Yup ini blog pertama gw, berhubung jam sudah menunjukkan pukul 11:15 PM, dimana saatnya gw udah berpindah alam dan kehilangan kesadaran, nah maka itu daripada gw repot2 nulis panjang2 (emg dasar gw lagi juga males sih...), nih gw sajiin salah satu coret-coretan tangan gw dikala gw duduk di depan kompie, ngelamun, dan iseng mau ngapain, dan akhirnya gw nulis cerita sisi lain kehidupan dari seorang Anthony Digglose ( sumpah pasti pda ga tau kan, nanti dah gw ceritain siapa tuh digglose yang paling keren itu hueheheheh...)
Gw nulis nih cerita udah agak lama sih, tapi gw suka aja sudut pandang dari penceritaan ini. Yah pokoke baca dah...enjoy ya
26 Juli 2008 – 08.39 pm, London
Anthony Digglose bersandar pada kursi di ruang kerjanya dan mencoba meneguk lagi sisa whisky yang sudah diminumnya dari tadi. Rasanya sama seperti apa yang ia rasakan beberapa menit sebelumnya. Tawar dan dingin. Persis seperti air yang sudah disimpan dalam botol selama beberapa hari. Ia tidak tahu apakah ini whisky terburuknya ataukah hatinya yang mengirim sensor keburukan itu pada setiap sel-sel di tubuhnya.
Tanpa mau mempermasalahkan itu ia meletakkan gelasnya dengan hati-hati di pinggir mejanya dan kembali dengan apa yang sedang ia lakukan dari tadi. Merenung akan apa yang selama ini mengganggu perasaannya. Ia sudah bertindak bodoh. Benarkah?
Ia tidak bisa menjawabnya, dan itu cukup membuatnya frustasi beberapa hari belakangan ini. Ini bukan mengenai kasusnya. Sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus pembunuhan di Hastings kemarin, atau peristiwa pencurian terbesar yang terjadi di Bexhill tadi pagi.
Tidak. Bukan itu semua yang membuatnya gelisah. Hal-hal itu tak akan membuatnya mempunyai pikiran serumit ini. Kasus-kasus itu hanya dianggapnya sebagai latihan kecil untuk sistem otaknya, membuatnya bekerja segaimana seperti yang harus dilakukan.
Setiap orang mempunyai pikiran yang terdalam dari hidup pribadinya, itu yang ia yakini selama ini. Dan itu yang sedang membuatnya resah bukan main. Semuanya tak sesederhana seperti ia membuat hipotesanya. Segalanya tak bisa diselesaikan dengan hukum deduksi yang biasa ia lakukan. Tetapi perasaan, dan ini satu-satunya kelemahan yang diakui Digglose. Ia tahu bahwa titik lemahnya berada pada saat-saat seperti ini, dan tidak jarang ia mengeluh untuk mengatasinya.
Hidup, perasaan, dan cinta.
Semua yang dianggapnya keomongkosongan selama ini terpaksa berdiri di depannya, seolah memaksanya untuk berduel. Siapa yang lebih unggul dan siapa yang lemah.
Dengan menghela napas panjang, Digglose menarik keluar laci di bawah mejanya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebuah foto, diselipkan di sebuah pigura kecil berwarna perak, yang ia anggap sebagai sisa kehidupannya di sana. Ia lebih rela kehilangan apa pun dalam hidupnya dari pada ia harus kehilangan foto itu.
Ia menyalakan lampu baca di mejanya dan melihat foto itu tepat dibawahnya. Pancaran cahaya kuning lampu itu menambah efek dramatis pada foto itu. Gambarnya tidak banyak berubah sejak ia memilikinya. Semuanya masih tampak sama. Seorang gadis, tersenyum dan menampakkan kepolosan wajahnya yang cantik.
Anne Harker, desah Digglose dalam hati.
Ia tidak pernah menyangka sebelumnya kalau seluruh hidupnya akan terlibat dalam drama percintaan dengan Anne. Ia sama sekali tidak pernah melupakannya. Pertemuan pertamanya dalam suatu kasus, beradu hipotesa yang menyenangkan, dan persahabatan yang baik, hingga berujung pada perubahan peran sebagai sepasang kekasih.
Digglose mencoba mengingat lagi berapa lamakah mereka terjalin dalam hubungan itu. Satu.., tidak, dua tahun, kah? Tidakkah lebih dari itu? Astaga!, katanya dalam dalam hati. Hubungan yang tidak terduga itu hanya sanggup bertahan selama itu. Benarkah tidak bisa lebih dari itu?
Digglose menggelengkan kepalanya sembari mengomeli dirinya sendiri.
Jelas sekali ini semua karena kebodohannya. Ya, bodoh. Tidak ada kata lain yang lebih tepat dari pada itu. Sekarang yang timbul dalam hatinya adalah kekecewaan dan penyesalan. Seolah-olah mereka mengikutinya terus, mengolok-oloknya, dan meneriakan kemenangan yang keras tepat di depan wajahnya. Akhirnya, walau ia malu mengakui, bahwa Digglose telah tumbang dari kemasyurannya. Dengan apakah? Ya, tak lain, seorang wanita.
Digglose masih tidak bisa percaya kenapa ia bisa bertindak sebodoh itu.
Meminta Anne untuk mengakhiri hubungan mereka.
Gila, kah, aku? Apa aku masih sadar saat itu?
Entah pikiran apa yang merasukinya, tapi ia jelas menyesal. Anne, seorang gadis yang begitu sempurna di matanya, disia-siakan begitu saja. Tidak tahu, kah, betapa ia mencintainya? Tidak tahu, kah, kalau Anne sudah begitu memberikan hatinya hanya pada Digglose seorang?
Ah, lagi-lagi kebodohan itu yang disesalinya.
Digglose menatap foto itu lama sembari membayangkan masa-masa indahnya bersama Anne beberapa waktu lalu. Kesan yang sempurna, bagaikan maha karya yang tak ternilai harganya dan tak dapat dibandingkan dengan apa pun. Sungguh perasaan yang tidak mengenakkan untuk mengenangnya. Tapi mau bagaimana lagi. Hanya itu satu-satunya cara Digglose untuk melihat bagaimana sosok Anne yang dikenalnya.
Masih ingat, kah, ia padaku?, tanya Digglose sendiri.
Apa ia masih mencintaku?, tanyanya lagi dengan sedikit keberanian.
Pertanyaan-pertanyaan ini yang selalu terbesit dalam hatinya. Ia sama sekali tidak berani menduga, bahkan dengan instingnya yang paling jitu sekali pun. Seperti yang sudah ia pahami dari dulu, bahwa perasaan sangat bertolak belakang dengan pikiran. Ia sekarang tidak sanggup memikirkan jawaban dari semua itu. Terlebih lagi ia takut. Takut akan jawaban yang paling buruk yang sama sekali tidak ingin didengarnya.
Anne Harker memang sudah memberi banyak sumbangan dalam setiap kisah hidup Digglose sendiri. Namun semua itu harus berakhir dengan sebuah kekecewaan. Sebuah kenyataan pahit harus memisahkan mereka. Apa memang kenyataan yang bertindak begitu? Atau Digglose sendiri yang menciptakannya?
Satu hal yang jelas adalah bahwa Digglose sudah berusaha yang terbaik untuk hubungan mereka. Namun entah kenapa keadaan semakin memburuk dan sangat tidak memungkinkan jika Digglose terus berhubungan dengan Anne, yang tanpa arah dan tujuan yang pasti. Karena itu suatu keputusan berani harus diambil. Perpisahan untuk yang terbaik.
Ia sangat tahu bahwa Anne kecewa saat itu. Hancur dan sedih. Pasti. Namun keputusan itu memang harus diambil, entah sekarang atau pun di kemudian hari.
Tapi apakah memang benar seperti itu?
Apakah itu jalan yang tepat?
Atau itu keputusan yang sama sekali salah untuknya?
Digglose lagi-lagi tidak bisa memperkirakannya. Namun saat itu ia hanya berpikir kalau langkahnya tepat. Ya, jelas itu kesalahannya. Tidak biasanya ia berpikir tanpa perhitungan. Biasanya setiap tindakan yang ia ambil selalu sesuai dengan perkiraannya.
Ia benar-benar menyesal saat ini. Bagaimana kalau Anne tak akan pernah memaafkannya? Bagaimana jika Anne ternyata akan pergi untuk selamanya? Tidak. Digglose tidak berani memikirkan kemungkinan itu lebih jauh.
Namun semua tindakan serampangan ini memang beralasan bagi Digglose. Ia mempunyai alasannya sendiri, yang ia simpan jauh di dalam dirinya. Tak seorang pun tahu, termasuk Anne sendiri. Mungkin itu kesalahan yang ia buat juga. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan alasan apa pun pada Anne mengenai keputusannya.
Ini juga kebiasaan buruk Digglose yang selalu dimilikinya. Ia tidak pernah menceritakan apa pun tentang setiap kesulitan yang dihadapinya. Ia ingin menyimpannya sendiri, dan bertindak apa pun sendiri, seolah ingin menampilkan sosoknya yang tangguh dan menutupi segala kehancuran dan kelemahannya.
Satu-satunya hal yang ia harapkan adalah bahwa Anne bisa mengerti tentang alasannya itu. Apa ia memang mengerti? Apa ia tahu kenapa aku harus berbuat seperti itu? Mengingat apa profesi Anne seharusnya ia tahu dengan tepat apa alasan dari semua ini. Ya, seharusnya ia tahu.
Apa ia memang tidak mengerti? Dan membenci serta melupakan Digglose tanpa sebab yang jelas yang tidak ia ketahui?
Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan di kepala Digglose yang tidak bisa dijawabnya. Dalam hatinya ia ingin jawaban itu ada. Ia ingin tahu bahwa mungkin segalanya akan berubah baik nanti. Mungkin saja.
Sambil meletakkan foto itu dengan hati-hati di mejanya, Digglose melirik pesawat telepon di sampingnya dengan penuh harap. Sudah berapa lama telepon itu tidak mengeluarkan suara Anne? Setiap dering telepon yang didengarnya selalu membangkitkan semangat Digglose, namun segera kecewa dengan apa yang didengarnya. Jika bukan dari Scotland Yard, pastilah Inspektur Vouge yang meneleponya jauh-jauh dari Paris, yang tak lain hanya meminta bantuan dalam suatu kasus. Tidak ada suara Anne, ataupun suatu petunjuk tentang Anne sekali pun.
Digglose meraih gagang teleponnya dan mendengar nada panggil dari situ. Bunyi itu seolah menghipnotisnya. Beranikah aku menghubunginya sekarang? Tidak. Jika aku memang menghubunginya sekarang, apa yang dapat kulakukan? Keadaan sama sekali belum berubah.
Dengan perasaan kecewa Digglose kembali meletakkan gagang telepon itu. Ia sama sekali tidak berani untuk melakukannya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mungkinkan Anne akan menerimanya lagi dalam hidupnya? Mungkinkah? Jawaban terburuk jelas bahwa Anne sudah melupakannya sama sekali.
Beberapa malam yang dilewati Digglose tidak pernah lepas dari bayang-bayang Anne. Ia selalu memikirkannya. Sedang dimanakah ia? Paris? New York? Atau London? Ada suatu kasus kah yang sedang dikerjakannya? Dan pertanyaan paling sering diajukannya, apa ia masih memikirkanku?
Benar-benar suatu ironi yang menyedihkan. Digglose tidak bisa membayangkan bagaimana kalau orang lain sampai tahu tentang apa yang ia rasakan ini. Selama ini ia sangat pandai berpura-pura untuk berperan bahwa segalanya berjalan dengan baik dalam hidupnya. Hatinya yang sudah begitu hancur dicoba untuk disembunyikannya kuat-kuat. Digglose yang dikenal adalah Digglose yang tangguh dan kuat, bukan Digglose yang remuk dan rapuh.
Ia sungguh berharap bahwa keadaan akan segera berubah. Ia tidak tahu kapan. Namun ia tetap berharap untuk itu. Walau ia tahu bahwa kemungkinan terburuk bisa saja terjadi, ia tidak pernah melepaskan apa pun yang sudah ia tetapkan.
Baginya hanya Anne seorang, tak ada yang lain. Dengan harapan dan angan yang kecil ia terus membayangkan bahwa Anne telah membawa separuh jiwanya, yang nanti akan kembali untuk membuatnya utuh kembali. Semoga saja.
Dentangan jam bandul besar di sudut ruang kerjanya membuyarkan semua pikiran yang berlarian di benak Digglose, seakan mengingatkannya bahwa realita kehidupan yang sebenarnya harus dijalani kembali. Dengan kehati-hatian yang luar biasa, Digglose kembali meletakkan foto itu dalam lacinya dan mematikan lampu mejanya. Ia lalu bangkit dari kursinya dan berjalan cepat menyeberangi ruangan. Satu malam lagi telah habis dipakainya untuk mengingat sosok kekasihnya. Dan masih seperti malam-malam sebelumnya, ia meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya pelan-pelan seraya berkata pada dirinya sendiri, aku akan tetap mencintaimu, Anne.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar