tapi tetep aja alesan itu gak kena ke pembaca. Toh kayaknya ga ada bedanya mau keluarin isi peti itu, dulu, sekarang atau nanti. Meskipun isi itu berhubungan ama Pusaka John, ya toh ada baiknya jauh-jauh hari dijelasin ke John. Inget loh ini kondisi perang tertutup dengan kaum Mogadorian. Kalau suatu hari nanti terjadi sesuatu dengan Henri gimana? Apa si John gak bingung tuh sama Pusaka dan isi Peti Loric. Apa nanti si John bisa telepon ke planet Lorien buat nanya benda-benda itu “Haloo, haloo, pak, mau nanya donk, benda ini buat apaan yak? Saya gak mudeng nih.” Alhasil, mungkin si John keburu dikapak mati ama Mogadorian sebelum paham benda-benda pusaka itu.
Okelah, kembali ke kehidupan John di Ohio. Di tempat ini John mulai menjalani hidup barunya lagi dan mencoba bersosialisasi kembali dengan bersekolah. Dan – yummyyy… - di sinilah John mulai berkenalan dengan Sarah Hart, gadis pirang yang memikat hati John pada pandangan pertama (selanjutnya terserah anda…). Si penulis menghadirkan Sarah untuk memberi bumbu cinta dalam ceritanya. Cuma sayang, amat-amat sayang, romansa cinta ini berlalu begitu saja tanpa kesan yang berarti buat saya. Saya merasa kalau kisah cinta ini terkesan hanya berada di permukaan, tidak terjadi dalam satu jalinan solid dalam cerita.
Kenapa saya berpendapat begitu?
Pertama, chemistry yang terjalin antara John dan Sarah bak disulap secara ajaib. CRING!!! Dalam waktu sekejap, mereka saling jatuh cinta; ‘pokoknya I suka sama you, dan you suka ama I, nyook kita pacaran. *gosh!* Kenapa sih gak dikisahkan suatu alasan yang panjang kenapa mereka bisa saling jatuh cinta. Ini kan novel, jadi proses yang panjang untuk detail suatu kisah cinta kayaknya sah-sah aja, malah dengan begitu feel percintaan itu lebih terasa dan gak terkesan maksa. Trus timbul pertanyaan, loh emang segitu pentingnya ya cerita cinta di novel ini sampe harus dijabarin secara detail? Ya iyalah, liat tuh sinopsis di cover belakang, dengan jelas cerita John dan Sarah dilibatkan dalam plot utama cerita. Jadi kalau novel ini mau dikemas dalam kisah percintaan juga, ya lebih baik kisah percintaan itu digarap dengan lebih dalam, biar gak cuma jadi selingan yang gak penting.
Dan yang kedua, dialog dan adegan yang terjadi antara John dan Sarah itu sangat minim sekali di sepanjang novel ini. Yang ada cuma sepotong adengan, dialog yang super dikit, dan cerita cintanya cuma disampaikan dengan narasi yang pendek pula. So, mana berasa cintanya nih, yang ada pembaca cuma tahu kalau John dan Sarah emang saling mencintai karena si penulis emang bilang begitu, bukan karena pembaca ngerasain sendiri perasaan mereka dari kisah cintanya.
Kenapa saya sampai sekritis ini dengan masalah cinta mereka ya, mungkin karena saya sudah banyak menelan kisah-kisah roman, dimana kisah-kisah itu dijabarkan secara baik hingga saya ikut merasakan dan terlibat dalam cerita cinta itu. Well, my bad.
Dan kalau sudah seperti ini, mari kita bertanya balik kepada endoreser yang menulis ‘The Next Twilight Saga’, “di mana sisi Twilight-nya ya, mas?”. Dengan nyolotnya, si endorser cuma jawab, “Tauuk, yang penting ada cinta-cintaan dah, kan mirip-mirip tuh ama Twilight.” Mari sodara-sodara, saya sudah menyiapkan pistol berkaliber tiga-puluh-dua merk Smith and Wesson, bagi siapa saja yang ingin berhadapan dengan endorser itu.
Selain itu ada juga beberapa fakta yang mengganjal saya selama baca novel ini.
Diceritakan juga bahwa di planet Lorien hidup para tetua yang memiliki kemampuan lebih hebat dibanding yang lain, penguasa semua Pusaka Lorien. Tapi anehnya, saat peperangan terjadi di planet Lorien, para tetua ini gak tahu keberadaannya di mana. Heloo, perang lagi hot nih, pada kemana nih bos-bos gede? Apakah ini akan diceritakan secara detail di sekuelnya? Let see then.
Kemudian saya juga bertanya-tanya, kenapa sih yang diselamatkan cuma sembilan anak. Toh kalau mau menyelamatkan orang kan semakin banyak semakin bagus. Belum lagi penyelamatan anak ini dilakukan dengan dalih untuk melakukan misi pembalasan di kemudian hari. Tapi apa bisa dengan sembilan anak mampu menghancurkan bangsa Mogadorian, toh kenyataannya satu planet pun gak bisa ngelawan Mogadorian kan. No further explanation for this, again, maybe we’ll get the answer in the sequel.
Nah, kemudian kita berbicara tentang aksi. Sebagian adegan aksi memang muncul di penghujung cerita. Cukup seru dan ada kejutan, cuma sayang sekali saya merasa sedikit kesal dan bingung saat mengikutinya (saya tidak ingin menjelaskan secara terperinci untuk menghindari spolier). Masalahnya, adegan itu serasa di putar-putar dan tokohnya cuma bolak-balik dari tempat itu. Selain itu deskripsi yang diberikan juga amat kurang. Ada mahluk yang hanya disebut ‘Hewan Buas’ tapi gak ada satu pun gambaran yang jelas yang nempel di kepala saya. Jadi gimana bentuknya, pokoknya telen aja, namanya juga ‘Hewan Buas’.
Dan berbicara mengenai deskripsi, saya jadi tergugah untuk memprotes cara penulisan dalam novel ini. Berhubung saya membaca novel ini dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia, karena itu yang paling mempunyai andil besar dalam menciptakan gangguan dalam novel ini adalah si penerjemah itu sendiri. Entah karena alasan apa, dialog-dialog dalam novel ini (terutama antara John dan Sarah) disajikan dengan gaya bahasa gaul sehari-hari. Contohnya dari kutipan di bawah ini,
=====================================
Sarah memandangku. Seluruh bagian dalam tubuhku terasa seolah menjadi bubur. Dia mungkin gadis tercantik yang pernah kulihat.
“Maaf karena Mark bersikap brengsek terhadapmu,” katanya.
Aku mengangkat bahu. “Bukan salahmu.”
“Kalian berdua nggak akan benar-benar berkelahi, kan?”
“Mauku sih nggak,” kataku.
Sarah mengangguk. “Mark kadang memang menyebalkan. Dia selalu berusaha menunjukkan bahwa dirinya jagoan.”
“Tanda-tanda orang tak percaya diri,” kataku.
“Dia bukannya tak percaya diri. Hanya brengsek.”
Pastinya. Tapi aku tidak ingin berdebat dengan Sarah. Lagi pula, dia berbicara dengan begitu yakin sehingga aku hampir meragukan diriku.
Sarah melihat noda saus spageti yang sudah mengering di bajuku, lalu mengulurkan tangan dan menarik saus yang mengering dari rambutku.
“Makasih,” kataku.
Sarah mendesah. “Aku minta maaf atas apa yang terjadi.” Dia menatap mataku. “Kami nggak pacaran lho.”
“Masa?”
=====================================
Sumpeh loe? Serius loe? Gelaa..
Bisa dilihat kan, betapa suasana gaul begitu tersirat dalam kutipan di atas. Dan dialog-dialog seperti itu masih banyak bertebaran di mana-mana, khususnya saat John dengan Sarah dan teman sekolah. Mungkin penggunaan gaya gaul ini dimaksudkan untuk menghidupkan suasana High School anak muda atau semacamnya. Tapi sayang sekali, secara pribadi saya mengatakan kalau cara ini tidak berhasil mengena pada diri saya. Pasalnya, setiap saya membaca dialog-dialog semacam ini, saya merasa seperti tersandung karena loncat dari bayangan cerita dan situasi yang ada di kepala saya. Dan yang menambah jengkelnya, gaya gaul ini tidak dipakai secara konsisten sehingga kesan dalam cerita menjadi bercampur baur. Kadang beberapa saat terasa normal dan biasa, namun ketika dialog gaul-nanggung itu mulai mencuat, nuansa teenlit langsung tercipta dalam sekejap. Ah, dasar saya memang bukan penikmat teenlit sejati. Jadi maaf aja, saya terpaksa sedikit subjektif dalam kasus ini.
Harusnya cara gaul ini dipakai dalam koridor yang tepat dengan materi yang ingin disampaikan, jadi tidak akan timbul suasana yang saling bertabrakan dalam cerita. Kalau mau dilihat-lihat, dalam novel Twilight atau seri FearStreet yang banyak akan suasana High School, dialog-dialog yang ada di dalam novel itu pun masih formal-formal aja kok, tetep enak dikunyah, dan suasana High School-nya pun masih tetep berasa. Jadi intinya, hidup mereka tetaplah disajikan dengan cara mereka yang benar, jangan di-Indonesiakan secara berlebihan. Kalau mau nulis gaya gaul buat novel-novel teenlit Indonesia sih sah-sah aja, malah mendukung untuk suasananya.
Well, overall, dari semua yang saya bahas ini, I Am Number Four bisa saya katakan suatu cerita dengan ide yang menarik, hanya saja masih terasa kurang gigitan pada eksekusinya. Sepanjang cerita terkesan berjalan lurus tanpa ada twist-plot yang berarti. Ada kejutan-kejutan kecil, tapi ya gitu, udah keburu ketebak oleh saya dari awal. Maklum, hasil didikan Eyank Agatha Christie dan Tante Mary Higgins Clark, jadi sense of misteri saya sudah sangat terlatih untuk tebak menebak buah manggis dalam cerita. LoL *www.songong.com/senga/cangeh.html*
Ya meskipun begitu, cerita I Am Number Four cukup asik lah untuk dibaca sebagai bacaan ringan. Terlepas dari dialog gaul-nanggung tadi, cara penuturan cerita novel ini tergolong santai dan gampang dicerna. Sebelumnya saya menduga mungkin cerita ini akan njelimet karena membawa embel-embel planet dan alien segala. Tapi ternyata tidak, atau belum ya, apa mungkin nanti akan disinggung lebih jauh dalam sekuel-sekuelnya. Kita tunggu aja, sekaligus menunggu jawaban dari fakta-fakta yang masih terasa gantung tanpa penjelasan detail. Oh ya, sekalian juga nunggu kemunculan Pittacus Lore (si penulis) sendiri yang ngaku kalau dia termasuk dalam sepuluh Tetua Lorien. Plizz deh… *rolling eyes*
Selamat membaca!!!
Doooh sounds cheesy banget sih itu terjemahannya. Hahahhaa. Feelnya beda banget ya kl bhs inggris diterjemahin ke indo
BalasHapusBTw by, gw sih ga baca sinposisnya. Biar gw baca sendiri aja de nanti. Hahaha. Gw cm baca komen lo ttg buku itu secara keseluruhan.
Ok de. Ngomong2 itu ada di chapter brp ya? sini biar gw cek di versi aslinya, apakah terdengar sejelek itu. hahahaha
Dah ketemu
BalasHapusNi veri aslinya:
Sarah is looking at me. Everything inside of me feels as though it is turning to mush. She may be the most beautiful girl I have ever seen.
“I’m sorry Mark is being a jerk to you,” she says.
I shrug. “it’s not your fault.”
“You guys aren’t really going to fight, are you?”
“I don’t want to,” I say.
“He’s not insecure. Just a dick.
Sure he is. But I don’t want to argue with Sarah. Besides, she speaks with such certainty that I almost doubt myself.
Beda banget feelnya. :P Meski terjemahannya memang kurang lebih seperti itu dlm bhs indonesianya.
Hahahahaa..
BalasHapusKetemu juga lu versi aslinya.
Emang yee, parah banget deh ni novel. Ini novel terjemahan paling aneh dan jelek yang pernah gw baca.
Tuh kata-kata 'nggak'; 'mauku sih nggak'; 'masa?'
Kata-kata model begitu tuh yang bikin gw bete. Entah maksudnya apaan sampe diterjemahin seenaknya gituh..
Coba nih gw ganti beberapa kata-katanya dengan yang lebih enak
Sarah menatapku. Seluruh bagian dalam tubuhku terasa seolah menjadi bubur. Dia mungkin gadis tercantik yang pernah kutemui.
“Maaf karena Mark bersikap brengsek terhadapmu,” katanya.
Aku mengangkat bahu. “Bukan salahmu.”
“Kalian berdua tidak sungguh-sungguh akan berkelahi, kan?”
“Tidak,” kataku.
Sarah mengangguk. “Mark kadang memang menyebalkan. Dia selalu berusaha menunjukkan bahwa dirinya jagoan.”
“Tanda-tanda orang tak percaya diri,” kataku.
“Dia bukannya tak percaya diri. Hanya brengsek.”
Pastinya. Tapi aku tidak ingin berdebat dengan Sarah. Lagi pula, dia berbicara dengan begitu yakin sehingga aku hampir meragukan diriku.
Sarah melihat noda saus spageti yang sudah mengering di bajuku, lalu mengulurkan tangan dan menarik saus yang mengering dari rambutku.
“Terima kasih,” kataku.
Sarah mendesah. “Aku minta maaf atas apa yang terjadi.” Dia menatap mataku. “Kami tidak berpacaran, kok.”
"Benarkah?”
Ah, klo begini lebih enak didenger, kan. Gak usah pake bahasa sok-gaul-nanggung. Hahahahaha..
Btw, lu buruan kelarin yak bacanya. Coba kita bandingkan dengan versi bhs inggris yang lu baca.
OOT : eh, gw lagi baca Water for Elephants, nih. Hehehe ketemu juga nih novel.
blom baca gw by, asik main The Sims. hahhaha
BalasHapusbtw dialognya ad yg lupa gw ketik rupanya, pantes gw blg kok pendek amat ya.
Chie uda beli buku baru lagi dia. hahahhaha
Tetep ya, yang anti sama teenlit wkwkwk..
BalasHapustadinya g da masukin buku ini dalam keranjang belanjaan tapi setelah baca review u, kayaknya kurang meyakinkan.. ga jadi de -__-"
ditunggu review water for elephantsnya
by the way katanya keuangan da menipis tapi beli buku masih tetep, ya..*rolling eye
@purple sign :
BalasHapusSebenernya gak jelek-jelek amat sih nih buku, cuma gimana ya so-so gitu aja ceritanya. Jadi kalo baca novel ini cuma terasa selingan doank, ga ada sesuatu yang penting buat diinget.
Tapi lu kan demen tuh cerita yang ringan-ringan. Bolehlah nih novel lu baca, soalnya ceritanya kagak berat. Apalagi nuansa chessy-teenlit-nya itu. hahahaha
Water for Elephants udah selesai baca sih nih, cuma belom sempet nulis reviewnya. Ntar deh sabar aja ditunggu. hehehehe
"by the way katanya keuangan da menipis tapi beli buku masih tetep, ya..*rolling eye"
No comment aah.... Wahahahaha
Hahaha.. mantap..
BalasHapusSaya penasaran dengan novel or film i am number four selanjutnya..
Kapan relaese skuel selanjutnya?
trims