Jumat, 10 Juli 2009

fiksi : ESOK


Seperti biasanya aku menghabiskan waktu soreku, aku duduk berselonjor di atas trotoar sembari menyandarkan tongatku pada pagar di belakangku. Aku menghela napas, menghirup udara berdebu yang ajaibnya tetap bisa memberikan hawa sejuk bagiku. Sudah hampir seharian ini aku berjalan, dan kini aku merasakan akibatnya. Kaki kiriku - yang hanya satu-satunya bisa kugunakan ini - semakin terasa berdenyut-denyut seolah ada segerombolan serangga yang sedang menghisap darahku secara perlahan-lahan.

Tapi lagi-lagi aku mengingat apa yang selalu menjadi semangat dan tekatku. Aku takkan pernah mengeluh. Hidup sudah ada jalannya, begitu kata orang tua dulu, dan kini aku mengerti apa yang mereka maksud.

Sambil menyeka keringat di kening dan leherku, aku mengambil sebungkus plastik hitam yang kusangkutkan di ujung tongkatku tadi. Aku memegang isi di dalamnya, dan masih terasa hangat di tanganku. Aku harus banyak berterima kasih pada Mbok Jarmi, batinku.

Sebelum aku sampai di tempat peristirahatanku ini, aku memang biasa mampir di warteg Mbok Jarmi di ujung jalan sana. Dengan uang seadanya yang kupegang, Mbok Jarmi selalu memberikan aku makanan yang lebih, bahkan terkadang aku menganggapnya terlalu istimewa. Pernah satu aku kali aku hanya sanggup membeli sebungkus nasi tanpa lauk apa pun, dan Mbok Jarmi, dengan senyum keibuannya yang hangat, memberikan aku dua potong tempe, satu sendok sayur daun singkong, dan sebungkus air putih yang aku terima dengan segala syukur.

Aku merasa dengan segala apa pun yg kupunya aku tak akan pernah sanggup membayar rasa terima kasihku pada Mbok Jarmi. Karena itu untuk menghormatinya, aku selalu menghindar dan tak pernah berani-berani mencoba untuk makan di tempatnya berjualan. Aku takut kalau aku terlihat berada di sana, pengunjung warteg Mbok Jarmi akan merasa terganggu dan berimbas pada dagangan Mbok Jarmi sendiri.

Lebih baik aku di sini saja, kataku lagi. Dengan beralaskan aspal berdebu dan kotor ini, aku masih bisa menikmati dan mensyukuri apa yang bisa kudapat setiap harinya.

Aku mulai membuka plastik hitam itu dan mengeluarkan sebungkus nasi serta sekantong air putih dari dalamnya. Aroma sedap mulai menggelitik hidungku. Dengan tidak sabar aku melepaskan karet yang mengikat bungkusan nasi itu, dan membukanya perlahan-lahan, berharap aku tidak menumpahkannya sedikitpun.

Aku sungguh bersyukur hari ini aku bisa membeli lauk yang lebih untuk makan malamku. Sebutir telur yang sudah dibalut bumbu cabai terselip di sana, di antara sayur, nasi, dan sepotong rempeyek udang. Makanan yang luar biasa. Terima kasih Mbok Jarmi, syukurku yang hampir saja mampu menumpahkan air mataku.

Meskipun tanganku masih berbalut debu dan kotor, namun aku tidak peduli dan mulai melahap makanan yang ada di hadapanku. Sudah bertahun-tahun aku melewati sore seperti ini, dan selama bertahun-tahun itu pula aku terus mensyukuri hidup yang kujalani ini. Aku tidak pernah berharap banyak, dan bahkan takut untuk bermimpi akan kemewahan. Orang tidak akan pernah mengalami apa yang namanya kebahagiaan jika ia belum pernah belajar bagaimana caranya untuk bersyukur. Dan aku sungguh beruntung dapat melakukannya.

Seperti biasa juga, sambil aku menikmati makananku, aku memperhatikan segerombolan anak-anak di seberang jalan sana yang sedang bermain dan tertawa-tawa. Sesuatu yang tidak jelas, terbuat dari gulungan-gulungan plastik yang diikat, saling direbutkan dan ditendang ke sana-sini, yang mereka sebut sebagai sepak bola.

Dari apa yang bisa kulihat, keadaan mereka tidak jauh berbeda dengan keadaanku sendiri. Untungnya mereka juga bisa melakukan apa yang kulakukan, menikmati segala kekurangan yang kami punya. Segala kekurangan sama sekali tidak mengurangi kebahagian kami. Kebahagiaan hanyalah sesuatu yang relatif, tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Beberapa dari anak-anak itu ada yang kukenal. Salah satunya adalah Ali. Sudah hampir dua tahun belakangan ini aku terus menjumpainya di seberang trotoar ini. Jika ada satu kesempatan, kami sering mengobrol dan mencoba menceritakan kisah hidup kami masing-masing.

Terakhir kali yang kuingat, Ali bertutur kalau ia sangat merindukan ibu dan ayahnya yang telah meninggal karena musibah kebakaran yang menghanguskan seluruh rumah dan hartanya. Yah, itulah Ali, dengan masa lalu yang menyedihkan, tersembunyi di dalam sosoknya yang kecil. Sekarang ia manjadi pengumpul plastik di jalanan, dan tak satu kali pun mengeluh untuk apa yang ia kerjakan dalam usianya sekarang. Lihatlah dia, dengan senyumnya yang polos, dan tawanya yang ceria, seolah-olah tidak merasakan susah dan himpitan hidup yang terus menekannya.

Anak-anak lain di sana memiliki nasib yang tidak jauh berbeda dengan Ali. Rohim dan Fatir yang menjadi pengamen, Isna yang menjadi tukang semir sepatu, Hidrun dan adik kecilnya, Salma, yang tiap pagi selalu mengemis di depan sekolah dan stasiun.

Ya, inilah realita hidup yang kadang tidak tersentuh oleh banyak orang. Di tempat inilah, di sebuah jalan sempit di antara gedung-gedung yang berdiri megah di Jakarta, kami mencoba merehat diri dan masih mencoba menikmati dari pada apa yang kami punya. Bahkan di tempat kecil ini pun orang-orang seperti kami masih diperlakukan layaknya orang terhina. Petugas-petugas keamanan, yang seharusnya mengayomi masyarakat, malah mengusir dan menginjak-injak kami layaknya kami kuman yang harus dibasmi secepatnya.

Seminggu yang lalu aku masih ingat bagaimana rasanya di tahan di kantor polisi selama tiga hari dan dilepaskan dengan himbauan dan peringatan. Kami, dengan istilah kerennya "GePeng", tidaklah seharusnya berada di jalan hingga merusak pemandangan kota.
Apakah kami benar-benar sehina itu? Apa kami benar-benar tidak layak untuk hidup di tempat ini? Sementara para orang-orang kaya, dengan mobil-mobilnya yang mewah, diperlakukan selayaknya raja di negeri sendiri.

Di mana kami harus hidup? Di mana kami harus berlindung? Pernahkah mereka satu kali saja memikirkannya?

Ah, sudahlah, aku tidak mau membuang-buang waktuku hanya untuk menanyakan hal-hal yang kuanggap sebagai mukjizat itu. Sekeras apa pun kau bertanya dan berkata, tetaplah orang kecil yang selalu dianggap bersalah.

Tidak terasa aku sudah menghabiskan gigitan terakhir rempeyekku. Kuambil kantor air di sampingku itu, dan kuteguk banyak-banyak. Tenggorokanku yang hangat dan terasa pedas sedikit disejukkan dengan air putih ini. Dengan teringat kata-kata petugas kemarin itu, aku mencoba merapikan sampah-sampah bekas makananku dan kubungkus dengan plastik hitam tadi. Di ujung jalan sana ada bak sampah besar, dan akan kubuang di sana sembari aku berjalan nanti untuk bertugas lagi.

Untuk beberapa menit ini aku masih ingin mengistirahatkan kakiku yang masih terasa nyeri. Maklumlah, jarak berkilo-kilo meter jauhnya hanya kutempuh dengan satu kaki ini, yang sekarang sepertinya sedang memprotes hebat. Ya, ya, aku turuti, kataku sambil melonjorkan kaki.

Dengan perlahan aku memijat-mijat kaki kiriku dan menatap kaki kananku - yang hanya tinggal sebatas lutus - dengan bebatan kain yang seadanya. Tujuh tahun yang lalu aku mengalami kecelakaan yang tragis. Saat itu aku masih muda dan tergolong baru dalam bekerja di pabrik pemotongan kayu. Karena sesuatu hal, tanpa sengaja aku terjatuh dan mengalami kecelakan hingga mengenai mesin pemotong kayu. Akibatnya, kaki kananku terputus di tempat dan aku sempat dirawat di rumah sakit selama kurang lebih satu bulan.
Itulah masa lalu yang menghancurkanku. Perusahaan tempatku bekerja terpaksa memberhentikanku,dan aku tidak mempunyai penghasilan dalam kondisiku yang cacat.
Dan sekarang inilah aku, seorang pengelap kaca mobil di jalanan yang berusaha untuk mencari sekedar sesuap nasi.

Hidup yang begitu sulit ini sudah kujalani, mulai dari perasaan murka kepada Tuhan, hingga mampu mensyukuri segala rencana Tuhan dalam hidupku. Beruntunglah aku masih diberikan hidup ini dengan orang-orang berjiwa malaikat di sekelilingku, Mbok Jarmi yang baik, dan anak-anak ceria yang menjadi teman untuk tertawa.

Beberapa menit sudah berlalu dan aku seperti terbangun dari lamunan. Aku teringat bahwa aku masih harus melakukan pekerjaanku lagi. Dengan susah payah aku bangkit berdiri dan meraih tongkatku untuk berpijak. Kuambil kantong plastik hitam tadi lalu kuikatkan di ujung tongkatku. Sembari masih menatap anak-anak itu, aku berjalan tertatih-tatih di sepanjang trotoar dengan naungan langit senja, dengan sejuta harapan bahwa aku masih bisa menikmati hari esok dengan lebih baik.




R.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar