Pernah melakukan permainan 'Saling Sambung Cerita'??
Ini adalah salah satu permainan asik yang suka saya lakukan ketika masih jaman SMU dulu. Jadi cara bermainnya gini, saya dan partner saya membuat suatu cerita yang tokoh, premis, alur dan plotnya tidak ditentukan sebelumnya. Salah satu dari kita kemudian memulai menulis, contohnya saya dulu yang memulai cerita. Awalnya saya memasukkan satu kalimat, satu paragraf, atau beberapa paragraf sekaligus. Ini dilakukan secara otodidak, pokoknya tulis aja apa yang ada di kepala.
Nah, berikutnya setelah selesai, partner saya melanjutkan cerita itu dengan kalimat atau paragrafnya. Begitulah seterusnya, secara berganti-ganti kita saling sambung menyambung cerita. Hasilnya terciptalah suatu tulisan panjang hasil kolaborasi kedua penulis amatir. Hehehehe...
Gimana? Asik kan? Ya, meskipun kadang hasil akhir ceritanya suka ngawur ke mana-mana, setidaknya permainan ini bagus dilakukan untuk melatih teknik menulis.
Dan dalam waktu belakangan ini, saya kembali bernostalgia dan memainkan permainan ini. Sebelumnya saya berpartner dengan Mia dan berhasil merampungkan satu bab Prolog. Sekarang ini masih dalam tahap penulisan BAB 1 yang sedang ditunda dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. LoL Mudah-mudahan bisa lanjut... *Woii Mia, gimana kabarnya cerita kite nih??*
Kemudian satu minggu terakhir ini saya kembali bermain sambung cerita ini dengan partner yang berbeda, yaitu PurpleSign. Kalo partner yang satu ini memang jagonya untuk membuat cerita-cerita fantasy. Maklumlah, makanan sehari-harinya game fantasy dan manga. Sedangkan saya bisa dibilang masih belum cukup ilmu di dunia per-fantasy-an. Sebabnya gak lain dan gak bukan, karena saya paling males main game RPG yang super ribet gitu, dan males juga baca manga yang gambarnya bikin mata cenat-cenut.
Untuk permainan kali ini bersama PulpleSign, dengan sengaja kami menggaarap tulisan dengan lebih serius.
*ehem-ehem... katanya sih niat dijadiin novel*
Yang biasanya kita menulis tanpa ada persiapan, kali ini PurpleSign sudah siaga penuh dengan segala tokoh dan setting yang akan ditulis dalam cerita. Tapi tetep sih, alur dan plotnya ditulis secara otodidak nanti. Dan dengan segala usaha menulis sambil mencuri-curi jam kerja di kantor, akhirnya akhirnya terselesaikan juga satu bab pengenalan tokoh dan prolognya.
Yuk, tanpa berlama-lama lagi kita simak aja hasil cerita kolaborasi saya dan PurpleSign ini.
Note : Tulisan dengan warna ini adalah tulisan PurpleSign, dan
tulisan dengan warna ini adalah tulisan saya.
Bab 1 belum sepenuhnya selesai, namun saya tampilkan untuk meramaikan cerita. hehehehehe...
Tokoh utama
Enola
Gadis yang terlahir dari bunga Amadenia di hutan Firdaus. Enola hidup bersama penyihir katak buruk rupa yang jahat, Caltras. karena terlahir dari Bunga Amadenia yang tumbuh di Carona, bagian tergelap dari Hutan Firdaus, Enola memiliki penampilan yang berbeda dari roh bunga amadenia yang terlahir di Taman Eden.
Enola memiliki mata biru bulat besar. Rambut dan tubuhnya transparan. Seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya jika ditempat gelap. Dengan mantra yang diajarkan Caltras, Enola dapat menyembunyikan cahaya tubuhnya.
skill:
mantra, meringankan tubuh, terbang, mengeluarkan wangi khusus yang dapat membuat manusia dan penghuni firdaus berhalusinasi
senjata:
ranting pohon neferum yang memiliki kemampuan khusus sebagai perisai, penangkal kutukan dan sihir. Panjang ranting pohon neferum tergantung dari kekuatan pemiliknya.
Caltras
Penyihir katak jahat yang tinggal di Carona. Caltras sangat membenci penghuni Taman Eden yang dianggapnya sok suci dan sombong karena rupa mereka yang cantik dan tampan.
Selain gemar mempelajari kutukan, Caltras juga suka mengkoleksi benda-benda antik. Karena hobinya ini Caltras membuka toko "paling jahat" dirumah jamur raksasanya. Tokonya menjual berbagai ramuan dan benda-benda sihir. Dia tidak menerima koin emas, hanya barang-barang antik sebagai bayarannya.
Cliff
Penyihir remaja dari Gunung Laumsphere. Cliff memiliki hewan tunggangan bernama Kir, seekor hippogriff. Kir adalah hewan pemberian Kakek Cliff, seorang ahli sihir di Gunung Laumsphere. Kakeknya jugalah yang mengajarkan ilmu-ilmu sihir kepada Cliff.
Cliff berkulit coklat, berambut panjang diikat ekor kuda. Ia dan kakeknya termasuk dalam Suku Elm, penguasa dan pengendali hutan Gunung Laumsphere.
skill: mantra sihir, dapat berbicara dengan hewan dan mampu mengendalikan pohon2 (sebagai kemampuan Suku Elm), serta berkamuflase di dalam hutan.
senjata: panah kayu.
==============================================================
PROLOG
Cliff menegakkan punggung dan menudungi mata dengan tangannya dalam setindak, menghalau cahaya matahari di atas kepalanya sembari memperhatikan sesuatu yang jauhnya bermil-mil di depannya. Ia menangkap suatu bentuk samar. Warna biru lembut, membentuk suatu garis lengkung terbalik, dan dikelilingi sentak-sentak awan berwarna putih.
Batin Cliff bersorak girang. Gunung Laumsphere, tujuannya setelah perjalanan beberapa hari kini muncul di hadapannya. Sambil membetulkan posisi duduknya di pelana, ia menepuk-nepuk leher Kir, Hippogriff berbulu perak yang telah menjadi sahabat selama hidupnya.
"Kau lihat, Kir? Tidak lama lagi kita mendarat di Laumsphere," ujar Cliff.
Kir mendengus, mengibaskan kepalanya sebentar sebelum membalas, "Aku tidak sabar untuk mengigit burung Yewn lagi."
Cliff mendongakkan kepalanya lagi, dan kini melihat titik-titik hitam bersayap yang melayang kesana-kemari di atas Gunung Laumsphere. Ia dulu tidak pernah sungguh-sungguh menyukai burung jelek itu, namun sekarang entah kenapa ia senang melihat kawanan burung itu.
Senang rasanya bisa pulang ke rumah setelah pergi selama 3 tahun, pikir Cliff sambil tersenyum lembut. Ia pikir ia tidak akan merindukan tempat ini. Tetapi ternyata ia salah. Walaupun dibawahnya saat ini hanya diselimuti hijau pepohonan, bukan keramaian pasar dengan barang dagangan beraneka ragam; rentetan gunung membosankan, bukan bangunan-bangunan tinggi berwarna mencolok; dan langit biru luas dengan terik matahari yang bisa membakar kulit, bukan atap-atap kayu berukir naga dan phoenik; ia merasa suasana disekitar Gunung Laumsphere lebih keren dan cocok dengan kepribadiannya.
Ok, pasti sengatan sinar matahari telah merusak otaknya sekarang. Ia barusan berpikir tempat ini keren dan cocok dengan dirinya.
"Sepertinya kau sedang bernostalgia," Sindir Kir membuyarkan lamunan Cliff.
Cliff mendengus, "Yang benar saja."
Kir membuat suara aneh dan Cliff tidak asing lagi dengan suara tawa Hippogriff sahabatnya itu, yang terdengar seperti suara burung tersedak biji aprikot.
"Master pasti senang tahu kau merindukan tempat ini", ujar Kir yang sekarang melambatkan lajunya.
Wajah Cliff berubah menjadi merah. "Kapan aku bilang merindukan tempat sialan ini?"
"Mau taruhan?" tanya Kir dengan nada licik,"Aku masih bisa menirukan igauanmu di minggu-minggu pertamamu di Kota Degistan."
"Yang benar saja," tukas Cliff cepat. Ia berpura-pura memasang raut datar di wajahnya, namun dalam hatinya ia terkikik geli. Ia tidak sadar kalau ia pernah mengigau dan menyebut-nyebut Laumsphere dalam tidurnya, dan sialnya Kir tahu akan hal ini. Tapi biarlah, ia tidak terlalu peduli, toh sesungguhnya ia memang senang akan bertemu dengan Kakeknya lagi.
Cliff kembali berujar sambil tersenyum, "Aku tidak sabar untuk melihat Kakek, dan juga..." Kata-kata Cliff terhenti. Ia tertegun sebentar, satu dua kali menghirup udara dalam-dalam dan mengendus angin yang lewat di hidungnya. Otot-otot di punggung Kir pun mengejang, merubah posisi tubuhnya dalam keadaan siaga penuh. Rupanya Kir juga mencium bau yang dirasakan oleh Cliff.
"Kau menciumnya juga?" tanya Cliff.
"Ya," sahut Kir, kepalanya bergerak-gerak mencari asal bau itu. "Asap dan darah."
"Jangan-jangan...," Cliff tidak berani meneruskan kalimatnya, dan perasaannya diliputi kengerian. "Kir, cepat! Kita harus mendarat di pondok secepatnya!"
Dalam satu hentakan, Kir mengepakkan sayapnya sekuat tenaga dan mencondongkan kepalanya hingga sejajar dengan tubuhnya. Ia melesat dengan kecepatan penuh, menembus awan-awan basah, dan membelah udara secepat sambaran kilat. Semakin mereka mendekati Laumsphere, bau asap dan darah semakin kuat tercium. Jantung Cliff semakin berdetak panik. Jelas sekali bau kematian ini berasal dari sana.
Dengan satu gerakan cepat lagi, Kir dan Cliff akhirnya menyeruak dari balik awan hingga mereka benar-benar berada tepat di atas Laumphere. Hati Cliff mencelos. Ia melihat gumpalan asap putih tipis yang melayang-layang dari sisi timur Laumpshere. Disitulah letak desa Suku Elm, dan saat itu juga pikiran Cliff bercampur aduk antara kutukan, serangan, dan kehancuran. Dan Kakek...
Beberapa saat berikutnya Kir mulai merendahkan tubuhnya dan menukik tajam ke bawah, menghujam masuk ke dalam hutan, dan berkelit di antara cabang-cabang pohon besar. Kabut gelap yang sudah menguasai hutan tidak menghalangi Kir untuk bergerak lincah. Tapi Cliff menyadari bahwa tidak biasanya hutan segelap ini. Jelas ini bukan kabut biasa, melainkan kabut dari kutukan sihir. Ditambah dengan pohon-pohon yang menguarkan asap dan bau menyengat, Cliff semakin yakin bahwa ada ahli-ahli sihir yang telah melancarkan kutukan. Bahkan semakin mendekati desa, pohon disekitarnya semakin menghitam, seperti hangus terbakar. Sebuah penyerangan besar telah terjadi, batin Cliff dengan hati berdesir.
"Oh, tidak...," kata Kir tiba-tiba sambil memperlambat lajunya.
Cliff ikut melihat apa yang disaksikan Kir. Di depannya; yang berdiri pohon-pohon raksasa, dengan pintu-pintu dan jendela-jendela di batangnya, yang dipakai sebagai tempat tinggal suku Elm; kini hanya berupa batang-batang pohon hangus, hancur, dan terbelah. Segalanya terlihat luluh lantak menyedihkan. Tak terlihat satu orang Suku Elm pun, tidak ada para hewan yang biasa ramai menari, dan tidak terdengar lagi suara khas seruling Suku Elm.
Kir akhirnya menjejakkan cakarnya di tanah. Cliff segera melompat turun dan berlari secepatnya, menuju satu-satunya tempat yang ia pikirkan sejak tadi. Satu dua kali belokan pohon, dan akhirnya Cliff tiba di depan tempat itu. Sebuah pohon raksasa, yang dulunya berwarna hijau cemerlang, sekarang menghitam dengan sebagian sisi sampingnya yang hancur. Batang atas pohon itu sudah sepenuhnya roboh, dan daun-daunnya sudah hitam mengkerut. Ini adalah pondoknya. Pondok yang menjadi saksi hidup Cliff dan Kakeknya.
Dengan segala perasaan yang campur aduk di dadanya, Cliff berlutut di depan pondoknya. Segala pertanyaan menyeruak. Ada apa ini? Apa yang terjadi? Dimana Kakek? Namun semua pertanyaan itu hanya berujung pada satu hal dalam dirinya, mencari siapa penyebab kehancuran ini, dan segera membalaskan dendam Sukunya...
==============================================================
BAB 1
Enola mendongak ketika bayangan hitam besar menutupi tempatnya berdiri. Bayangan itu bergerak dengan cepat, menciptakan angin kencang hingga mengoyangkan puncak-puncak pepohonan Drastar yang terkenal paling kokoh di Hutan Firdaus. Enola sempat menangkap sesuatu yang menyerupai bentuk sayap dengan bulu-bulu perak berpendar - persis seperti warna rambutnya - sebelum makhluk raksasa itu menghilang dari pandangan.
Enola terkesima. Pasti pemilik sayap itu makhluk yang indah dan luar biasa. Pegasuskah? Atau mungkin Hippogriff? Enola berusaha menebak-nebak. Dia sering mendengar desas-desus tentang Pegasus dan Hippogriff dari penghuni Hutan Firdaus. Makhluk langka, ujar mereka. Satu-satunya jenis yang tidak bisa kau temukan di sini. Jika kau sangat beruntung, ada satu Pegasus atau Hippogriff yang bisa kau lihat di luar sana, di atas langit dari balik pepohonan hutan.
Ya, hanya bisa melihat dari balik daun-daun yang menjuntai di atasnya, pikir Enola lirih seraya menjulurkan tangan kanannya ke atas. Tiba-tiba seleret cahaya tipis dan lembut masuk melewati celah-celah yang ditimbulkan ranting Drastar. Cahaya itu berasal dari langit, dan Enola sudah menunggunya seperti musim-musim semi yang lalu.
"Selamat datang," gumam Enola sambil tersenyum lembut.
Sekarang tubuh Enola yang transparan bermandikan cahaya. Di saat-saat seperti ini dia terlihat seperti akan menghilang. Dan dia menikmatinya.
Enola selalu bertanya dari mana asal cahaya indah itu sejak dia menemukan tempat ini pertama kalinya. Dan juga dia masih menebak-nebak siapa yang menciptakannya. Pastilah penyihir yang sangat hebat dan berhati lurus. Melewati setengah abad hidupnya bersama penyihir berhati kelam membuatnya sangat yakin dengan imajinasinya.
Terdengar suara tawa dan langkah kaki ceria. Cepat-cepat Enola bersembunyi di balik kumpulan pepohonan drastar yang cukup rapat. Empat gadis dengan kulit seputih mutiara muncul tidak jauh dari tempat Enola berdiri tadi. Mereka berjalan dengan anggun sambil melompat-lompat kecil. Bunga-bunga liar musim semi yang menghiasi rambut perak mereka senada dengan warna gaun sutra tipis yang mereka kenakan.
Enola menahan nafas ketika memberanikan diri memiringkan sedikit kepalanya dari balik pohon untuk mencuri lihat. Mata biru Enola menjadi sayu ketika mengetahui siapa yang datang. Rasa sesak mulai menjalari dadanya. Walaupun rupa mereka berbeda, tapi Enola bisa mengenali keempat gadis itu sebagai Glafure - seperti dirinya.
Sebelum salah satu dari mereka melihatnya, Enola memutuskan untuk menarik kepalanya. Mereka tidak akan menyukai keberadaannya di sini. Penghuni Taman Eden tidak pernah menyukai penghuni Carona.
"Lihat, di sana!" kata gadis bergaun hijau. Dengan semangat dia menunjuk sorotan cahaya di dekat salah satu pohon Drastar. "Benar, kan yang aku bilang."
Ketiga gadis lainnya berdecak kagum dan hampir tidak percaya. "Jadi ini cahaya Edelwis dalam legenda?" tanya gadis bergaun biru.
"Aku sangat yakin sekali, Narkysta," jawab gadis bergaun hijau sambil menyibak sehelai rambut peraknya yang sengaja ditata keluar dari sanggulnya. "Lihatlah warnanya yang kuning keemasan, persis seperti yang tertulis di gulungan."
Segera saja keempat gadis itu mendekati tempat jatuhnya cahaya itu. Narkysta bergerak lebih dulu dari pada yang lain, dan sekarang dia memain-mainkan jari-jarinya di leretan cahaya itu. "Terasa hangat," katanya girang.
Si gadis bergaun hijau, yang bernama Varisa, menggoyangkan telapak tangannya dan tiba-tiba dalam sekejap muncul sebuah gulungan dari kulit naga. Sementara ketiga gadis lainnya sibuk bermain-main di cahaya itu, Varisa dengan cekatan membuka gulungan itu dan tampak serius membacanya. Matanya bergerak-gerak cepat, mencari sesuatu di antara tumpukan-tumpukan huruf kuno di halaman gulungan itu.
"Lihat!" seru Varisa. Ia membentangkan halaman gulungan yang terbuka ke hadapan tiga temannya. "Cahaya Abadi," lanjut Varisa lagi. "Ini adalah Cahaya untuk meningkatkan kekuatan kaum Glafure. Tidak ada yang tahu tentunya. Tapi aku tahu akan hal ini." Varisa menggangkat dagunya dengan angkuh.
"Meningkatkan kekuatan?" tanya Undine, gadis bergaun merah dengan wajah berbintik.
"Ya," sahut Varisa cepat. "Tidak tahukah kau kalau kita - kaum Glafure - bisa menguasai sihir?"
Undine melongo tak percaya. Dan Nel, gadis bergaun kuning, tampak terkejut dan terus berganti-gantian menatap gulungan itu dan wajah Varisa. Sementara itu Narkysta hanya tersenyum. Beberapa hari yang lalu, Varisa memang sudah mengatakan hal ini sebelumnya pada Narkysta.
Enola yang sedang bersembunyi mendengarkan pembicaraan keempat Glafure itu dengan serius. Dia tidak pernah tahu ada legenda tentang Cahaya Abadi, tapi sesuatu tentang keabadian rasanya tidak asing di telinganya.
"Tapi sihir untuk kaum kita terlarang," Nel mengingatkan. Wajahnya tampak ngeri. "Schulas sudah mengingatkannya dan mencatatnya dalam hukum Kdubalas."
Enola tahu siapa Schulas. Dia adalah penguasa Taman Firdaus. Caltras sangat membencinya, tentu. Caltras ingin menghancurkannya dan mengambil ahli taman Firdaus. Dia selalu melakukan hal yang bertentangan dengan hukum Kdubalas. Sekarang Enola mengerti kenapa Caltras membuatnya menguasai sihir.
Enola bisa merasakan tubuhnya bergetar, marah. Caltras benar-benar telah memutuskan harapannya untuk kembali ke kaumnya di Taman Firdaus. Dia sudah melanggar Hukum Kdubalas, dan artinya tidak ada lagi tempat untuknya di Taman Firdaus.
"Ku - kupikir kaum kita hanya bisa... Ya, hanya bisa bernyanyi dan menari, itu saja." Undine tampak merasa paling bodoh sekarang. Sepertinya hanya dia satu-satunya Glafure yang tidak tahu menahu bahwa kaumnya lebih dari seorang penghibur.
Nel yang peka bisa merasakan apa yang dirasakan saudaranya. "Aku juga tidak tahu, Undine. Aku benar-benar tidak menyangkanya. Schulas tidak hanya melarang Glafure tapi juga Ginenis, Gaia, dan Gnomeka mempelajari sihir. Jadi aku tidak berpikir sejauh itu."
"Pikiranku berbeda denganmu, Nel. Aku sudah menduga ada rahasia besar dibalik larangan Schulas," Kata Narkysta sombong. "Untuk apa dia melarang kaum dari garis tumbuhan mempelajari sihir jika kita tidak mempunyai potensi mempelajari sihir."
Varisa mengangguk setuju. "Schulas takut terkalahkan."
Ternyata panjang juga ya kalau prolog sama bab 1 digabung wkwkwkwk..
BalasHapusAyo kapan kamu mau lanjutin lagi, biar cepet selesai bab 1 nya *ga sabar