Selasa, 19 Mei 2009

fiksi : THE LAST

Sherry membuka laci meja belajarnya, mengambil sebuah bolpoin berwarna merah cerah, dan mencoretkannya ke salah satu angka pada lembaran bulan Mei di kalender mungilnya. Dua hari lagi, katanya dalam hati. Ia lalu bergerak sedikit di kursinya dan memperlebar celah jendela yang sudah terbuka sedari tadi, berusaha membujuk angin malam yang entah kenapa enggan berhembus.

Entah hanya khayalannya saja atau karena perasaannya yang memang sedang melambung tinggi, Sherry merasa kalau bulan yang ada di hadapannya - yang biasanya kuning pucat - kini berwarna lebih terang dan merona, seolah menyunggingkan senyumannya yang lembut.
Dua hari lagi adalah ulang tahunku, katanya lagi sembari tersenyum. Hari itu adalah hari yang sudah ditunggu-tunggunya sejak berbulan-bulan lalu. Ia tahu itu akan menjadi hari yang spesial untuknya.

Tapi sebenarnya bukanlah hadiah atau kecupan sayang dari kedua orang tuanya yang membuat Sherry begitu senang. Bukan juga kado-kado lucu dari teman-temannya yang membuatnya ingin mempercepat hari itu. Memang ia sudah tahu akan ada hidangan-hidangan terbaik ibunya, termasuk puding coklat manis kegemarannya itu. Bahkan hadiah dari ayahnya pun sudah diberikan beberapa hari yang lau, satu set komputer terbaru yang sudah diidam-idamkannya sejak dulu. Bukan. Bukan itu semua yang menorehkan senyuman di wajah Sherry saat ini.


Yang membuat Sherry begitu menggebu-gebu sebenarnya adalah Jonathan, kekasihnya. Sudah hampir enam tahun Sherry menjalin hubungan dengan Jonathan. Pada awalnya, sebelum mereka berpacaran, mereka hanyalah sepasang teman biasa di salah satu kelas yang sempit di Minnersity High School.

Ia adalah cowok yang manis, menurut Sherry. Ia tahu kalau Jonathan sudah menarik perhatiannya sejak tahun pertamanya di sekolah itu. Entah karena apa Sherry menyukainya. Wajahnya yang tampankah? Tubuhnya yang atletis? Atau karena kepopulerannya di antara cewek-cewek sekolah itu? Sepertinya bukan itu semua.

Mungkin kepribadiannya yang membuat Sherry menyimpan perasaan yang begitu dalam pada Jonathan, meskipun ia tahu itu satu jawaban yang sangat klise. Tapi Sherry tidak memungkirinya. Ia bisa merasakan bagaimana perhatiannya terhadap Sherry, kata-katanya yang lembut, dan lelucon-lelucon konyolnya yang bisa membuat mereka tertawa tergelak-gelak.

Namun Sherry kerap kali mengesampingkan perasaannya itu. Ia selalu berpikir bagaimana cowok sekeren itu bisa menyukainya. Ia hanyalah seorang cewek biasa. Sama sekali tak bisa dibandingkan dengan cewek-cewek top lainnya di sekolah itu.

Tapi Sherry seharusnya tidak berpikir seperti itu. Cinta tak mengenal perbedaan, persis seperti yang sering tertulis di beberapa novel romantis yang sering dibacanya. Ia ingat benar, saat itu adalah malam yang dingin walaupun sudah di penghujung berakhirnya musim semi. Mereka duduk-duduk santai di bangku kayu panjang di Novern Del Park sambil menikmati sisa-sisa harum bunga lily yang masih bermekaran di satu dua tempat.

“Er..., bagaimana ya?” kata Jonathan, setelah beberapa saat mengobrol. Tetap diselingi dengan lelucon khasnya itu.

“Apanya yang bagaimana?” balas Sherry.

“Aku...,” ujar Jonathan. “Sebenarnya aku sudah lama menyukaimu.”

Bug! Jantung Sherry tiba-tiba serasa dipompa begitu cepat. Wajahnya memerah. Lidahnya terasa kelu, seperti mati rasa. Ia sungguh bingung harus mengatakan apa. Ia menatap cowok yang ada dihadapannya itu. Mata hijaunya berbinar. Senyum di wajahnya menunjukkan ketulusan yang begitu besar.

“Aku ingin kau menjadi pacarku,” lanjut Jonathan lagi. “Aku ingin hubungan kita lebih dekat. Kau mau, kan?”

Sherry terdiam sesaat. “Baiklah,” kata Sherry akhirnya, setelah berusaha memikirkan kata-kata yang tepat. “Tapi kau harus berjanji tidak akan menyakitiku sekalipun.”

Jonathan mengangguk. Kemudian, kejadian yang begitu indah hingga Sherry bersumpah tidak akan melupakan seumur hidupnya, Jonathan menciumnya dan memeluknya dengan erat.

Dan kini hubungan itu berlanjut dengan manisnya hingga sekarang. Namun yang memberatkan Sherry selama ini adalah kenyataan bahwa sudah lebih dari dua tahun ini mereka berpisah.

Saat ini Jonathan sedang menjalani kuliah kedokterannya di Paris setelah mendapatkan beasiswa penuh dari Universitas itu. Sherry tetap mendukungnya. Ia tahu itu yang terbaik untuk Jonathan, meskipun dalam hati kecilnya ia menggerutu kesal, bagaimana mungkin kita bertemu sementara aku masih terkungkung di tanah Los Angeles.

Namun perpisahan yang menyakitkan itu akan terbayar dua hari lagi. Jonathan sudah meneleponnya beberapa bulan yang lalu, memberitahukan bahwa ia akan datang tepat saat Sherry berulang tahun.

Setelah menutup telepon, Sherry langsung melompat-lompat kegirangan, bereaksi terhadap hatinya yang mengembung dua kali lebih besar. Dan sejak itu, rutinitas dadakannya setiap malam adalah mencoret satu per satu angka di kalendernya, seolah dengan begitu akan mepercepat jalannya waktu.

Bunyi derak di jendela membangunkan Sherry dari lamunannya. Ia lalu melirik jam weker di samping tempat tidur. Jarum-jarumnya yang keemasan menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Ia lalu bangkit dari kursinya, menutup jendela perlahan-lahan, lalu beringsut ke ranjangnya yang empuk sambil berharap akan memimpikan satu episode kehidupannya cintanya yang begitu indah.

* * *

Pukul tujuh tepat Sherry sudah selesai menyikat rambutnya yang merah tembaga, memoleskan wajahnya dengan bedak tipis, dan menorehkan sedikit lipstik merah muda ke bibirnya yang kecil. Ia lalu berdiri dan mengamati dirinya lewat cermin bundar di hadapannya. Sempurna, katanya pada gadis di cermin itu.

Sherry senang dengan penampilannya malam ini. Ia mengenakan sweater rajutan berwarna hijau toska, dipadukan dengan rok putih pendek, serta sepatu yang sengaja ia beli untuk hari ini.

Ya, ini adalah hari ulang tahun Sherry, sekaligus hari pertemuannya dengan Jonathan. Mereka sudah berjanji untuk bertemu di The Balma’s Cafe, tempat kencan favorit mereka saat pacaran dulu. Sherry kemudian beranjak mengambil tasnya, turun ke lantai bawah, dan langsung melajukan mobilnya.

* * *

Suasana di The Balma’s Cafe malam ini tidak begitu ramai. Sherry duduk dengan nyaman di salah satu sisi ruangan yang berseberangan dengan meja bartender. Di mejanya ada segelas soda lemon yang sudah setengah diminumnya. Di sisi lain kafe itu berdiri beberapa orang pemain band dengan alat-alat musik mereka, siap memainkan sederet lagu-lagu romantis serta alunan-alunan musik lembut yang mendayu-dayu.

Setelah hampir setengah jam, akhirnya seorang cowok menghampiri meja Sherry. Cowok itu terlihat tampan dengan setelan kemeja denim dan celana abu-abunya. Rambutnya yang selalu terlihat berantakan, dibiarkannya begitu saja. Ia adalah Jonathan.

“Selamat ulang tahun, ya!” kata Jonathan sambil mengecup pipi Sherry, kemudian duduk di bangku seberangnya.

“Kau tidak bawa kado?” goda Sherry melihat kedatangan Jonathan dengan tangan kosong. “Kalau begitu aku pulang saja!” katanya lagi.

“Maaf. Aku tidak sempat. Tapi pasti kuberikan,” tutur Jonathan.

“Aku cuma bercanda, kok,” sahut Sherry sambil tersenyum. “Kau sudah datang pun sudah menjadi hadiah istimewa untukku.”

“Bagaimana penerbangannya?” tanya Sherry lagi.

“Seharusnya aku yang menjadi pilot,” jawab Jonathan enteng. Sherry tertawa. Seperti biasa kata-katanya selalu terselip lelucon konyolnya.

Namun Sherry melihat sesuatu yang tidak biasanya pada diri Jonathan. Entah kenapa matanya terlihat lebih cekung. Senyumnya pun tidak semanis dulu. Wajahnya menunjukkan seolah ia menyimpan sesuatu yang berat.

“Kau kenapa? Tak biasanya kau terlihat murung. Kuliahmu tidak menyenangkan, ya?” tanya Sherry lembut, tak ingin terdengar dengan nada menyelidiki.

“Tidak,” kata Jonathan. “Dengar Sherry, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Ini sangat penting,” suara Jonathan tiba-tiba terdengar serius.

“Ada apa, sih? Kenapa kau terburu-buru? Bukankah sudah lama kita tak bertemu. Kau membuatku kecewa kalau seperti ini!” ujar Shery jengkel. Pertemuan yang diharapkannya tidak seperti ini. Apa yang didapatnya sekarang jauh berbeda dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Jonathan tiba-tiba saja bersikap di luar tabiatnya. Mungkinkah tekanan kuliahnya yang membuat ia seperti ini? Atau kehidupannya yang keraskah di Paris? pikir Sherry.

“Memang kau mau mengatakan apa?” tanya Sherry, dengan nada sedikit melunak.

“Aku hanya mau bilang kalau aku benar-benar menyayangimu,” kata Jonathan.

“Oh, Jo, aku sudah tahu itu,” balas Sherry.

“Dengar dulu,” potong Jonathan. “Aku benar-benar menyayangimu. Aku harap kau pun seperti itu. Tapi ada sesuatu. Sesuatu yang tidak memungkinkan kita untuk melanjutkan hubungan ini. Sesuatu yang ... yang membuatku harus meninggalkanmu.”

 Tar! Diri Sherry serasa disambar petir. Jantungnya seolah lupa untuk berdetak. “Kau ... meninggalkanku? Kenapa?” suara Sherry terdengar bergetar.

“Aku tidak bisa mengucapkannya. Kau nanti akan tahu,” jawab Jonathan.

“Tapi apa? Apa aku berbuat salah? Apa aku menyakitimu?”

“Tidak. Kau begitu sempurna di mataku. Aku benar-benar mencintaimu. Hanya itu yang berani kuucapkan. Tapi kalau saja itu tak terjadi, ... aku ... aku tidak akan meninggalkanmu. Aku bersumpah, Sherry,” tutur Jonathan.

“Cukup!” Kini Sherry mulai terisak. Air mata yang sedari tadi ditahannya, kini bergulir di pipinya. “Kalau memang itu maumu, aku akan menerimanya. Aku tidak akan memaksamu. Mungkin memang itu yang terbaik untuk kita.” Lalu Sherry bangkit dari kursinya dan beranjak pergi.

* * *

Sherry langsung berlari menuju tangga ke kamarnya dan mengenyakkan diri di ranjang, menangis. Baru kali ini ia merasakannya. Apa yang dipikirkannya selama ini ternyata jauh dari dugaannya. Jonathan, cowok yang dulu dianggapnya paling sempurna kini pergi tanpa alasan apapun.

Ini memang salahku, katanya pada diri sendiri. Aku terlalu percaya padanya.

Ia lalu melihat kalender mungilnya yang sudah tercoret di sana-sini. Semua hanyalah penantian yang sia-sia. Kenyataan yang dihadapinya begitu menyakitkan.

Sesuatu apa itu! katanya sengit. Sesulit apa mengatakannya! Lagipula aku akan menerimanya lebih baik jika aku tahu alasan itu.

Dari lantai bawah, Sherry mendengar dering telepon di ruang tengah. Sepertinya ibunya yang menjawab. Kalau itu Jonathan, aku bersumpah tidak akan bicara padanya, kata Sherry meyakinkan diri. Suara langkah kaki di tangga yang berderak terdengar oleh Sherry, yang disusul dengan ketukan di pintunya.

“Sherry, aku ingin bicara denganmu,” suara ibunya terdengar dari balik pintu.

“Sebentar.” Sherry mengambil beberapa lembar  kertas tisu, mengelap matanya yang lembab, dan membuka pintu kamarnya.

“Kau menangis? Apa kau sudah mendengarnya?” tanya ibunya.

“Mendengar apa? Aku tidak mengerti.”

“Tadi ayah Jonathan menelepon,” terang ibunya. “Aku harap kau tenang mendengarnya.”

“Mom, tolong. Aku benar-benar bingung. Aku sama sekali tidak tahu maksudnya,” sahut Sherry sambil mengangkat alis.

“Jonathan. Pesawatnya mengalami kecelakan saat lepas landas. Ia ... ia sudah meninggal. Begitulah apa yang dikatakan ayah Jonatahan tadi.” Seonggok batu besar seolah dijatuhkan begitu saja ke perut Sherry begitu ia mendengarnya.

“Apa??” ucap Sherry tak percaya. “Tapi ... aku ... aku tadi ...” Suara Sherry semakin bergetar hebat. Butir-butir air matanya meleleh, membasahi pipinya.

Kalau begitu tadi ... Jonathan yang kutemui ... Oh!! Aku tidak percaya! Lirihnya dalam hati. Kini Sherry sudah mengerti semuanya. Jonathan menemuinya hanya untuk mengatakan betapa cintanya ia pada Sherry. Ia telah datang kepada Sherry untuk yang terakhir kalinya. Melihat kekasih dan cintanya yang telah direnggut oleh takdir.

Sekarang Sherry tahu mengapa Jonathan bersikap seperti itu tadi. Ia tidak rela. Ia tidak bersedia menerima kenyataan ini. Hati Sherry yang sudah terluka kini hancur sudah.
Ia begitu menyesal atas dirinya. Kenapa ia meninggalkan Jonathan seperti itu. Kenapa ia tidak memberikan sedikit saja kesempatan untuknya.

Sherry lalu memeluk ibunya. Ia menangis sekeras yang ia bisa. Segala duka dan kesedihannya ditumpahkan tanpa tertahan. Aku berjanji, Jonathan, katanya di tengah isak tangis. Aku takkan pernah melupakanmu. Aku akan tetap mencintaimu. Selamanya ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar