“Aku benar-benar tidak melakukannya! Aku bersumpah kalau aku tidak bersalah!” seru Carl Ferguson di hadapan dua orang polisi berseragam yang duduk di seberangnya. Sudah lebih dari setengah jam ini ia berada di ruang interogasi kepolisian London. Apa yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu ini sunguh tidak bisa dipercayainya.
Salah satu petugas polisi yang di depannya itu menatapnya dengan sorot mata dingin. “Kami sudah memiliki buktinya. Kalau saja kau mau mengakuinya, masalah ini akan cepat selesai!” katanya tegas.
Carl menggebrak meja dengan tangannya yang sudah terborgol. “Kalian gila!” sergahnya. “Kalian sudah salah menangkap orang!”. Dengan napas terengah-engah karena kesal, ia menatap sebuah cermin besar yang berada di tembok sisi kanannya. Ia tahu kalau di baliknya ada sebuah ruangan yang dipakai para polisi brengsek itu untuk melihatnya diinterogasi.
“Oke, Dr.Carl,” kata petugas yang satunya lagi sambil menegakkan duduknya. “Sebaiknya kau berikan penjelasan yang pasti kalau kau memang merasa tidak bersalah.”
Carl membetulkan letak kacamatanya sambil mencoba menerangkan lagi apa yang tadi sudah dijelaskannya, “Aku sungguh tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Seperti yang sudah tadi aku katakan, malam ini aku ke rumah sakit karena ada salah seorang pasienku yang akan menjalani operasi. Sebenarnya jadwal praktekku di rumah sakit itu hanya siang hari, dan waktu operasi pasien itu pun sebenarnya dilakukan pukul dua siang. Tapi karena kondisi tekanan darahnya yang kurang baik, maka diputuskan kalau operasi itu harus ditunda dan akan dilakukan pukul tujuh malam. Kebetulan jadwal praktekku hari ini hanya ada di rumah sakit itu, jadi tidak menggangu jadwalku yang lain. Sekitar pukul setengah tujuh, aku kembali memeriksa kondisi pasien. Ternyata kondisinya stabil, dan aku memutuskan untuk segera melakukan operasi,” Carl berhenti sebentar, dan melanjutkannya lagi.
“Nah, di sinilah masalah itu timbul. Saat itu aku dan tiga orang dari tim dokter sudah siap di ruang operasi ketika tiba-tiba terdengar ledakan yang keras dari suatu tempat.”
“Ledakan dari dapur di lantai satu,” terang petugas itu sambil membaca isi map di tangannya. “Ruang operasi itu berada di lantai dua. Apa ledakan itu cukup terdengar di sana?” tanyanya.
Carl mengangguk, “Ya, cukup keras terdengar.”
“Lalu kemudian apa yang kau lakukan?” tanya petugas itu lagi.
“Waktu itu keadaan sangat ramai dan kacau. Kami tahu bahwa saat itu kami tidak boleh panik. Aku kemudian menyuruh dua temanku itu untuk mencari tahu dari mana asal ledakan itu. Sementara aku dan salah seorang lagi, yaitu Dr.Deena, harus menemani pasien yang sudah dalam kondisi terbius.”
“Dan kemudian tokoh fiktifmu itu muncul, benar begitu?” kata petugas satunya sambil melengkungkan bibirnya mengejek.
Carl memandangnya dengan sebal. “Aku tidak berbohong soal itu!” katanya keras. “Hal ini memang terjadi. Selang beberapa menit seseorang berpakaian serba putih masuk begitu saja ke ruangan itu dan langsung memukulku. Aku pun langsung jatuh. Tapi saat itu aku masih sadar. Orang gila itu kemudian mengeluarkan sebuah pisau dari balik bajunya, menikamkannya ke dada Dr.Deena dan langsung lari keluar.”
“Apa kau sempat melihat wajahnya?” tanya petugas itu.
“Ya, tapi aku tidak mengenalnya sama sekali. Jelas ia bukan orang yang bekerja di rumah sakit itu,” jawab Carl.
“Tapi tidak ada satu saksi pun yang bisa memastikan keberadaan orang ini. Satu-satunya saksi hanya melihat kau yang berada di dekat mayat Dr.Deena. Orang itu,”-petugas itu melihat mapnya lagi-“Dr.Gregory. Menurut keterangannya, ia masuk ke ruangan operasi itu untuk memperingatkan kalian untuk segera melakukan evakuasi secepatnya.”
Carl tidak bisa berkata apa-apa. Lalu katanya, “Aku tidak tahu. Karena kaget dengan apa yang kulihat, aku segera menghampiri Dr.Deena. Maksudku aku ingin menolongnya, tapi ternyata terlambat. Dr.Deena sudah tewas seketika. Dan saat itulah Dr.Gregory masuk dan melihat keadaan itu. Aku katakan kalau ini semua hanya salah paham.”
“Bagaimana dengan ini,” kata petugas itu sambil memperlihatkan sebuah kertas pada Carl. “Ini adalah sidik jarimu yang cocok dengan sidik jari yang ada di pisau itu. Dr.Gregory sendiri yang memeriksanya.”
Carl kali ini benar-benar terpojok. “Ini fitnah. Jelas sekali kalau kalian memfitnahku!” hardiknya.
Sambil menghela napas, petugas polisi itu berdiri dari kursinya dan berkata, “Ini akan menjadi malam yang panjang bagimu dokter.” Ia lalu keluar sementara petugas yang satunya lagi mengikutinya.
* * *
Anthony Digglose memandang seorang pria putih berkacamata lewat sebuah kaca besar di ruangan yang agak remang. Ia berada tepat di ruangan di sebelahnya. Baru saja pria itu diinterogasi oleh dua orang petugas polisi yang kini sudah meninggalkannya sendiri.
Dua petugas itu kini sudah berpindah ke ruangannya dan berdiri di dekat pintu.
“Apa anda sudah mendengar semuanya, Sir? Sulit sekali orang ini,” kata salah satunya pada Digglose.
“Tentu,” kata Digglose.
“Jadi bagaimana, Sir? Apa memang ia yang melakukannya?” tanya Dr.Gregory dari tempatnya duduk. Sudah sedari tadi ia berada di ruangan ini bersama Digglose sambil mendengarkan interogasi Dr.Carl.
Digglose tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak terbiasa membuat keputusan yang belum pasti.
“Bukti satu-satunya hanya sidik jari itu, benar?” tanya Digglose.
“Betul. Aku sendiri yang memeriksanya,” ungkap Dr.Gregory. “Aku memang bekerja di rumah sakit itu, dan sekaligus bekerja di bagian forensik untuk kepolisian. Dr.Carl itu temanku. Aku awalnya tidak percaya kalau ia tega membunuh Dr.Deena. Aku hanya memeriksa sidik jari itu karena penasaran. Tapi apa yang kutemukan itu ternyata sangat mengejutkan. Sidik jari di pisau itu cocok dengan sidik jari Dr.Carl.”
Digglose kemudian bertanya lagi, “Apa aku boleh tahu dimana kau saat kejadian itu?”
Dr.Gregory berpikir sebentar sebelum menjawab. Lalu katanya, “Aku ada di ruanganku saat itu, di lantai dua juga. Waktu terjadi ledakan, aku langsung keluar dan mencari tahu ledakan apa itu. Saat itu keadaan memang sangat kacau. Lalu setelah mengetahui bahwa telah terjadi kebakaran di lantai satu, aku teringat kalau Dr.Carl sedang ada di ruangan operasi. Aku pun langsung ke sana dengan maksud untuk menyuruh mereka segera evakuasi, mengingat keadaan pasien harus diutamakan. Tapi apa yang kulihat di sana ternyata sangat sulit dipercaya. Dr.Carl sedang berada dekat dengan Dr.Deena yang berlumuran darah.
“Saat itu Dr.Carl mengaku tidak melakukannya. Karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku langsung memanggil pihak keamanan. Berikutnya Dr.Carl ditahan untuk sementara. Karena rasa penasaran yang timbul dalam diriku, aku meminta pihak polisi untuk mengambil sidik jari Dr.Carl untuk kucocokan dengan sidik jari yang ada di pisau. Memang sidik jari di pisau itu tidak terlalu jelas, tapi ada beberapa bagian yang cocok dengan sidik jari Dr.Carl.”
Digglose kemudian beralih ke salah satu petugas itu. “Apa pembunuh yang dimaksud Dr.Carl itu benar-benar tidak diketahui?” tanya Digglose.
“Tidak ada saksi yang sempat melihatnya. Mungkin memang orang yang tidak dikenal, jadi sulit untuk orang mengingatnya. Apalagi ditambah situasi kebakaran itu,” ujar petugas polisi itu.
“Apa kebakaran itu sudah diketahui penyebabnya?” tanya Digglose lagi.
“Ya,” kata petugas itu. “Ada seseorang yang meletakkan bom plastik kecil yang sudah si set dengan timer. Kurasa itu untuk membuat pengalihan.”
Digglose memandang langit-langit sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. “Hmm, suatu tragedi yang menyedihkan akan tambah mengerikan bila ada suatu kebohongan yang dicoretkan di atasnya. Aku yakin bahwa kebenaran itu hanya ada satu. Dan sudah seharusnya aku menghapus kebohongan itu dengan kebenaran yang akan kutuangkan ini,” katanya sambil tersenyum.
Siapakah yang sebenarnya bersalah?
Apakah Dr.Carl benar-benar pembunuhnya?
Ataukah Dr.Gregory yang berada di balik semua ini?
Apa buktinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar